Menu Close
Tenaga kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 dosis ketiga kepada petugas ayanan publik di Gedung Islamic Center, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, 14 Maret 2022. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/aww

Mitigasi dan manajemen risiko: empat hal yang “memudahkan” kita bisa bersama COVID-19

Pandemi COVID-19 yang memasuki tahun ketiga serta berbagai perubahan kebijakan terkait pandemi mengajarkan kepada kita bahwa cepat atau lambat kita akan hidup bersama COVID. Virus corona akan terus ada di lingkungan kita dan akan terus bermutasi walau cakupan vaksinasi tinggi.

Dengan demikian, nanti, kebijakan pembatasan yang terlalu ketat secara perlahan tidak diperlukan lagi. Sebab, kita telah mengetahui (1) pola penularan dan pencegahan virus, (2) mayoritas korban yang meninggal selama pandemi adalah mereka yang memiliki penyakit penyerta/komorbid atau belum divaksin, (3) imunitas telah terbentuk baik karena vaksinasi maupun alamiah saat berkontak selama dua tahun dengan virus, dan sekali lagi (4) virus terus bermutasi.

Indonesia telah menghapus kewajiban tes PCR dan antigen bagi pelaku perjalanan yang telah divaksin dua kali dan booster. Negara lain seperti Inggris, Denmark, Arab Saudi, dan negara lainnya juga mulai menghapus kebijakan pengetesan dan karantina.

Kita membutuhkan mitigasi dan manajemen risiko yang lebih baik dan dengan data yang cukup untuk mengidentifikasi, menilai, mengontrol dan meminimalisasi kemungkinan risiko COVID-19.

Pola penularan sudah diketahui dan mutasi virus tak berhenti

Kini perhatian dunia tertuju pada varian baru virus SARS-Cov-2 penyebab COVID-19: varian B.1.1.529 atau omicron. Omicron merupakan varian ke-15 (O) dari varian SARS-Cov-2 ini, yang menunjukkan bahwa virus ini sebagai virus RNA terus bermutasi dan memunculkan varian-varian baru.

Sejak ditemukan pertama kali di Afrika Selatan pada November 2021, para dokter melaporkan bahwa kondisi klinis infeksi omicron sangat ringan. Virus hasil mutasi ini jauh lebih ringan dampak klinisnya dibanding varian delta, meski masih perlu pengamatan jangka panjang karena varian baru.

WHO pada November 2021 menyatakan belum ada laporan yang menunjukkan bahwa omicron lebih mudah menular atau gejala yang lebih berat. Hal serupa juga disampaikan pada halaman resmi Satuan Tugas Penanganan COVID-19 di Indonesia.

Meski demikian, kasus varian omicron selanjutnya tetap ditemukan di Eropa dan berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pada Desember lalu menyampaikan bahwa dengan protokol kesehatan yang baik penularan dapat dicegah dan kasusnya dapat ditekan. Hal serupa juga ditegaskan WHO bahwa protokol kesehatan tetap menjadi kunci utama.

Selama dua tahun menghadapi COVID-19, kita, profesi kesehatan, pengelola rumah sakit, dan pemangku kebijakan sudah mengetahui lebih dalam bagaimana sifat dan berbagai kemungkinan dampaknya. Sehingga, langkah-langkah mitigasi terhadap kemungkinan kejadian selanjutnya serta analisis dan manajemen risiko sudah dapat dilakukan dengan baik.

Mayoritas korban yang meninggal adalah komorbid

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kasus kematian yang terjadi pada COVID-19 juga sangat berkaitan dengan komorbiditas atau adanya penyakit yang sudah diderita oleh pasien sebelumnya, seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, penyakit ginjal, dan penyakit jantung.

Data kasus kematian COVID-19 yang terjadi di Indonesia juga menunjukkan hal yang sama. Penelitian pada kasus kematian COVID-19 yang terjadi di rumah sakit menunjukkan 97% di antaranya sudah mempunyai penyakit penyerta.

Kematian semakin meningkat dengan adanya lebih dari satu penyakit atau lebih dari tiga gejala dan terjadi pada usia tua.

