Menu Close
Orang utan Sumatra jantan di Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra. Don Mammoser/Shutterstock

Orang utan telah beradaptasi dengan manusia selama 70 ribu tahun

Anda adalah orang yang sangat beruntung jika pernah melihat orang utan di alam liar. Kebanyakan orang hanya pernah melihat mereka di televisi. Dalam kedua kasus tersebut mungkin hewan tersebut berada di tengah hutan terpencil dan tak terjamah oleh manusia. Ini adalah gambaran yang kita kaitkan dengan hewan-hewan yang sangat terancam: rentan, bergantung pada habitat yang asli, dan tidak dapat hidup berdampingan dengan manusia. Namun pandangan tersebut bisa saja salah.

Sampai baru-baru ini, ide tentang konservasi terbatas pada pemahaman romantis tentang alam “liar” dan pengetahuan kita yang terbatas tentang seberapa tangguh alam dalam beradaptasi. Namun memahami bagaimana paparan dalam jangka panjang terhadap manusia telah berdampak pada spesies, termasuk jenis yang sudah banyak dipelajari, dapat membantu membalikkan asumsi tentang mereka dan membuat konservasi menjadi lebih efektif. Orang utan adalah salah satu contohnya.

Orang utan pada suatu saat ditemukan di Asia Tenggara hingga Cina (daerah yang diwarnai). Hari ini mereka terbatas pada tiga daerah yang berwarna ini. Spehar et al (2018)

Orang utan adalah mamalia terbesar yang hidup di pohon dan mereka memiliki beberapa predator lain selain manusia. Secara umum mereka hidup di wilayah dengan kepadatan rendah dan merupakan salah satu primata unik di antara kera karena sebagian besar hidup sendirian. Meski spesies orang utan sempat tersebar di daratan Asia Tenggara, hanya tersisa tiga dengan populasinya yang kecil di Sumatra (Pongo abelii dan spesies baru yang diberi nama P. tapanuliensis) dan Borneo (Pongo Pygmaeus).

Seluruh jenis orang utan ini terancam punah, tapi diasumsikan bahwa dampak dari manusia yang signifikan baru terjadi selama 60 tahun ke belakang. Ini menyebabkan adanya pandangan bahwa orang utan adalah spesies yang “tidak tersentuh” dan kurang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan manusia.

Namun mungkin kita telah salah sangka soal mereka. Ini kesimpulan dari riset kami yang baru saja kami terbitkan, bersama dengan beberapa peneliti lain, di Science Advances. Orang utan bukanlah primata yang tak berdaya secara ekologis. Ada bukti bahwa orang utan telah sejak lama beradaptasi dengan manusia. Orang utan modern merupakan produk pengaruh lingkungan dan dampak manusia. Di mana mereka hidup dan bagaimana mereka berperilaku tampaknya merefleksikan sejarah kita bersama.

Orang utan di wilayah yang didominasi perkebunan kelapa sawit. HUTAN/Kinabatangan Orangutan Conservation Programme, Author provided

Kami bukan mengisyaratkan bahwa orang utan tidak terancam dengan aktivitas manusia saat ini. Mereka terancam. Contohnya, antara 1999 dan 2015, populasi orang utan di Borneo merosot sekitar 50%, diperkirakan terjadi penurunan 100.000 individu dalam 16 tahun. Faktor utama yang bertanggung jawab atas hal ini adalah perburuan. Namun jika ancaman besar seperti perburuan telah dikendalikan–sebuah perumpamaan yang penting–maka orang utan mungkin akan lebih mampu hidup berdampingan dengan manusia daripada apa yang kita yakini secara luas saat ini. Hal ini membuka kesempatan untuk konservasi orang utan menjadi lebih dari sekadar melindungi hutan terpencil.

Hidup bersama selama 70.000 tahun

Manusia dan orang utan telah menjalin kontak sejak manusia modern menjadikan daerah tropis yang lembap sebagai rumah 70.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, orang utan tersebar dan melimpah. Gigi mereka umum ditemukan dari sisa-sisa hewan yang ditemukan di Cina, Vietnam, dan Thailand, menunjukkan bahwa mereka adalah mangsa yang mudah bagi pemburu prasejarah.

Orang utan mengalami penurunan drastis sekitar 20.000 tahun yang lalu, mengakibatkan penyebaran mereka yang terbatas dan rendahnya tingkat kepadatan orang utan bahkan sebelum deforestasi besar-besaran terjadi dalam beberapa abad belakangan ini. Meksipun iklim diperkirakan memiliki dampak terhadap kematian orang utan, bukti yang didapatkan dari fosil, baik arkeologi maupun genetika, secara kuat menunjukkan adanya keterlibatan manusia. Secara spesifik, kami menemukan bahwa kedatangan manusia—terutama dengan kemajuan teknologi berburu mereka seperti senjata proyektil dan kemudian senapan angin dan senjata api–sesuai dengan data dengan penurunan jumlah orang utan.

Memang, tampaknya manusia purba telah hampir memusnahkan orang utan, seperti yang mereka lakukan pada badak berbulu, kungkang tanah raksasa, dan hewan-hewan raksasa Pleistosen yang lain. Orang utan yang bertahan kemungkinan mengubah perilakunya untuk menghadapi ancaman tersebut, mungkin dengan cara menarik diri ke dalam hutan lebat untuk menghindari pemburu manusia.

Memanfaatkan dunia yang telah diubah manusia. Serge Wich, Author provided

Kemampuan untuk beradaptasi ini masih dimiliki oleh orang utan, dan ini juga salah satu alasan mengapa mereka masih ada hingga saat ini. Penelitian terbaru menemukan bahwa mereka dapat bertahan dengan cukup baik di hutan yang telah digunduli, dan mereka bahkan bisa mendiami lanskap hutan yang terfragmentasi yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit dan tanaman lainnya, meski mereka tetap membutuhkan akses ke hutan alami. Ketika preferensi makanan mereka (buah-buahan matang) tidak tersedia, mereka bahkan bisa memakan berbagai “makanan pengganti” seperti kulit pohon.

Berita baik

Realisasi bahwa orang utan telah beradaptasi dengan dunia yang didominasi oleh manusia memiliki implikasi bagi konservasi. Fakta bahwa hewan ini relatif dapat bertahan dengan baik di perkebunan dan pertanian di luar hutan perawan–selama mereka tidak diburu–menunjukkan bahwa wilayah tersebut harus terintegrasi dalam strategi konservasi. Hal ini sangat penting terutama karena kebanyakan orang utan yang hidup saat ini tidak hidup di hutan yang dilindungi, tapi di area terbuka yang dimanfaatkan oleh manusia.

Batas antara alam dan dunia yang dikuasai manusia semakin kabur. Kebanyakan spesies telah beradaptasi dengan aktivitas manusia dalam beberapa cara. Hal ini tidak selalu berarti baik, namun bagi orang utan, hal ini memungkinkan kita melihat peluang konservasi yang sebelumnya tidak terlihat.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,400 academics and researchers from 4,954 institutions.

Register now