Menu Close
Perangkat tes cepat COVID-19. Piroschka Van De Wouw/EPA

Memahami cara kerja rapid test COVID-19 yang hasilnya bisa tidak akurat

Keberadaan alat tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test) untuk COVID-19 di Indonesia saat ini bukan malah memecahkan masalah tapi justru menimbulkan kegelisahan baru di kalangan masyarakat.

Masalah utamanya adalah tingkat akurasi hasil rapid test yang rendah, bahkan pada orang dengan gejala. Hal ini mengakibatkan banyak pihak yang melakukan rapid test positif, tapi ternyata tidak terinfeksi atau sebaliknya.

Pemerintah sudah mengakui ketidakakuratan dan ketidakefektifan rapid test dan berencana memperbanyak tes yang menggunakan sampel dari lendir hidung atau tenggorokan dengan tes real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR) untuk mendeteksi virus di molekul RNA. Tes PCR lebih akurat mendeteksi virus dibanding tes diagnostik cepat.

Padahal, pemerintah Indonesia sudah menyebar 500.000 rapid test untuk mendeteksi penyakit COVID-19 ke berbagai daerah beberapa waktu yang lalu. Beberapa institusi juga memeriksa secara mandiri.

Tulisan ini berusaha menjelaskan mengapa tes diagnosis cepat ini bisa tidak akurat dalam mendeteksi virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab COVID-19.

Dua jenis rapid test: antigen dan antibodi

Ada dua jenis rapid test yang ada saat ini: tes yang berdasarkan antigen, seperti dilakukan di Korea Selatan dan Malaysia, dan yang berdasarkan antibodi, seperti di Amerika Serikat dan Indonesia saat ini.

Untuk memahaminya, kita harus terlebih dulu memahami hubungan antigen dan antibodi.

Ketika ada antigen yang masuk ke dalam tubuh kita, dalam hal ini virus SARS-CoV-2, sistem pertahanan tubuh kita akan melawan. Jika tubuh kita disamakan dengan sistem pertahanan negara, maka tentara dalam tubuh kita bernama sel darah putih. Ketika serangan musuh semakin hebat, maka makin banyak juga sel darah putih yang dikerahkan.

Tidak semua sel darah putih menjadi tentara yang menyerang. Ada juga yang menjalankan fungsi sebagai mata-mata. Mereka bertugas membuat profil musuh, dalam hal ini profil virus yang akan dilawan. Setelah informasi profil virus terkumpul, akan ada tim khusus yang akan melawan virusnya. Tim khusus ini yang disebut sebagai antibodi. Untuk melawan virus, antibodi akan menempel pada antigen sehingga kemampuan virus memasuki sel dan memperbanyak diri dicegah.

Petugas kesehatan memeriksa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang baru kembali dari Malaysia di Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur guna memastikan mereka tidak terkena COVID-19. Fully Handoko/EPA

Dengan penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa rapid test antigen adalah tes diagnosis cepat untuk mendeteksi keberadaan antigen yaitu benda asing dalam tubuh.

Dalam kasus ini, antigen yang dimaksud adalah virus SARS-CoV-2. Di dalam alat tes berbasis antigen terdapat antibodi yang dipakai untuk mendeteksi antigen. Sampel pemeriksaan untuk tes cepat antigen biasanya diambil dari lendir di belakang tenggorok pasien, setelah diproses, akan diteteskan pada alat tes. Jika terdapat antigen dalam bahan pemeriksaan maka akan terjadi penempelan dengan antibodi yang tersedia dalam alat tes. Ini artinya hasilnya positif.

Sebaliknya, rapid test antibodi akan mendeteksi apakah ada antibodi dalam sampel darah yang diperiksa. Sampel untuk tes cepat antibodi adalah darah yang diambil dari ujung jari. Dalam alat ini terdapat antigen untuk mendeteksi munculnya antibodi di tubuh pasien. Jika pernah terpapar virus, maka akan terjadi pertemuan antara antibodi dalam darah pasien dengan antigen yang sudah ada dalam alat tes ini. Jika memang ada atau pernah terpapar virus, maka hasilnya akan positif.

Mengapa tidak akurat

Antigen biasanya ditemukan pada saat awal penyakit. Setelah itu tubuh bereaksi dengan membentuk antibodi. Antigen dan antibodi ini akan membentuk pasangan antigen dan antibodi yang tidak bisa lepas.

