Menu Close
Luthfi Dzulfikar/The Conversation Indonesia, CC BY-NC-ND

Mengapa reformasi hukum di Indonesia kerap buntu?

Seiring terbentuknya berbagai institusi dan aturan-aturan baru lewat reformasi hukum pasca 1998, Indonesia pernah disebut sebagai negara demokrasi yang sehat.

Tapi belakangan, reformasi hukum semakin tidak berjalan dan watak asli demokrasi Indonesia muncul ke permukaan: demokrasi tidak sesehat dugaan.

Banyak lembaga-lembaga hukum dan aturan-aturan kini jauh panggang dari api.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - salah satu capaian reformasi paling penting - telah semakin menjauh dari tujuan. Aturan seperti Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dibuat tanpa partisipasi publik dan cenderung melayani kepentingan segelintir elite.

Mengingat berbagai bantuan pembangunan untuk reformasi hukum dari lembaga-lembaga donor telah digelontorkan ke Indonesia, terutama pada era Reformasi, kebuntuan ini menjadi pertanyaan.

Berbagai studi menjelaskan musababnya pada lemahnya desain kelembagaan, atau dibajaknya institusi-institusi hukum untuk kepentingan politik sempit, atau karena aparat yang kurang kompeten. Masalah kelembagaan dan aparaturnya juga kerap dihubungkan dengan rentang usia pembaharuan hukum yang masih pendek, dibandingkan dengan pengalaman negara-negara maju.

Studi lainnya menekankan pada keragaman hukum yang tumbuh dalam masyarakat (pluralisme hukum), sehingga upaya ‘transplantasi’ satu hukum yang liberal dan rasional tak selalu bisa diterima.

Riset kami pada 2019-2021 menunjukkan bahwa keterbatasan reformasi hukum tak semata soal institusi, rentang waktu yang pendek atau pluralisme hukum. Kemampatan ini lebih berkaitan dengan watak tata politik-hukum yang tak sejalan dengan prinsip-prinsip liberal - yang kami sebut sebagai legalisme iliberal.

Dengan watak semacam ini, hukum cenderung bekerja untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan upaya perlindungan hak warga negara dan tak dapat menjamin perwujudan keadilan.

Dalam upaya menumpuk kekayaan dan kekuasaan, kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang ada tidak berkepentingan membentuk sistem hukum yang rasional. Selama ini masih terjadi, upaya mewujudkan hukum yang rasional itu — yang sejalan dengan rule of law sebagai konsep pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan hak warga — akan terus terhenti.


Read more: Riset: reformasi pengelolaan keuangan daerah tidak lantas menurunkan korupsi


Kapitalisme dan kekacauan

Bentuk pengorganisasian kekuatan-kekuatan ekonomi-politik adalah perwujudan dari perkembangan kapitalisme dan evolusi negara yang spesifik.

Secara sederhana, kapitalisme adalah sistem ekonomi (dan politik) yang bertumpu pada penguasaan alat produksi oleh privat untuk akumulasi profit. Pemikir klasik Max Weber menjelaskan bahwa perkembangan tata ekonomi ini sangat dipengaruhi oleh suatu kerangka hukum tertentu.

Menurut Weber, hukum yang rasional — yakni yang bisa memberikan prediktabilitas dan kepastian — dapat menjamin terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.

Dalam sejarahnya, hukum yang rasional merupakan respons atas kekuasaan yang absolut dari kelas aristokrat.

Hukum yang rasional pada mulanya bertujuan agar kepentingan kelas kapitalis (borjuis) yang baru tumbuh bisa terlindungi dari campur tangan penguasa politik dan terutama dari pungutan pajak yang mencekik.

Dalam perkembangannya, hukum juga menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan bagi kelas pekerja dan secara lebih luas juga warga negara.

Dari pengalaman masyarakat Eropa Barat, dapat kita lihat bahwa hukum yang rasional bukan semata pemberian negara atau hasil transplantasi lembaga donor, melainkan produk dari konflik sosial.

Sementara itu, kapitalisme yang diperkenalkan melalui kolonialisme di Indonesia menciptakan struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang amat berbeda dari pengalaman bangsa-bangsa Eropa.

Di Indonesia, tidak ada kelas aristokrat yang dominan secara politik maupun kelas borjuis yang kuat secara ekonomi.

Akibatnya, negara yang ditopang birokrat warisan kolonial tidak hanya memegang kendali atas kekuasaan politik, tetapi juga menggantikan fungsi kelas kapitalis.

Badan-badan usaha milik negara hasil nasionalisasi perusahaan Belanda, misalnya, menjalankan peran sentral dalam proses perkembangan kapitalisme pada awal berdirinya Indonesia.

Saat kemudian kelas kapitalis telah tumbuh berkat bantuan negara, mereka amat bergantung pada akses atas kontrak dan perlindungan politik dari penguasa.

Keadaan ini menciptakan fusi kekuatan ekonomi dan politik.

Di sini, pelaku ekonomi dominan cenderung tidak memerlukan hukum yang rasional untuk membatasi campur tangan politik maupun untuk membangun otonomi relatif dari negara.

