Menu Close
Wanita memegangi perutnya dan memegang segelas susu
food intolerance. Shutterstock

Mengapa semua orang tampaknya memiliki intoleransi terhadap makanan?

Sebagian besar dari kamu akan memperhatikan bahwa mengadakan pesta makan malam lebih sulit daripada sebelumnya. Ada satu teman yang makanannya harus bebas gluten, bebas susu, satu tidak bisa makan bawang, dan dua lagi vegetarian. Apakah intoleransi makanan saat ini tengah meningkat? Atau apakah kita baru mendengar lebih banyak tentang istilah itu sekarang?

Apa itu intoleransi makanan?

Intoleransi makanan adalah reaksi terhadap makan makanan, dalam jumlah normal, yang tidak melibatkan sistem kekebalan tubuh.

Ini berbeda dengan alergi makanan yaitu ketika tubuh meningkatkan respons imun terhadap makanan yang tertelan atau bahkan menyentuh kulit. Respons imun ini sangat cepat (dalam waktu 20 menit hingga dua jam) dan melepaskan zat kimia yang dapat mempengaruhi pernapasan, saluran pencernaan, dan jantung seseorang.

Alergi makanan yang umum termasuk telur, kacang tanah, gandum dan kerang. Alergi berbeda dari intoleransi karena alergi yang paling parah menyebabkan anafilaksis yaitu reaksi alergi parah yang dapat mengancam jiwa.

Mekanisme di balik intoleransi makanan dapat sangat bervariasi. Salah satu mekanisme umum adalah ketika orang kekurangan enzim yang dibutuhkan untuk memecah nutrisi.

Dalam salah satu intoleransi makanan yang paling umum, intoleransi laktosa, orang kekurangan enzim “laktase” yang digunakan untuk memecah karbohidrat ini secara alami ditemukan dalam susu dan beberapa produk susu lainnya. Laktosa dipecah menjadi glukosa dan galaktosa di usus kecil, dan kemudian diserap.


Read more: Everything you need to know about coeliac disease (and whether you really have it)


Tanpa laktase, laktosa tetap berada di usus, di mana ia menarik air dari suplai darah untuk mengencerkan jumlah laktosa. Awalnya ini akan menyebabkan diare, dan kemudian ketika laktosa memasuki usus besar, laktosa difermentasi oleh bakteri di usus kita, yang menghasilkan gas yang menyebabkan perut kembung, nyeri, dan rasa tidak nyaman.

Intoleransi makanan lainnya karena kurangnya enzim termasuk intoleransi terhadap histamin dan kafein. Beberapa orang tidak dapat memecah histamin, yang ditemukan dalam anggur merah, keju beraroma kuat dan blue cheese, tuna, tomat, dan produk daging babi.

Hal ini dapat menyebabkan gejala seperti gatal, kemerahan pada kulit, sakit perut, mual, pusing, sakit kepala dan migrain. Demikian pula, orang juga dapat memiliki kepekaan terhadap kafein (yang biasa ditemukan di dalam kopi dan kakao).

Person chopping onion
Beberapa orang tidak bisa memecah fruktan dalam bawang. Shutterstock

Intoleransi makanan juga berbeda dengan respons auto-imun, seperti pada penyakit celiac. Dalam hal ini, orang mengembangkan respons auto-imun di usus kecil terhadap protein dalam gandum yang disebut gluten. Respon auto-imun juga merusak vili, struktur seperti jari kecil yang bertugas menyerap semua nutrisi.

Banyak orang yang mengalami gejala gastrointestinal sebagai reaksi terhadap produk gandum dan menganggap bahwa mereka menderita penyakit celiac. Namun, mereka mungkin memiliki kepekaan terhadap fruktan, sejenis karbohidrat dalam gandum. Fruktan adalah karbohidrat yang dapat difermentasi secara alami dan “FODMAP” – yang merupakan singkatan dari Fermentable Oligo- Di- Monosacharides and Polyols, yakni sekelompok nutrisi yang dapat menyebabkan sensitivitas.


Read more: The FODMAP diet is everywhere, but researchers warn it's not for weight loss


Seperti dalam kasus laktosa (yang juga merupakan karbohidrat FODMAP), beberapa orang tidak dapat menyerap fruktan dalam jumlah besar (juga terdapat dalam bawang merah dan bawang putih). Seperti laktosa, ini menyebabkan diare, dan kemudian bakteri di usus besar memfermentasi fruktan, menghasilkan gas, sakit perut dan ketidaknyamanan.

Jadi, apakah intoleransi terhadap makanan meningkat?

Meskipun tampaknya intoleransi makanan meningkat, kami tidak memiliki bukti yang baik bahwa hal ini benar-benar terjadi. Data tentang jumlah sebenarnya masih kurang, mungkin karena intoleransi makanan umumnya tidak menyebabkan kebutuhan untuk minum obat atau mencari perawatan medis yang mendesak.

Sebuah laporan tahun 2009 menunjukkan bahwa sekitar 20% dari populasi memiliki satu atau lebih intoleransi makanan, tanpa perubahan nyata sejak tahun 1994. Sebuah survey lebih baru, dari tahun 2020 yang terdiri dari orang yang melaporkan sendiri intoleransinya pada pengguna internet, menunjukkan adanya sekitar 25% dari populasi.

People eating at a buffet
Tidak ada bukti bahwa intoleransi makanan meningkat dari waktu ke waktu. Shutterstock

Peningkatan yang dirasakan mungkin mencerminkan banyak faktor lain. Beberapa orang mungkin mendiagnosis sendiri intoleransi mereka makanan setelah mendapat saran keluarga dan teman sekitar mereka yang mungkin bermaksud baik tapi menyesatkan.

Selain itu, orang mungkin salah mengaitkan gejala medis dengan makanan yang mereka makan. Kita juga memiliki kemampuan untuk mendiagnosis diri, terima kasih kepada Dr Google. Dalam kasus lain, pola diet tertentu mungkin mencerminkan pilihan etis tentang makanan.

Kita semua tahu dari menghadiri acara sosial dengan makanan seberapa sering kita perlu menyediakan kebutuhan diet kita. Ini juga berkontribusi pada normalisasi intoleransi makanan, dibandingkan dengan satu dekade lalu. Sebelumnya orang akan menderita dalam diam atau hanya menghindari mengkonsumsi makanan yang bermasalah.

Faktor lain mungkin adalah proporsi yang lebih besar dari orang-orang dari berbagai etnis yang tinggal di Australia, beberapa di antaranya secara genetik lebih mungkin memiliki sebuah intoleransi.

Jika kamu menduga dirimu memiliki intoleransi makanan, sebaiknya kamu mengetahui sebagai hasil diagnosis dari dokter profesional , guna memastikan kamu tidak mengabaikan masalah medis yang berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari. Kamu juga mungkin tidak perlu menghindari kelompok makanan tertentu dan bisa kehilangan nutrisi penting yang diperlukan untuk kesehatan yang optimal.


Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.


Read more: Explainer: what is gluten intolerance?


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now