Menu Close

Melemahnya basis massa dan kinerja mesin partai politik, perlukah Indonesia kembali ke sistem pemilu tertutup?

Bendera sejumlah partai politik dalam Kirab Pemilu di Palu, Sulawesi Tengah. Mohamad Hamzah/Antara Foto

Secara kelembagaan, partai politik (parpol) memerlukan basis massa untuk menyokong eksistensinya. Tidak hanya sebagai sumber dukungan, basis massa merupakan komponen krusial untuk membuktikan bahwa mesin partai politik bekerja dengan baik dan mampu melakukan penetrasi ideologinya ke masyarakat.

Sayangnya, hasil-hasil studi tentang afiliasi ideologi pemilih ke parpol di Indonesia menunjukkan bahwa umumnya parpol tidak memiliki basis massa yang kuat. Survei Poltracking Indonesia pada Mei 2022, misalnya, menunjukkan masyarakat cenderung memilih figur personal (51,4%) ketimbang parpol (14,5%).

Tren ini terjadi karena rendahnya kesadaran politik, pendidikan politik, konsistensi dan kualitas kinerja partai secara institusi maupun lewat anggota legislatif dan pejabat eksekutifnya, hingga pada masalah menguatnya pragmatisme politik.

Fenomena ini bermula dari lemahnya sosialisasi politik parpol sendiri. Parpol terperangkap dalam bayang-bayang elit yang berambisi menduduki posisi pimpinan eksekutif, seperti menteri atau kepala lembaga. Alhasil, parpol hanya menjadi sarana untuk memenuhi keinginan elit partai dibanding memperkuat mesin politik organisasi untuk kebutuhan jangka panjang.

Jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, parpol tentunya harus bebenah dan lebih merawat basis massanya, mengingat masyarakat adalah pemangku kepentingan utama demokrasi.

Parpol dan dinamika elektoral

Sejak Pemilu 2009, Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka – pemilih dapat memilih daftar nama calon anggota legislatif (caleg) secara langsung.

Ini berbeda sistem proporsional tertutup yang berlaku selama 1971-1997. Pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai saja, sedangkan calegnya dipilih berdasarkan nomor urut yang ditentukan oleh mekanisme internal partai.

Sistem proporsional terbuka nyatanya telah membawa dampak besar terhadap dinamika politik nasional. Sistem ini memberikan otoritas pada pemilih untuk langsung memilih figur caleg, sehingga anggota legislatif terpilih lebih mampu bertanggung jawab kepada konstituennya.

Sistem ini kemudian membuat pemilih jadi lebih berdaulat atas parpol. Konsekuensinya, parpol terlihat kurang memiliki kendali atas kandidat terpilih. Parpol hanya menjadi “penyedia tiket” untuk caleg, tetapi kurang menyediakan dukungan berupa mesin politik untuk mendulang dukungan elektoral. Selama ini, caleg lebih banyak mengandalkan jaringan personalnya ketimbang mesin politik partai.

Inilah mengapa baru-baru ini – dan biasa terjadi menjelang pemilu – muncul wacana pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup. Tujuannya agar elit parpol semakin memiliki pengaruh besar terhadap caleg, sekaligus membawa jaringan patronase dan klientelisme caleg kepada kendali parpol. Patronase dan klientelisme merujuk pada hubungan politikus dan pemilih yang melibatkan pertukaran materi sebagai syarat dukungan politik.

Wacana pengembalian sistem proporsional tertutup juga terkait erat dengan maraknya politik uang di pemilu. Caleg dan parpol tentunya membutuhkan biaya besar dalam berlaga di kontes politik agar terpilih. Sistem proporsional terbuka membuat parpol tidak memiliki kendali penuh terhadap kadernya, bahkan sering bergantung secara finansial pada kader-kadernya sehingga penerapan aturan atau pun panduan pemilu tidak terpantau secara optimal.

Di daerah, banyak parpol tidak memiliki kader mumpuni yang tersebar merata di setiap daerah pemilihan (dapil). Seringkali partai justru “ditopang” dan “dibiayai” anggotanya. Ini menyebabkan fungsi kontrol kader menjadi tidak efektif dan efisien.

Meski demikian, terlepas dampak buruk sistem proporsional terbuka bagi kinerja mesin parpol, sistem ini mampu lebih banyak memberikan ruang bagi penguatan partisipasi masyarakat. Dengan sistem terbuka, kompetisi politik menjadi semakin dinamis. Caleg pun dituntut lebih proaktif dan kreatif.

