Menu Close
Kawasan pesisir di Jakarta Utara. (Bagus upc/Shutterstock)

Menata kampung pesisir kota yang tangguh iklim berbasis suara warga: Belajar dari Jakarta

Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel ini merupakan kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.


Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan berisiko membuat jutaan masyarakat pesisir dan pulau-pulai kecil kehilangan tempat tinggal akibat banjir rob, cuaca ekstrem, hingga penurunan muka tanah. Sejumlah desa di kawasan pantura bahkan sudah mengalaminya.

Beban mereka semakin berlipat lantaran sumber penghidupan dari hasil tangkapan laut menurun.

Sayangnya, program pemerintah belum menjawab persoalan adaptasi beragam masalah tersebut. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), sebagai forum musyawarah dan aspirasi pembangunan antarpemangku kepentingan dari tingkat desa hingga nasional, masih berpaku pada pembangunan fisik rutin seperti jalan, lampu, saluran, lapangan, dan alat bantu kesehatan serta olahraga.

Muatan Musrenbang yang itu-itu saja gagal menjaring suara-suara masyarakat pesisir kota karena berbagai masalah. Beberapa di antaranya adalah teknik dan materi informasi yang tidak tepat, ketidaktahuan pengurus seputar pendekatan partisipatif, hingga absennya pelatihan perencanaan untuk warga.

Pemerintah perlu mencari terobosan kebijakan penanganan persoalan kampung-kampung pesisir yang lebih banyak melibatkan masyarakat. Harapannya, program pemerintah selaras dengan kebutuhan warga kota pinggir laut beradaptasi dengan perubahan iklim, sekaligus mengungkit kesejahteraan masyarakat.

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, infrastruktur publik dan hak-hak urban menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Mereka mencari solusi terkait bagaimana menata permukiman kumuh dan mencegah penurunan kualitas hidup masyarakat urban tanpa menciptakan penggusuran-penggusuran baru.

Salah satu cara yang menurut kami patut dilakukan adalah program pemberdayaan dan pendampingan warga pesisir secara langsung. Tujuannya agar mereka bisa mengatasi masalah sesuai kebutuhan bersama.

Kami sudah terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat sejak 2013 di Tangerang dan Jakarta. Kami melihat program semacam ini amat mungkin diterapkan agar kampung-kampung pesisir lebih tangguh dengan iklim yang berubah.

Mengapa pemberdayaan langsung?

Kampung pesisir kota sebagai ruang fisik semestinya adalah kawasan yang “hidup” (life space) karena kreativitas penghuninya, termasuk harapan-harapan di dalamnya (the negotiation of hope) untuk mencapai tujuan bersama.

Perencanaan pembangunan Kampung Akuarium oleh warga. (Rujak Center for Urban Studies)

Walau begitu, aneka kreativitas dan harapan perlu dipertemukan dalam dialog bersama untuk menjadi sesuatu yang konkret dan berguna untuk penghuninya. Di sinilah pemerintah dapat menyiapkan program pemberdayaan sebagai salah satu langkah intervensi.

Program bisa berfokus pada bermacam-macam aspek, mulai dari penataan kampung pesisir hingga pengembangan kesenian—selama berbasiskan perencanaan warga.

Untuk melaksanakan program ini, pemerintah kabupaten kota maupun provinsi dapat mencontoh program Penataan Kampung Kumuh dengan skema Community Action Plan (CAP) dan Collaborative Implementation Program (CIP) yang digagas pemerintah DKI Jakarta. CAP adalah perencanaan konsep penataan kampung berbasis warga, sedangkan CIP adalah bentuk rencana aksinya.

Pemerintah tak harus menerjunkan aparaturnya untuk melakukan pemberdayaan dan pendampingan kampung satu per satu. Otoritas hanya perlu bermitra dengan perguruan tinggi ataupun organisasi masyarakat sipil yang relevan, lalu menyediakan anggaran program sesuai CAP.

Tugas mitra cukup strategis karena mereka perlu menggali suara warga dengan berembuk, diskusi langsung, hingga berbaur dengan penduduk. Mitra juga perlu melakukan studi kasus dengan daerah lainnya dengan persoalan ataupun solusi serupa. Jangan lupakan penyusunan solusi, uji coba, pemantauan, pendampingan, dan evaluasi juga perlu dilakukan mitra bersama warga.

Patut diingat bahwa pemberdayaan ini tak selamanya berhubungan pembangunan infrastruktur fisik. Dalam beberapa kasus, pemerintah seringkali mengutamakan pembangunan fisik karena pengukuran keberhasilannya dianggap lebih mudah.

Kami menganggap pembangunan manusia dan ekonomi juga penting untuk meningkatkan ketangguhan mereka menghadapi masalah. Sebagai gambaran, kita bisa menyimak suara warga pesisir Jakarta yang saya wawancarai di bawah ini:

“Harapan saya, ada sekolah yang mengajarkan anak-anak kami hidup sehari-hari di pulau: menangkap ikan, membuat kapal, membangun pulau, dan lainnya. Agar mereka bisa menyesuaikan diri dan lingkungan baik. Setiap Sabtu mereka libur, biar mereka belajar ini pada hari itu. Karena lingkungan sudah berubah.” –Nelayan sekaligus Ketua RT di Kepulauan Seribu, Jakarta.

