Menu Close
Orangutan Tapanuli yang sangat terancam dari Sumatra, Indonesia. Maxime Aliaga / Sumatran Orangutan Conservation Programme, Author provided

Nasib hutan Indonesia ada di tangan pemenang pilpres

Indonesia mengadakan pemilihan presiden Rabu, 17 April 2019, yang akan menentukan apakah Joko “Jokowi” Widodo akan mendapatkan masa jabatan kedua dalam pertandingan ulang dengan rival lamanya, Prabowo Subianto, atau tidak.

Bertanding kembalinya Jokowi mungkin membahayakan keanekaragaman hayati global, karena ia mengancam mengingkari moratorium pembukaan perkebunan kelapa sawit baru. Ini dapat mempercepat deforestasi di Papua, Kalimantan, dan Sumatra.

Dalam waktu singkat, Jokowi berubah dari penyelamat lingkungan–seseorang yang berjuang melawan kebakaran hutan yang merusak dan kabut berbahaya, mencoba memperlambat ekspansi kelapa sawit dan mempromosikan beberapa tindakan ramah lingkungan lainnya–menjadi corong nasionalistis untuk industri kelapa sawit.

Mari berharap transformasi Jokowi layaknya ‘Dr Jekyll dan Dr Hyde’ bersifat sementara–semacam kegilaan singkat yang menjangkiti banyak politikus di tengah sengitnya pertempuran memenangkan hati pemilih.

Jika tidak, hutan Indonesia dan spesies langka yang hidup di dalamnya akan menghadapi risiko yang lebih besar.

Dari tahun 2001 hingga 2017 Indonesia kehilangan lebih dari 24,4 juta hektar tutupan hutan–area yang lebih luas daripada Inggris. Deforestasi di Indonesia salah satu penghancuran hutan dan produksi emisi gas rumah kaca terparah di Bumi.

Hilangnya hutan yang meluas itu sangat membahayakan konsentrasi hewan langka yang sangat tinggi di Indonesia yang merupakan salah satu negara terkaya secara biologis di Bumi.

Konsentrasi besar hewan langka di Indonesia dan Asia Tenggara.

Apa yang terjadi?

Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Bersama dengan Malaysia, negara tetangganya, Indonesia menghasilkan lebih dari 85% pasokan minyak kelapa sawit dunia.

Pada September tahun lalu, Jokowi memberlakukan moratorium perkebunan kelapa sawit baru. Meski hanya efektif sebagian, inisiatifnya disambut oleh para konservasionis dan ilmuwan di seluruh dunia.

Tetapi sekarang, hanya kurang lebih enam bulan kemudian, Jokowi mengancam untuk mundur dari moratoriumnya yang telah mendapat banyak pujian. Mengapa?

Perusakan hutan hujan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Rhett Butler / Mongabay

Jokowi ingin menghukum Uni Eropa (UE) - karena mengeluarkan kebijakan untuk menghapus biofuel yang dihasilkan dari kelapa sawit pada tahun 2030. Jokowi telah bersumpah untuk meningkatkan penggunaan biofuel di Indonesia, guna meningkatkan swasembada energi negara. Lawannya, Prabowo, juga membuat janji serupa.

Rencana Uni Eropa

Eksperimen ceroboh Uni Eropa dengan biofuel dimulai pada tahun 2003, dalam upaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Dengan cepat, mereka menjadi konsumen terbesar biofuel di dunia.

Awalnya, permintaan biofuel yang tinggi dari Eropa mendatangkan keuntungan bagi Indonesia dan Malaysia. Untuk mengambil keuntungan dari situasi ini, baik industri kelapa sawit besar maupun petani kecil memperluas perkebunan yang sudah sangat besar dengan membuka hutan dan lahan gambut yang mengandung banyak karbon.

Tetapi yang menjadi masalah adalah Uni Eropa gagal menyadari betapa banyak penebangan hutan yang disebabkan oleh kelapa sawit, baik secara langsung maupun tidak.

Sebagai tanggapan, organisasi dan ilmuwan lingkungan yang menyadari hal ini mengingatkan bahwa UE sebenarnya mendorong penebangan hutan–menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca dari kerusakan hutan yang seharusnya bisa ditekan dengan cara mengurangi penggunaan energi fosil.

Oleh karena itu, Uni Eropa sekarang berencana untuk menghapus minyak kelapa sawit.