Alhasil, ekonomi didominasi oleh sektor-sektor yang membuka ruang besar bagi perburuan rente dengan memanfaatkan alokasi sumber daya dari negara, yang sekaligus meminggirkan liberalisme pasar.

Maka, ada dua poin pokok yang patut kita pertegas.

Pertama, keberadaan rule of law tidak selalu memiliki korelasi positif yang kuat dengan pertumbuhan ekonomi. Kedua, ketiadaan hukum yang rasional, tumpang-tindih aturan, dan segala bentuk kekacauan (disorder) - termasuk maraknya korupsi dan mobilisasi kekerasan - tidak selalu menjadi hambatan bagi kegiatan usaha.

Dalam banyak kasus, seperti di Indonesia, kekacauan ini ironisnya justru menjadi alat yang menunjang akumulasi kapital.

Mahasiswa dan buruh berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Banyumas, Jawa Tengah, pada Oktober 2020. Idhad Zakaria/Antara Foto

Legalisme iliberal

Bagaimana berbagai bentuk kekacauan yang menopang kerangka pengaturan yang iliberal dapat berguna dalam upaya-upaya konsentrasi kekayaan dan kekuasaan?

Bukankah kekacauan justru melahirkan ketidakpastian bagi iklim usaha yang menghambat pertumbuhan ekonomi?

Hasil survei dari World Economic Forum, misalnya, mengategorikan korupsi — yang merupakan salah satu bentuk kekacauan — sebagai penghambat utama investasi. Logikanya, jika korupsi berkurang, maka ekonomi akan berkembang.

Pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo gencar mendorong perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan rangking indeks kemudahan berbisnis, ia bersama Dewan Perwakilan Rakyat justru berkontribusi dalam berbagai upaya pelemahan KPK.

Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, bahkan tegas menyatakan bahwa keberadaan KPK adalah penghambat investasi.

Ia memang sempat mengoreksi pernyataan itu, namun pesan tentang logika kekuasaan yang sebenarnya, telah sampai kepada publik.

Hasil wawancara kami dengan beberapa pengusaha nasional mengonfirmasi logika itu. Bagi mereka, keberadaan KPK yang kuat adalah pengganggu usaha.

Saat menjabat sebagai ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Roeslan Roeslani, juga menegaskan bahwa UU KPK yang baru berdampak positif bagi iklim investasi.

Pandangan-pandangan ini tentu bertentangan dengan asumsi liberal tentang penciptaan hukum yang rasional untuk pertumbuhan ekonomi nasional.

Kontradiksi ini tampak dari lemahnya gagasan ekonomi pasar bebas di Indonesia yang diharapkan dapat ditunjang oleh hukum yang rasional.

Dominasi ekonomi rente menempatkan penegakan hukum pemberantasan korupsi sebagai gangguan.

Jokowi juga mengemukakan anjuran-anjuran yang berusaha memfasilitasi ekonomi pasar saat hendak membentuk UU Cipta Kerja yang merevisi dan menggabungkan lebih dari 70 UU. Ia mengklaim UU omnibus ini dapat mengatasi masalah yang menghambat iklim investasi, terutama terkait pungutan liar dan tumpang tindih aturan.

Nyatanya, aturan ini dibuat dengan mengabaikan transparansi dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik sebagai komponen penopang ekonomi liberal.


Read more: Kemunduran demokrasi dalam pemerintahan Jokowi: nyalakan tanda bahaya


Reformasi hukum di tengah logika kekacauan

Selama aktor ekonomi-politik dominan tidak berkepentingan menegakkan hukum yang rasional, dan lebih bersandar pada berbagai bentuk kekacauan, maka tata politik-hukum akan tetap bertendensi iliberal.

Kebuntuan reformasi hukum juga akibat dari dominasi pendekatan yang menekankan pada perubahan-perubahan institusional.

Pendekatan ini memandang persoalan hukum disebabkan oleh aturan yang bermasalah, budaya hukum yang lemah, atau penegakannya yang berat sebelah.

Banyak lembaga donor telah memberi perhatian pada aspek-aspek ini, di antaranya lewat pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum atau penyusun undang-undang.

Cara pandang ini berisiko memisahkan pembentukan dan penegakan hukum dari dinamika kekuasaan, dan mengasumsikan hukum sebagai entitas yang otonom dan netral.

Keberadaan institusi hukum dengan desain kelembagaan yang baik seperti KPK, misalnya, pernah dianggap sangat menjanjikan untuk reformasi hukum di Indonesia. Akan tetapi, desain kelembagaan yang baik serta dukungan moral dari publik tetap tidak berhasil menyelamatkan KPK dari pembajakan elite.

Ini menunjukkan bahwa reformasi yang berfokus pada perubahan institusional dan “gerakan-gerakan moral” masih sulit membendung kekuatan ekonomi-politik yang iliberal.

Perubahan-perubahan seperti itu tidak menyentuh logika kekuasaan yang bertumpu pada kekacauan sebagai alat akumulasi kekayaan.

Logika kekuasaan ini adalah produk dari bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik diorganisasikan.

Maka penting untuk memahami bagaimana pengorganisasian kekuatan-kekuatan itu dalam menganalisis kebuntuan reformasi hukum di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now