Menu Close

Yang luput dari PSBB: kewajiban pemerintah untuk penuhi hak kesehatan warga

erwin Gunadi/INA Photo Agency/Sipa USA

Pandemi COVID-19 telah memorak-porandakan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya di seluruh dunia.

Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa negara menerapkan kebijakan lockdown untuk mengurangi risiko penyebaran virus di wilayahnya.

Sejak pertengahan April lalu, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau lockdown parsial di berbagai daerah.

PSBB menyebabkan kebebasan warga dibatasi: hanya mereka yang bekerja pada sektor kesehatan, distribusi pangan, penyediaan energi, perbankan, peternakan dan pertanian, dan media cetak dan elektronik yang boleh bepergian.

Kegiatan-kegiatan lain seperti perkumpulan politik sosial budaya, akademik, hiburan, olah raga, bahkan tempat peribadatan harus ditutup.

Pemerintah juga telah melarang orang untuk mudik serta melarang penerbangan.

Langkah pemerintah tersebut jelas membatasi kebebasan setiap orang untuk bebas bergerak, termasuk kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan keluar maupun masuk dari dan ke suatu negara.

Tapi dari perspektif hukum Hak Asasi Manusia (HAM), pemerintah memang berwenang melakukan pembatasan terhadap gerak warganya untuk tujuan khusus seperti melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, dan menjaga moral publik. Kewenangan tersebut tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang telah Indonesia ratifikasi pada 2005

Dalam kasus pandemi COVID-19 ini, pembatasan yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait dengan alasan kesehatan: untuk memastikan bahwa virus tidak menulari banyak orang.

Tapi dengan kewenangan tersebut, hukum HAM juga mewajibkan pemerintah untuk memastikan warganya tetap mendapatkan fasilitas dan layanan kesehatan selama pembatasan gerak dilakukan.

Untuk pemerintah Indonesia, kewajiban ini masih belum terlaksana dengan optimal.


Read more: Penyandang disabilitas rentan dan luput dari mitigasi COVID-19


Kewajiban pemerintah

Sejauh ini, masih banyak perbaikan yang perlu pemerintah lakukan untuk memenuhi kewajibannya selama pandemi.

Pertama, pemerintah berkewajiban memastikan bahwa fasilitas dan layanan kesehatan tersedia (available).

Hingga saat ini, pemerintah belum berhasil melakukan ini secara baik. Berbagai media telah melaporkan mengenai kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD), obat-obatan, serta fasilitas medis yang lain.

Kedua, pemerintah wajib memastikan bahwa seluruh layanan dan fasilitas kesehatan dapat diakses (accessible) oleh semua orang baik dari sisi biaya, geografis maupun budaya.

Masyarakat miskin, misalnya, masih menghadapi kesulitan mengakses tes COVID-19.

Karena COVID-19 adalah pandemi global yang belum ditemukan vaksinnya hingga saat ini, maka pembiayaan perawatan dan penyembuhan pasien harus ditanggung oleh negara.

Seluruh provinsi telah terdampak wabah, maka layanan kesehatan juga harus menyeluruh dan menjangkau seluruh wilayah Indonesia, baik yang potensial terdampak maupun yang telah dinyatakan sebagai zona merah penyebaran virus.

Jakarta memang menjadi episenter (lebih dari 40% kasus ada di sana), namun ada potensi pergerakan orang dari Jakarta ke pelbagai wilayah di Indonesia apalagi menjelang Lebaran.

Ketiga, pemerintah wajib memastikan bahwa layanan dan fasilitas kesehatan memenuhi standar (quality) kesehatan. Dokter, perawat, obat, alat kesehatan, termasuk alat pelindung diri yang berkualitas perlu dijaga.

Faktanya, puluhan dokter meninggal diduga karena terpapar virus.

Situasi ini menuntut tindakan lebih dari pemerintah.

Keempat, pemerintah wajib memastikan bahwa layanan dan fasilitas kesehatan diberikan tepat sasaran dan tidak memunculkan diskriminasi (equality).

Akses masyarakat miskin pada layanan tes masih terbatas. Kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, juga semakin terpojokkan.

Episode-episode seperti wakil rakyat minta dites terlebih dulu jelas tidak boleh terulang.


Read more: Bagai “berburu rusa”: solidaritas dan kerja sama akan menyelamatkan kita di tengah pandemi


Peran publik

Virus ini tidak mengenal status sosial, ekonomi dan politik. Pelayanan yang mengedepankan kesetaraan akses bagi seluruh warga negara harus dilakukan.

Pekerjaan bersama kita adalah memastikan bahwa kewajiban pemerintah diberikan di tengah pembatasan.

Dua hal yang kita bisa lakukan saat ini adalah pengawasan publik dan partisipasi positif.

Dalam hal keterbukaan data, misalnya, publik termasuk para ahli terus mendesak pemerintah lewat komunitas, organisasi, lembaga swadaya masyarakat, bahkan gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi.

Berbagai kelompok masyarakat juga telah bekerja sama menggalang upaya di tengah wabah, seperti menggalang dana, donasi pangan, berbagi informasi kesehatan, hingga urun daya mengawasi penyebaran.

Upaya kolektif dalam berbagi dan saling menguatkan di tengah pandemi jelas patut diapresiasi. Namun, munculnya solidaritas warga seringkali adalah gambaran ketidakpercayaan mereka pada kemampuan pemerintah menangani masalah.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now