Secara global, kasus-kasus omicron yang ditemukan tidak menunjukkan tingkat keparahan yang tinggi. Angka fatalitasnya juga cenderung menurun dan tentunya kesembuhannya meningkat. Laporan penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan risiko perawatan di rumah sakit sebesar 53%, risiko rawat intensif menurun 74% dan risiko kematian berkurang 91%.

Penelitian di Kanada turut melaporkan angka kematian menurun 0,12% pada varian delta menjadi 0,03% pada omicron atau dengan penurunan 83%.

Data terkini kasus COVID-19 di Indonesia dari total case fatality rate (CFR) 2,6%, pergerakan angka fatalitas juga menunjukkan hal yang sama dengan melihat berdasarkan waktunya. Angka CFR varian omicron berkisar 1,06%, yang jauh lebih rendah dibandingkan varian delta terdahulu yang mencapai 3-4%.

Imunitas telah terbentuk berkat vaksinasi dan alamiah

Pencapaian vaksinasi sebagai salah satu upaya menurunkan penyebaran dan keparahan penyakit juga menunjukkan kemajuan signifikan. Hingga per 15 Maret, pencapaian vaksinasi pertama sudah 92 % dan yang kedua 72% dari target 208 juta penduduk. Cakupan besar ini diyakini telah meningkatkan kekebalan di masyarakat, selain kekebalan alamiah akibat infeksi.

Adanya kontak dengan virus selama dua tahun serta program vaksinasi tersebut, maka probabilitas terjadinya kekebalan populasi menjadi lebih besar.

Selama tetap waspada dan mematuhi protokol kesehatan – demi meredam paparan virus – maka kemungkinan kita terinfeksi dan atau sakit berat dapat dihindari. Sehingga, saat ini langkah yang tepat adalah melakukan mitigasi dengan analisis dan manajemen risiko terhadap kondisi riil.

Fakta-fakta ini menjadi dasar bagi pemerintah dan petugas pelaksana terdepan untuk bersikap, terutama dalam pelayanan publik dan sektor pendidikan. Upaya yang perlu dilakukan saat ini adalah mitigasi, analisis, dan manajemen risiko yang tepat agar dampak wabah tidak berlarut-larut.

Mitigasi dan manajemen risiko

Sejak awal, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 menetapkan bencana non-alam COVID-19 sebagai bencana nasional. Sebagai sebuah bencana, pendekatan penanganan bencana harus diterapkan pada penanganan COVID-19.

Mengacu kepada pada kerangka penanganan bencana secara secara umum, penanganan bencana menggunakan pendekatan sesuai tahapan waktu kejadian bencana tersebut.

Tahapan penanggulangan bencana tersebut termasuk (1) mitigasi yang merupakan tahap awal untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana, (2) kesiapsiagaan perencanaan terhadap cara merespons jika terjadi bencana, (3) respons yang tepat saat terjadi bencana untuk meminimalkan bahaya, dan (4) pemulihan pasca bencana.

Semua tahapan tersebut dapat diaplikasikan pada COVID-19 sebagai bencana nonalam.

Secara hukum, mitigasi merupakan segala upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Berbagai kegiatan dapat dilakukan dalam mitigasi seperti penyiapan sarana prasarana, alur transportasi, edukasi masyarakat dan lainnya. Misalnya, kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi dan sekolah sudah selayaknya dilakukan. Upaya ini tentunya dilakukan dengan tetap memperhatikan beberapa pengawasan kebersihan individu, sanitasi lingkungan, dan kerumunan.

Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan berupa penilaian status kesehatan peserta didik yang datang ke sekolah, penyiapan koordinasi intansi pendidikan dengan layanan kesehatan jika terdapat kasus, dan pengawasan kegiatan harian.

Pandemi telah memberikan dampak besar terhadap kehidupan sosial dan ekonomi termasuk keuangan rumah tangga dan pendidikan anak-anak yang tersendat. Keadaan seperti ini tidak boleh makin berlarut-larut.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,200 academics and researchers from 4,952 institutions.

Register now