Menu Close

Pandemi ubah pola makan: konsumsi garam berlebihan sehingga naikkan kasus hipertensi

Dinas Kesehatan Kota Bandung menggelar pemeriksaan deteksi dini penyakit tidak menular, termasuk hipertensi, 27 Mei 2022. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa

Jumlah pengidap tekanan darah tinggi (hipertensi), salah satu jenis ‘pembunuh senyap’, makin meningkat setelah pandemi COVID makin terkendali.

Hampir 100 juta orang dewasa di seluruh dunia menderita hipertensi. Sekitar 9-17% di antaranya disebabkan oleh asupan natrium yang berlebihan dari sumber makanan. Kini prevalensi hipertensi terus meningkat tajam dan diprediksi pada 2025 sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia terkena hipertensi.

Hipertensi mengakibatkan kematian sekitar 8 juta orang setiap tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 1,5 juta di antaranya terjadi di Asia Tenggara yang sepertiga populasinya menderita hipertensi. Penyakit tidak menular dan bisa dicegah ini dapat menyebabkan peningkatan beban biaya kesehatan.

COVID-19 sebenarnya tidak berkaitan dengan penyebab tekanan darah tinggi tersebut. Namun pascapandemi COVID-19, banyak riset melaporkan kasus hipertensi di beberapa belahan dunia meningkat.

Peningkatan tersebut diduga akibat pergeseran pola makan masyarakat selama bekerja dari rumah (WFH) yang mengarah ke makanan olahan yang mengandung natrium (garam) tinggi. Makanan tinggi garam natrium memiliki kandungan natrium yang pada umumnya melebihi 500 miligram per 100 gram. Banyak makanan yang diproses dan yang telah melalui tahap pengawetan juga termasuk dalam kategori ini.

Di Indonesia, kontribusi makanan dalam asupan natrium anak-anak berusia muda (6–18 tahun) dilaporakan mencapai nilai >2000 mg per hari. Rinciannya, 55,3% bagi laki-laki dan 54,2% bagi perempuan. Sedangkan dari semua populasi (0 hingga > 55 tahun), individu berusia 13–18 dan 19–55 tahun-lah yang paling banyak mengkonsumsi natrium, yaitu 2,8 g per hari.

Pandemi ubah pola makanan

Pola makan dan preferensi makanan masyarakat berubah selama wabah COVID-19. Makanan beku (frozen food) yang merupakan kategori makanan yang selain memiliki harga terjangkau, memiliki umur simpan yang relatif panjang.

Tidak mengherankan apabila jumlah konsumsi makanan beku oleh konsumen selama pandemi COVID-19 dua tahun terakhir meningkat luar biasa. Di Indonesia, ada 2020, nilai transaksi makanan beku mencapai Rp 670 triliun, dan diproyeksikan akan tumbuh sebesar 8,49% per tahun antara 2021 dan 2026.

Beberapa kategori makanan yang paling diminati selama pandemi lainnya adalah makanan kaleng (canned foods), makanan instan, serta makanan ringan (snacks).

Produk-produk tersebut dikenal dengan kandungan garam natrium yang tinggi. Sehingga, singkatnya, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang diterapkan selama pandemi COVID-19 menghasilkan perubahan yang dapat diamati dalam preferensi diet masyarakat.

Cukup jelas bahwa selama pembatasan itu sebagian besar populasi cenderung meningkatkan konsumsi makanan tinggi natrium.

Asupan natrium yang berlebihan telah terbukti terkait dengan sejumlah besar masalah dan gangguan penyakit tidak menular, termasuk penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan penyakit ginjal.

Cek label nutrisi pada kemasan pangan

Penyebab terbesar adanya peningkatan asupan natrium yang berlebihan di masyarakat adalah tingginya peredaran makanan olahan pabrikan yang mengandung natrium tinggi dan rendahnya kesadaran umum masyarakat akan kandungan natrium dalam makanan.