Jika antigen adalah gembok, maka antibodi adalah anak kuncinya. Jika antibodi sudah bergabung dengan antigen tertentu, maka antigen yang kita cari tidak akan terdeteksi. Akibatnya hasil tes akan menunjukkan negatif palsu. Artinya akan ada orang yang sebetulnya mengandung antigen SARS-CoV-2 tapi malah dinyatakan negatif.

Sementara itu, antibodi baru muncul beberapa hari setelah tubuh bertempur melawan kuman. Proses memata-matai musuh butuh waktu, sehingga antibodi pun baru muncul belakangan. Jadi rapid test antibodi baru akan positif ketika antibodi sudah terbentuk. Jika pemeriksaan dilakukan sebelum terbentuk antibodi, maka hasil tes pun bisa negatif palsu. Artinya akan ada orang yang sesungguhnya mempunyai virus, tapi karena belum menghasilkan antibodi maka memperlihatkan hasil tes yang negatif.

Oleh karena itu, jika hasil pemeriksaan negatif, maka pemeriksaan harus diulang 7-10 hari kemudian dengan harapan antibodi sudah terbentuk dan dapat dites. Sedangkan, rapid test antigen tidak bisa diulang karena antigen yang dicari sudah terikat pada antibodi buatan tubuh.

Kelemahan lain dari rapid test adalah kurang peka dalam mengidentifikasi keberadaan virus SARS-CoV-2. Virus tersebut mirip dengan virus lain, sehingga sering kali tes diagnosis cepat salah dalam mengidentifikasinya dan menghasilkan hasil tes positif palsu, artinya orang yang tidak terinfeksi virus SARS-CoV-2 bisa terdeteksi positif.

Rapid test antigen dipercaya lebih akurat dibanding rapid test antibodi karena tes yang melibatkan antigen, artinya tes yang dilakukan untukk mendeteksi virusnya bukan respons tubuh terhadap virus (antibodi).

Teknik pengambilan sampel untuk rapid test antigen juga lebih rumit jika dibanding rapid test antibodi. Petugas kesehatan bisa mengambil darah dari ujung jari atau lipat siku seperti pengambilan darah biasa, tidak perlu menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk tes antibodi; sedangkan untuk pemeriksaan antigen, petugas harus memakai alat pelindung diri (APD) lengkap karena ada kemungkinan perpindahan virus dari pasien kepada petugas.

Seorang petugas kesehatan di Italia mengambil darah pasien untuk diperiksa menggunakan rapid test Ciro Fusco/EPA

Kelebihan rapid test

Di samping kelemahannya, masih banyak yang menggunakan rapid test karena lebih mudah.

Penggunaannya tidak memerlukan fasilitas laboratorium yang canggih dan hasilnya dapat cepat didapat untuk mengetahui apakah seseorang kemungkinan menderita atau tidak menderita COVID-19.

Dalam waktu kurang dari 1 jam biasanya sudah bisa didapatkan hasil, jauh lebih cepat dibandingkan dengan pemeriksaan yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu PCR dan identifikasi urutan nukleotida (asam-ribonukleotida) virus COVID-19 yang membutuhkan waktu hingga berhari-hari.

Karena teknologinya lebih sederhana, maka harga rapid test pun lebih murah dibandingkan dengan biaya PCR.

Di gerai online, alat rapid test antibodi dijual sekitar Rp 300.000 per unit beda dengan PCR yang biayanya mencapai jutaan. Penjualan alat rapid test secara online akhirnya dilarang.

Tabung tes virus SARS-CoV-2 di sebuah laboratorium di Jerman. Sascha Steinbach/EPA

Kita perlu memahami bahwa hasil positif dari rapid test tidak menjadikan seseorang dapat dikatakan menderita COVID-19. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes PCR yang direkomendasikan WHO untuk memastikan apakah yang terdeteksi betul-betul berkaitan dengan penyakit COVID-19.

Demikian juga ketika hasilnya negatif. Hasil negatif pada pasien yang terinfeksi COVID-19 harus diikuti dengan isolasi dan pemeriksaan ulang rapid test antibodi 7-10 hari kemudian. Jika negatif, baru dianggap virusnya tidak terdeteksi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now