Menu Close

Memahami psikologi di balik takut dan benci dan cara mengatasinya: Pelajaran dari serangan di Selandia Baru

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern pasca penyerangan di Christchurch, Jumat lalu (15/3). NZ Prime Minister's office, CC BY

Sebagai seorang imigran di Selandia Baru, saya sedih dan marah melihat apa yang terjadi di Christchurch. Selandia Baru, negara yang terletak di tenggara Australia, yang tampak polos dan damai diganggu oleh tindakan keji.

Polisi tetap bersiaga tinggi dan pihak-pihak berwenang masih terus mengabarkan peristiwa penembakan di dua mesjid di Christchurch tersebut yang membunuh 50 orang dan mencederai lebih banyak lagi. Tiga orang telah ditahan, dan satu orang Australia yang tinggal di Selandia baru secara tidak menentu, telah dipanggil pengadilan untuk tuntutan pembunuhan.

Penelitian saya fokus terhadap bagaimana penduduk mayoritas melihat tumbuhnya populasi migran, dan apa yang bisa kita lakukan untuk menahan rasa takut dan benci.

Migran sebagai sasaran kebencian

Tersangka penembakan (yang The Conversation tidak ingin sebutkan namanya) adalah seorang yang mengaku sebagai pejuang supremasi kulit putih. Sebelum penyerangan dia menyebarkan manifesto 87 halaman di internet. Dalam manifesto dan akun sosial medianya, dia menyebut adanya kebangkitan Islam, dan bagaimana kota-kota dipermalukan dan dirusak oleh migran.

Dia mengunggah foto amunisi, me-retweet pesan-pesan ekstrem kanan, dan memuji pejuang supremasi kulit putih lain. Manifestonya meliputi referensi soal “genosida putih”. Istilah itu berdasarkan pada teori konspirasi yang banyak dipercayai oleh kaum ekstrem kanan dan supremasi kulit putih tentang bagaimana migrasi “non-kulit putih” melemahkan bangsa kulit putih.

Motif pelaku penembakan ini terlihat sama dengan pejuang kulit putih lain yang telah melakukan hal serupa: pelaku penembakan sinagog Pittsburgh, pelaku penyerangan Charlottesville, pelaku penembakan gereja Charleston, dan pelaku serangan di Swedia, Quebec; Kanada, dan Norwegia.

Di setiap kasus, pelaku serangan menyuarakan kebencian terhadap minoritas atau imigran dan menganggap cara hidup mereka, yaitu hidup “kulit putih”, sedang diganggu oleh kelompok-kelompok yang menyusup dalam masyarakat mereka.

Dalam satu dekade terakhir, tim saya telah melakukan penelitian di India, Prancis, Finlandia, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat untuk menganalisis bagaimana anggota kelompok mayoritas melihat minoritas dan kelompok imigran. Penelitian ini menunjukkan banyak anggota kelompok dominan, kebanyakan orang Kristen kulit putih di negara yang diteliti, mengaku takut dengan imigran di negara mereka. Secara khusus, para responden takut imigran akan mengubah budaya, politik, dan kehidupan ekonomi mereka.

Memerangi ketakutan untuk mengurangi kebencian

Biasanya ketakutan semacam itu tidak berbahaya dan hanya menghasilkan sedikit kesalahpahaman atau kurangnya interaksi. Namun seperti yang telah kita sering lihat, ketakutan itu dapat menimbulkan prasangka, kebencian, dan hal-hal lainnya yang lebih buruk.

Akhir-akhir ini, ketakutan tersebut telah menjadi parah dengan semakin banyaknya platform media sosial. Dengan media sosial, tiap orang dengan mudah menemukan orang lain dengan sentimen serupa hingga tidak merasa sendirian. Kemampuan untuk menemukan komunitas yang memiliki perasaan serupa memberikan rasa aman dan memvalidasi ketakutan dan kebencian mereka.

Dalam dunia kita yang semakin terhubung, penting untuk mengambil langkah memerangi ketakutan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya tragedi serupa terjadi di masa depan. Pertama, sangatlah penting bagaimana keluarga membicarakan minoritas dan imigran. Dalam penelitian kami di Finlandia, kami menemukan prasangka orang Finlandia terhadap imigran Rusia kebanyakan dibentuk pada masa remaja. Orang tua wajib menjadi panutan bagi anak-anak dan remaja mereka untuk mempromosikan toleransi dan saling menghormati sejak dini.

Kedua, dalam dunia yang semakin terhubungkan via komputer, kita memiliki tanggung jawab bersama untuk melawan pesan-pesan di internet yang rasis dan penuh kebencian. Jika Anda melihat video YouTube yang Anda anggap melecehkan atau menyinggung, laporkan.

Ketiga, semakin banyak kontak yang kita lakukan dengan orang lain dan mempelajari satu sama lain, semakin kecil kemungkinan kita untuk takut dengan yang berbeda dengan kita. Ini mungkin terdengar basi, tapi semakin kita kenal kelompok lain, semakin mungkin pula kita untuk berbagi informasi antara satu sama lain dan meningkatkan kerukunan sosial kita. Selanjutnya, kita mampu mengidentifikasi dan memperbaiki lebih baik keretakan dalam masyarakat kita. Sudah jadi tanggung jawab kolektif kita sebagai masyarakat beragam untuk mengakui keberagaman dan menghadapi rasa benci yang dapat menyerang rumah kita dan diri kita sendiri.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now