Menu Close

Memanfaatkan kekuatan universitas sebagai aktor baru dalam diplomasi global

Universitas Gadjah Mada baru saja bergabung ke dalam daftar 300 universitas terbaik di dunia pada QS World Rankings tahun 2021. (Shutterstock)

Meskipun selama ini menjadi aktor utama dalam hubungan internasional, negara kini mengalami berbagai tantangan dalam menghadapi isu kontemporer - seperti krisis iklim, pandemi, terorisme, hingga kesenjangan ekonomi - karena seringkali tidak efisien atau bahkan korup.

Hal ini berujung pada kemunculan sejumlah aktor non-negara. Misalnya, kelompok teroris seperti ISIS yang begitu mempengaruhi kebijakan luar negeri dari berbagai negara terkait terorisme, atau aktor lain seperti grup musik K-Pop BTS yang berhasil diri mempengaruhi cara dunia melihat Korea Selatan sebagai negara.

Universitas dan institusi pendidikan tinggi kini juga telah mulai mengambil alih peran negara sebagai kekuatan yang dominan dalam menarik investasi asing - terutama terkait sumber daya manusia dan teknologi.

Manajemen pendidikan tinggi yang baik telah membantu berbagai negara - seperti Inggris dan Cina, misalnya - untuk meningkatkan profil internasional mereka dan menarik tidak hanya peneliti berbakat tapi juga triliunan rupiah ke ekonomi mereka.

Pasar pendidikan tinggi dunia sendiri sangatlah masif, dan terus berkembang. Pada tahun 2017, lebih dari 5,3 juta mahasiswa belajar di luar negara mereka, meningkat hampir tiga kali lipat dari 2 juta di tahun 2000an.


Read more: Memahami universitas sebagai ajang pertempuran ideologi politik


Memahami ‘soft power’ dari pendidikan tinggi

Untuk menjelaskan potensi besar dari universitas, pertama kita harus memahami konsep “soft power” atau “kekuasaan lunak”.

Peneliti politik dari Harvard University, Joseph Nye mendefinisikannya sebagai kemampuan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan melalui daya tarik ketimbang menggunakan paksaan atau bayaran. Menurutnya, faktor yang menentukan daya tarik suatu negara mencakup budaya, ideologi politik dan kebijakan luar negeri.

Institusi pendidikan tinggi dapat menjadi instrumen diplomasi dengan membuat suatu negara atau budaya memiliki daya tarik yang tinggi melalui keunggulan intelektual.

Berdasarkan indeks ‘Soft Power 30, kuatnya pengaruh pendidikan tinggi suatu negara dinilai dari beberapa indikator: jumlah universitas top dunia, publikasi akademik, dan mahasiswa internasional di negara tersebut.

Negara dengan capaian yang baik pada indikator-indikator tersebut banyak yang kemudian memiliki pengaruh dan daya tarik global tinggi.

Misalnya, UNESCO melaporkan bahwa Inggris, Jerman, dan Cina termasuk di antara 10 negara destinasi utama untuk mahasiswa asing.


Read more: Bagaimana Korea Selatan dan Taiwan mengembangkan ekonomi mereka dengan cepat, sementara Malaysia dan Indonesia tertinggal


Sebuah riset tahun 2018 dari Indiana University, AS, menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan tinggi pemerintah Cina - termasuk menyediakan peluang pendidikan pada mahasiswa di negara berkembang hingga mendirikan institusi mitra di luar negeri - berhasil membantu menarik banyak talenta akademik ke sana.

Sementara itu di Inggris, mahasiswa internasional menyumbang Rp 57 triliun pendapatan negara tersebut selama 10 tahun terakhir melalui pajak penghasilan dan iuran jaminan sosial. Jumlah ini bahkan belum termasuk uang kuliah atau biaya visa kerja pasca kuliah.

Pasar yang ada ini tidak hanya bisa digunakan untuk mensubsidi mahasiswa dan riset domestik, tapi juga mendorong kolaborasi lintas budaya dan membantu menciptakan masyarakat yang lebih multikultural.

Untuk meningkatkan ‘soft power’, perbanyak investasi riset global

Dalam dua dekade terakhir, raksasa sains Asia Tenggara yakni Singapura mengarahkan pengembangan sistem pendidikan tingginya pada kolaborasi riset internasional serta pertukaran inovasi dan bisnis secara intensif.

Misalnya, investasi Singapura pada riset dan pengembangan global meningkat sepuluh kali lipat dalam 25 tahun terakhir; pemerintah Singapura mengalokasikan lebih dari Rp 270 triliun untuk rencana strategis mereka hingga tahun 2020.

Melalui National Research Foundation (NRF), Singapura menawarkan berbagai hibah riset internasional, bahkan juga pendanaan antara perusahaan serta universitas Singapura dan ilmuwan asing - seperti melalui Dana Penyelarasan Industri (Industry Alignment Fund).


Read more: Mencari model pendanaan riset yang lebih baik bagi Indonesia: Belajar dari Singapura


Hasilnya, Singapura menjadi satu-satunya negara Asia dalam posisi 15 teratas di World University Rankings - sebuah ukuran penting untuk menentukan indeks ‘Soft Power 30’.

Namun, kisah yang berbeda terjadi pada negara tetangganya, Indonesia - negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Meskipun Indonesia memiliki jumlah universitas terbanyak di Asia Tenggara, minimnya kebebasan akademik dan tidak efektifnya kebijakan pendanaan riset telah menghambat pendidikan tinggi di Indonesia selama beberapa dekade terakhir.

Berdasarkan data UNESCO terkini, Indonesia hanya mengalokasikan 0,24% dari Pendapatan Domestic Bruto (PDB) untuk riset dibanding Singapura dengan 2,2%.

Hal ini telah mengurangi ketertarikan dunia internasional untuk berkolaborasi dan berinvestasi terhadap institusi pendidikan tinggi di Indonesia.

Pada tahun 2017, rasio jumlah mahasiswa asing terhadap jumlah total mahasiswa yang terdaftar hanya 0,1%, paling rendah dibanding negara lain di Asia Tenggara yakni Singapura (27,2%), Malaysia (8%), Thailand (1,3%) dan bahkan Vietnam (0,24%).


Read more: Indonesia ingin jadi No. 1 di ASEAN, tapi dalam dunia ilmu pengetahuan kolaborasi lebih penting


Ini menunjukkan bahwa untuk mencapai pengaruh global atau bahkan memasuki indeks ‘Soft Power 30’ yang prestisius, penting bagi pemerintah untuk berinvestasi lebih pada kemampuan sektor pendidikan tinggi Indonesia untuk menarik minat publik internasional.

Sudah banyak riset yang menunjukkan bahwa membuka kanal untuk kolaborasi riset global - melalui beasiswa atau dana hibah - dapat meningkatkan daya tarik suatu negara secara lebih besar ketimbang faktor-faktor pendidikan lainnya yang mempengaruhi soft power.

Apabila perubahan-perubahan ini tidak dilakukan, berbagai negara termasuk Indonesia akan tertinggal dalam perlombaan untuk mendayagunakan institusi pendidikan tinggi sebagai kekuatan untuk diplomasi global.


CATATAN EDITOR: Kami melakukan koreksi terhadap versi sebelumnya yang salah menyebutkan jumlah mahasiswa asing di Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now