Kesalahan juga ada pada Uni Eropa

Ada banyak pihak yang bisa dipersalahkan mengenai hal ini. Kebijakan baru Uni Eropa cacat karena minyak kelapa sawit yang mereka “hapuskan” sama sekali tidak menghentikan importir UE untuk membeli minyak sawit dari Indonesia–itu hanya mencegah mereka untuk memasukan pasokan tersebut ke dalam target energi terbarukan mereka.

Dan jika minyak kelapa sawit dinyatakan bebas dari penebangan hutan–yang dapat dilakukan oleh produsen tertentu–maka minyak tersebut juga dapat dibeli secara bebas oleh Uni Eropa.

Untuk bagian mereka, Indonesia dan Malaysia telah melakukan segala cara terhadap Uni Eropa selama berbulan-bulan sperti berjanji untuk meluncurkan tantangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), mendorong perusahaan kelapa sawit untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap Uni Eropa dan mengancam untuk melarang masuknya barang-barang dari Eropa

Taktik Indonesia dan Malaysia telah bergeser ke arah mempromosikan produsen yang lebih kecil dan menengah yang secara kolektif disebut “petani kecil”. Mereka, secara tradisional, dianggap tidak menyebabkan hilangnya hutan secara luas.

Tetapi, petani kecil kini menguasai lebih dari 50% lahan perkebunan kelapa sawit, dan merupakan salah satu perusak hutan terbesar.

Membantu “petani kecil” telah menjadi seruan dari Initiative for Public Policy Analysisyang berbasis di Nigeria, sebuah kelompok pelobi yang sebagian didukung oleh pihak-pihak yang skeptis terhadap perubahan iklim.

Sekarang, Malaysia mengeluarkan banyak uang untuk membuat kelompok Nigeria melobi Uni Eropa untuk mereka.

Demam pemilu

Dengan pemilihan yang akan datang, ancaman Jokowi untuk mencabut moratorium minyak sawit telah berubah dari menkhawatirkan menjadi sangat amat menakutkan.

Selain menyatakan bahwa ia mungkin meninggalkan moratorium minyak kelapa sawitnya, ia bahkan mengusulkan untuk menjual sebagian besar minyak sawit Indonesia ke Cina dan India–konsumen-konsumen besar yang akan senang hati membeli minyak kelapa sawit terlepas dari sumber atau dampaknya terhadap kerusakan hutan–selama harganya murah. Malaysia juga mempertimbangkan pasar baru dengan catatan lingkungan yang lemah di Afrika. Dan dalam wujud kesembronoan yang sebenarnya, Indonesia bahkan mengancam untuk menarik diri dari perjanjian iklim Paris.

Pembabatan hutan untuk minyak sawit di Kalimantan, Indonesia. David Gilbert / Greenpeace

Hikmah yang dapat dipetik

Mari kita berharap kembalinya akal sehat setelah pemilihan umum Indonesia selesai.

Moratorium kelapa sawit Jokowi ini bisa dibilang jauh dari sempurna, dengan pelanggaran moratorium saat ini dilaporkan hampir setiap hari.

Namun meski tidak sempurna, moratorium memang memperlambat laju gundulnya hutan. Moratorium tidak hanya meliputan pembekuan perizinan baru, tapi juga tinjauan terencana perizinan kelapa sawit yang, jika diterapkan, akan menangkap perusak hutan baik besar maupun kecil.

Dan dengan semua kelemahannya, ‘penghentian’ Uni Eropa adalah langkah ke arah yang benar asalkan tidak membuka pintu ke tanaman biofuel lainnya seperti kedelai–yang umumnya dihasilkan dari pembabatan hutan.

Jadi, mari kita lihat siapa yang terpilih pada 17 April besok.

Jika Jokowi menang, penting bagi kita semua untuk memintanya tidak meninggalkan moratorium itu.

Jika Prabowo, yang sepertinya mencerminkan posisi pro-kelapa sawit seperti Jokowi, kita mungkin akan menghadapi tantangan lingkungan yang relatif serius.

Siapa pun yang menang, kita harus mengawasi Indonesia, Malaysia, dan Eropa secara cermat–untuk melihat apakah mereka mengejar kebijakan pembangunan berkelanjutan secara umum. Atau secara efektif menjadi boneka perusak hutan dari lobi pertanian mereka yang kuat.

Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.


Judul artikel ini telah diedit untuk mempertahankan kebaruan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now