Menu Close

Jelang Pemilu 2024, saatnya media sosial jadi panggung kampanye yang berkualitas

Silaturahmi delapan partai politik. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

Desember lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menetapkan 17 partai politik (parpol) nasional dan 6 parpol lokal Aceh yang akan melaju sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Walaupun masa kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023, sepertinya parpol serta para bakal calon kandidat presiden tidak akan menunggu hingga waktu tersebut untuk mendekati pemilih.

Apalagi, KPU dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah sepakat untuk mempersingkat masa kampanye Pemilu menjadi hanya 75 hari, dari durasi sebelumnya yang mencapai lima bulan.

Ini keputusan tepat, karena jadwal kampanye Pemilu yang terlalu panjang memang tidak menjamin kualitas Pemilu menjadi lebih baik. Sebaliknya, lamanya masa kampanye justru bisa berdampak pada ketegangan berkepanjangan antara kubu-kubu pendukung masing-masing kandidat.

Pertempuran, dengan demikian, sudah dimulai dari sekarang, dan media sosial ditengarai menjadi medan tempur sekaligus senjata ampuh untuk menggaet pemilih, terutama pemilih muda. Tidak heran, ini karena media sosial bisa menjadi sangat efektif dan efisien bagi para politikus dan partainya mengingat singkatnya masa kampanye. Bahkan, saat ini sejumlah tokoh dan politisi mulai aktif dan makin intens menggunakan media sosial sebagai platform komunikasi dengan masyarakat.

Setidaknya ada tiga hal mengapa media sosial jadi tempat yang tepat untuk berkampanye: mendapatkan banyak massa tanpa terjun ke lapangan, mengurangi politik uang, dan meningkatkan kualitas kampanye dengan menonjolkan sisi pendidikan politik.

Kampanye efektif, menggaet pemilih luas tanpa ke lapangan

Masa kampanye yang singkat menjadi momen bagi para calon presiden (capres), calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik yang akan berkontestasi dalam Pemilu tahun depan untuk memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, terutama media sosial, sebagai wahana utama dalam berkomunikasi dengan calon pemilih mereka.

Saat ini cara-cara konvensional sudah semakin ditinggalkan. Pengguna internet di Indonesia pada awal 2022 ini saja sudah mencapai 210 juta jiwa atau setara 77,02% dari total populasi penduduk, yang mayoritasnya mengakses internet untuk membuka media sosial.

Terlebih lagi, milenial dan generasi Z (dikenal sebagai Gen-Z) akan menguasai 40% sampai 50% total pemilih 2024 nanti, dan salah satu karakteristik Gen-Z yang paling mencolok adalah menguasai berbagai teknologi informasi dan sangat intens dengan aktivitas media sosial.

Kita bisa belajar dari Pemilu Amerika Serikat (AS) 2016, tentang bagaimana Donald Trump dapat memenangkan Pemilu karena kepiawaiannya menggunakan platform media sosial Twitter sebagai saluran komunikasi utama dengan masyarakat untuk mendukungnya dalam Pemilu.

Para kontestan politik untuk Pemilu 2024 agaknya sudah harus mulai menyusun strategi pemanfaatan media sosial sebagai strategi utama kampanye mereka, terutama melalui platform populer, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram, yang cenderung akrab dengan kegiatan keseharian masyarakat Indonesia.

Kampanye efisien, mengurangi politik uang

Di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan, kampanye Pemilu menjadi arena pertarungan ide-ide yang diwujudkan dalam bentuk program yang bisa dilaksanakan oleh capres dan dikawal oleh caleg. Setiap individu yang mencalonkan diri akan menyampaikan gagasannya kepada publik mengenai rencana apa yang akan mereka lakukan sesuai dengan tugas dan fungsi yang akan mereka perankan ketika terpilih nantinya.

Sementara bagi masyarakat, kampanye adalah stimulasi yang membuka cara pandang mereka untuk memahami lebih dalam siapa calon yang akan mereka pilih dalam Pemilu.

Faktanya, banyak caleg lebih memilih memberikan uang dan bantuan materil lainnya kepada calon pemilihnya ketimbang menjual program-program partainya. Apalagi kalau kampanye yang dilakukan calon anggota legislatif menggunakan strategi canvassing, yaitu mengunjungi individu-individu calon pemilih di tingkat RT atau RW.

Bahkan seringkali adanya politik uang tersebut ada karena permintaan masyarakat sendiri kepada calon yang akan mengunjungi daerahnya. Banyak pemilih yang saat ini sudah dihinggapi sindrom harus mendapatkan uang dan bantuan setiap mereka menghadiri kampanye Pemilu calon kandidat atau parpol.

Tidak semua masyarakat yang menghadiri kampanye ini ingin mendengarkan kampanye calon dan partai politik ini. Mereka datang karena dimobilisasi dengan janji akan mendapatkan sejumlah uang dari calon.

Hampir setiap Pemilu yang dilaksanakan pola patronase yang melibatkan politik uang ini sangat menentukan perolehan suara caleg termasuk calon presiden. Tidak sedikit caleg yang berkualitas kalah oleh caleg yang berduit.

Dengan melakukan kampanye di media sosial, kandidat dan parpol tidak perlu lagi menyediakan logistik yang lebih banyak yang berujung pada politik uang.

Model kampanye dengan menggunakan media sosial ini akan dapat mengurangi praktik politik uang dalam Pemilu. Apalagi dengan semakin menguatnya patronase politik dalam setiap Pemilu yang akan terus melahirkan broker politik dalam masyarakat.

Media sosial sebagai sarana pendidikan politik

Secara tidak langsung, kampanye yang dilakukan di media sosial akan memberikan pendidikan politik bagi publik, entah itu yang baiknya atau yang buruknya.

Ini sesuai dengan salah satu tanggung jawab parpol, yakni meningkatkan kualitas pendidikan politik kepada masyarakat. Jika pendidikan politik masyarakat baik, maka Pemilu yang dihasilkan akan berkualitas dan demokrasi alan berkembang menjadi lebih sehat.

Dengan eksistensi warganet yang berasal dari berbagai kalangan dan jeli mengawasi konten, para kandidat dan tim pemenangannya dituntut menjadi lebih kreatif untuk menghadirkan konten-konten yang tidak hanya untuk menarik simpati pemilih, tapi juga konten yang “bergizi” untuk pendidikan politik masyarakat. Ditambah lagi, mereka harus memastikan konten yang diproduksi tidak melanggar aturan perundang-undangan.

Media sosial sudah semestinya menjadi bagian sarana pendidikan politik agar kualitas demokrasi yang sedang bertransformasi ke digital terus membaik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now