Kami dari Fakultas Desain Universitas Pelita Harapan pernah menjadi mitra pemerintah DKI dalam program CAP di Kelurahan Sukapura, Jakarta Utara pada 2021.

Kami menggunakan metode Desain sebagai Generator (Design as Generator), yang menggabungkan aktivitas penelitian–desain–aksi dalam pemberdayaan masyarakat. Kombinasi ini memungkinkan pembangunan kota yang hidup, lestari, dan berkeadilan dengan landasan ilmiah (theoretically informed practice) dan di saat yang sama turut pembangunan penghuninya.

Dalam CAP, kami berhasil menggali keinginan warga untuk mempercantik kampung dan mengatasi banjir akibat sungai mengalami pendangkalan. Kami kemudian membuat ruang dialog virtual antara warga dengan pemilik-pemilik bangunan, petugas kelurahan, perusahaan di sekitar Sukapura, hingga DPRD.

Kondisi RW 10 Sukapura tahun 2023 setelah warga mundur secara sukarela sejauh 3 meter dari pinggir kali hasil CAP 2021. (Tim CAP UPH)

Singkat cerita, dialog itu memicu perencanaan aksi pemulihan sungai yang kemudian berhasil mencegah banjir saat musim hujan. Warga pun terlibat dengan merenovasi rumahnya secara sukarela agar menjauh dari sempadan sungai. Solusi ini berlangsung tanpa adanya konflik sosial karena memang datang dari dialog warga bersama pemangku kepentingan.

Contoh lainnya yang bisa kita lihat adalah program penataan Kampung Akuarium di Jakarta Utara yang berhasil memulihkan kehidupan warga pesisir sekaligus menjaga situs Cagar Budaya. Program ini juga disusun dengan skema CAP - CIP dengan pendampingan oleh kelompok relawan lainnya.

Mengukur kesiapan

Memberdayakan kampung pesisir bukanlah langkah mudah karena memakan waktu, pikiran, dan tenaga masyarakat dan pemberdaya. Kesiapan warga berpartisipasi untuk menata kampungnya kemungkinan juga tak merata.

Oleh karena itu, agar program lebih efisien (waktu, biaya, tenaga) dan efektif (tepat sasaran), kita perlu mengukur kesiapan partisipasi masyarakat pesisir secara:

1. Hukum untuk memetakan kepastian legalitas kepemilikan lahan dan gedung hunian, mengingat anggaran pembangunan pemerintah hanya bisa untuk yang legal;

2. Psikologis untuk merekam level kebahagiaan masyarakat dan keharmonisan hubungan masyarakat dan pemerintah. Ketika masyarakat bahagia, masyarakat akan percaya kepada pemerintah dan relasi keduanya akan lebih baik;

3. Level partisipasi masyarakat yang memperlihatkan karakteristik partisipasi, sehingga dapat mengantisipasi atau meniadakan partisipasi transaksional demi menumbuhkan partisipasi berkelanjutan;

4. Ekonomi yang mengelompokkan kelas ekonomi masyarakat sehingga dapat mengurai kendala ekonomi demi partisipasi aktif;

5. Lainnya terkait dengan kondisi dan dampak terhadap kesehatan, keselamatan, kenyamanan, kemudahan kehidupan masyarakat. Misalnya, kondisi pengurukan pantai, dampaknya terhadap biota laut, dan tangkapan ikan.

Hasil pengukuran ini dapat menjadi bekal masyarakat pesisir, pemberdaya, dan pemerintah untuk melihat, apakah program prioritas pemerintah dapat langsung dilaksanakan, ataukah perlu program pendahuluan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

Temuan juga bisa menjawab soal siapa mitra ahli atau kalangan profesional yang perlu terlibat.

Bagaimana tahapannya?

Setelah pengukuran kesiapan rampung, pemerintah dapat segera menyiapkan kajian program bersama akademisi dan lembaga negara terkait seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

Kajian ini menjadi bekal penyusunan rencana induk dan tahap-tahap CAP. Ini juga termasuk perumusan kesepakatan terutama terkait keterlibatan, target, ukuran keberhasilan, pemantauan, dan evaluasi. Proses ini dilakukan bersama masyarakat agar mereka bisa menyepakati pemantauan dan evaluasi sesuai kemampuan.

Setelah CAP, pemerintah dan masyarakat pesisir dapat memulai pelaksanaan program pemberdayaan. Program ini juga bisa melibatkan swasta dengan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Langkah bersama

Pemerintah perlu menyadari iklim sudah berubah. Warga kampung pesisir membutuhkan pendampingan agar lebih tangguh menghadapinya.

Waktu kita tidak banyak. Kita membutuhkan cara ‘luar biasa’ mempertahankan kampung pesisir selain program tahunan yang direncanakan dalam Musrenbang.

Masyarakat pesisir juga perlu aktif menggalang inisiatif untuk bertahan dan berbenah di tengah ancaman kenaikan muka air laut, kehilangan biodiversitas laut, dan cuaca ekstrem.

Kami juga mengajak para akademisi untuk terlibat langsung membangun masyarakat pesisir. Keterlibatan para pakar dapat meningkatkan peluang program pemberdayaan yang berkelanjutan dan berlandaskan sains.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now