Secara lebih khusus, ada juga kekurangan pemahaman mengenai perbedaan antara garam dan natrium. Ini sering menimbulkan kesalahpahaman bahwa sumber utama natrium adalah garam yang ditambahkan saat memasak atau saat menyajikan makanan.

Keyakinan populer ini bertentangan dengan fakta sebenarnya bahwa jumlah natrium yang jauh lebih besar umumnya ditambahkan selama pemrosesan makanan di ruang produksi industri makanan olahan dan kemasan baik skala besar maupun kecil. Dalam tahap ini, konsumen tidak dapat melihatnya secara langsung.

Berdasarkan laporan dalam Public Health Nutrition, lebih dari setengah asupan natrium oleh tubuh manusia berasal dari makanan olahan. Saat membeli makanan, beberapa orang mungkin mengabaikan kandungan natrium yang tercantum pada label nutrisi yang tertera pada kemasan makanan, sehingga tidak dapat mengidentifikasi produk makanan dengan kandungan natrium yang tinggi.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dan akibatnya asupan natrium terhadap kesehatan masyarakat selama masa pandemi COVID-19 yang lalu, maka penting bagi masyarakat Indonesia untuk mulai memperhatikan kandungan natrium yang dikonsumsi sehari-harinya.

Teknologi terkini untuk reduksi garam natrium

Garam adalah sumber utama natrium dalam makanan kita. Natrium berperan sebagai mikronutrien penting yang diperlukan untuk mempertahankan volume plasma, keseimbangan asam-basa, transmisi impuls saraf, dan fungsi sel normal, karena diperkirakan berkontribusi sekitar 90%.

Namun peningkatan konsumsi garam natrium dapat memicu penahanan air, sehingga menyebabkan kondisi aliran tinggi di pembuluh arteri.

Kini dikembangkan beberapa teknologi pengolahan pangan guna menurunkan asupan garam sodium, khususnya pada produk daging. Salah satu teknologi pengolahan tersebut adalah dengan mengganti garam sodium klorida (NaCl) dengan garam dengan jenis metal yang lain misalnya kalium (KCl dan kalium laktat), kalsium (CaCl2 dan kalsium askorbat), atau magnesium (MgCl2).

Proses pereduksian kandungan garam sodium ini dilakukan dengan mengaplikasikan gelombang ultrasonik pada produk daging. Dengan gelombang ultrasonik tersebut garam natrium juga dapat disubsitusi dengan garam dengan jenis metal yang lainnya.

Asupan mikronutrien garam yang berimbang

Dalam diet alami asupan kadar natrium, kalium, magnesium, dan kalsium diperoleh dari makanan yang tidak diproses yaitu sekitar dua pertiga dari energi berasal dari makanan nabati dan sepertiga dari makanan hewani.

Jika kebutuhan energi harian sebesar 2100 kkal dipenuhi oleh komposisi diet seperti itu, maka asupan natrium harian kira-kira 500 mg, kalium sekitar 7400 mg, kalsium sekitar 1100 mg, dan magnesium sekitar 800 mg.

Namun, diet masyarakat modern memberikan jumlah dan rasio yang kandungan kalium, magnesium, dan kalsium jauh lebih rendah dibandingkan asupan natrium dalam tubuh.

Bagi industri makanan, ini adalah tantangan besar, tapi pada saat yang sama merupakan peluang besar untuk inovatif perusahaan untuk meningkatkan daya saing produk.

Banyak makanan olahan dapat diperkaya dengan kalium, kalsium, dan magnesium untuk menggantikan mikronutrien yang hilang selama pemrosesan. Sedapat mungkin, kadar natrium dalam produk pangan harus diturunkan, serta mengimbangi dengan garam atau senyawa tambahan lainnya.

Bagi konsumen, lihatlah label komposisi natrium dalam kemasan makanan olahan agar Anda bisa mempertimbangkan level konsumsi natrium yang aman. Ini penting untuk menghindari risiko hipertensi yang kerap kali membunuh secara cepat dan senyap.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now