Sistem terbuka juga membuat anggota legislatif lebih bertanggung jawab terhadap konstituen. Sebab, masyarakat memegang mekanisme kontrol terhadap kinerja politikus dan parpol. Jika mekanisme kontrol ini dipindahkan ke parpol, maka pengawasan oleh masyarakat akan semakin tertutup dan hal tersebut menandakan penurunan kualitas demokrasi.

Perbaikan kelembagaan parpol

Jika berdebat tentang opsi sistem proporsional terbuka vis-a-vis tertutup, pertanyaan esensialnya adalah apakah arah konteks tata kelola pemilu dan demokrasi kita hari ini ingin memperkuat masyarakat sipil atau partai?

Jawabnya jelas, bahwa dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang harus diperkuat dan mendapatkan ruang kendali ketimbang parpol. Sementara itu, tugas parpol adalah meningkatkan citra dan dan memperkuat kinerja mesin politiknya agar bisa hadir menjadi institusi yang mandiri, kuat, dan bercitra baik.

Lalu, bagaimana caranya untuk bisa menciptakan aturan main yang sehat?

Pertama, untuk masyarakat.

Selama ini, masyarakat lebih banyak menjadi ceruk suara parpol. Padahal dalam mewujudkan demokrasi substantif, masyarakat bisa menjalankan peran aktif sebagai pengawas pemilu–di luar lembaga resmi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Contohnya dengan menggunakan media sosial. Masyarakat bisa mengekspos bentuk-bentuk kecurangan pemilu agar mendapatkan perhatian maupun diskusi publik yang intens. Sebab, persoalan yang viral dan mendapat perhatian luas dari warganet cenderung lebih cepat mendorong perbaikan.

Kedua, untuk pemerintah.

Pemerintah perlu mengkaji pendanaan politik per kapita. Ini bisa dilakukan dengan mengumpulkan data biaya kampanye berdasarkan jenis dan daerah pemilihan, serta konteks sosial-demografi. Hasil perhitungan ini bisa dijadikan sebagai basis regulasi pembiayaan politik, regulasi ambang batas dana kampanye, subsidi, dan transparansi pembiayaan parpol di Indonesia. Misalnya, dengan mencontoh konsep “financial fair play” dalam sepak bola, pemerintah dapat menetapkan ambang batas dana-dana kampanye pemilu parpol dan caleg.

Ketika masalah pembiayaan dapat diatasi, sistem apa pun sejatinya tidak akan menjadi masalah baru bagi pelaksanaan proses politik di Indonesia.

Ketiga, untuk parpol.

Dalam menjaring caleg, parpol seharusnya tidak hanya melihat popularitas, kekuatan finansial, dan pemenuhan kuota. Parpol harus lebih fokus melihat kapasitas personal kandidat dalam memahami akar persoalan masyarakat.

Langkah awal yang bisa dilakukan parpol adalah dengan memperkuat kerja sama dengan organisasi nonprofit atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mencari figur-figur potensial. Ini karena LSM cenderung memiliki modal sosial dan memahami akar persoalan di masyarakat sekaligus memiliki kedekatan dengan masyarakat.

Parpol dapat membuka diri dalam menerima sekaligus meminta rekomendasi LSM terkait kandidat-kandidat mumpuni untuk diajukan menjadi caleg. Parpol dan LSM harus saling terbuka menjalin kerja sama demi menghadirkan caleg dengan kualitas terbaik demi perbaikan taraf kesejahteraan masyarakat.

Di samping itu, parpol juga perlu menyediakan jenjang karier dan terbuka secara organisasi serta kepemilikan. Parpol harus bisa memodernisasi organisasinya layaknya perusahaan besar yang menerapkan sistem merit dan profesionalisme sehingga mampu menawarkan jenjang karier yang demokratis bagi kader-kadernya. Rasa kepemilikan parpol oleh anggota menjadi besar berkat standar kompetensi sebagai syarat utama mobilitas di internal organisasi.

Untuk mewujudkan semua itu, parpol harus transparan dan akuntabel kepada semua pihak, serta mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola partai yang baik dalam operasional dan pengambilan keputusannya.

Kita semua tentunya berharap parpol di Indonesia menjadi institusi yang lebih baik. Parpol dapat menjadi pusat inovasi politik dan ideologi, serta wahana partisipasi aktif masyarakat. Suka atau tidak, parpol dalam demokrasi kita hari ini telah menjadi institusi penyedia calon-calon pemimpin yang akan mewarnai arah kebijakan pemerintah sekaligus menentukan mutu demokrasi Indonesia di masa kini dan mendatang.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now