Menu Close

Panduan bagi CEO untuk membuat keputusan bisnis yang beretika

Shutterstock

Chief executive officers (CEO), layaknya orang biasa, menjalankan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan mereka. Hal ini tidak mesti berdampak baik bagi perusahaan. Ada banyak contohnya. Tim Cook, CEO Apple, sangat mendukung komunitas LGBT. CEO Salesforce Marc Benioff menentang keras kesenjangan upah. Laurence Douglas Fink, ketua dan CEO BlackForce, peduli terhadap keputusan berinvestasi yang memikirkan risiko ekologis, sosial, dan tata kelola serta menentang pemegang saham yang mengejar laba dalam jangka yang sangat singkat.

Satu hal yang sama-sama dimiliki ketiga orang tadi adalah bahwa perdebatan terkait baik atau buruknya keyakinan para pemimpin bagi perusahaan belumlah selesai.

Dalam hal ketimpangan sosial atau isu-isu politik, tokoh-tokoh bisnis tidak lagi hanya dapat berdiam diri dan menjadi penonton. Mereka harus bertindak karena karyawan, pelanggan, dan komunitas mereka mengharapkannya. Namun pandangan politik pribadi mereka belum tentu sejalan dengan pandangan politik karyawan atau mitra bisnis mereka. Lalu bagaimana di satu sisi mereka dapat menunjukkan sikap tapi di sisi lain tetap dapat memuaskan semua pihak terkait secara bersamaan?

Cara baru dalam berhubungan dengan komunitas mereka

Para pemangku kepentingan bukannya rewel. Mereka paham bahwa masing-masing orang berhak untuk mempertahankan dan menyuarakan pandangan akan hal-hal yang dipedulikannya. Mereka menghormati pemimpin yang demikian, sekali pun saat kedua pihak berbeda pandangan. Yang tidak mereka sukai adalah pengelakan dan kemunafikan. Mereka dapat melihat kepalsuan.

Mantan CEO Unilever, Paul Polman, peduli terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dia tidak menyembunyikan kepeduliannya. Dia bahkan menentang laporan kinerja triwulan yang dilakukan oleh banyak korporasi, memilih mengedepankan agenda jangka panjang perusahaan. Hasilnya, kinerja Unilever tidak terdampak.

Mantan CEO Apple Steve Jobs memiliki pandangan yang bertentangan dengan Polman terkait kesinambungan ekologi. Meskipun demikian, Jobs diyakini sebagai seseorang yang berpegang teguh pada kepeduliannya terhadap teknologi dan inovasi.

Dengan kata lain, permasalahan tidak terletak pada memiliki suatu pandangan politik. Yang menjadi masalah adalah apa yang terjadi ketika keputusan seorang pemimpin berdampak negatif secara tidak langsung pada perusahaan? Contohnya memboikot suatu pasar karena terjadi ketidakadilan sosial di sana, dan hal ini berdampak pada menurunnya omzet.

Bayangkan sebuah skenario saat seorang CEO memutuskan untuk menolak keras penyuapan dan korupsi. Atau mungkin perusahaan tersebut beroperasi di sebuah lingkungan yang penyuapan dan korupsi marak dan normal terjadi atau pemegang kekuasaan cenderung melakukan pengelolaan yang buruk. Hal ini lumrah terjadi di negara-negara berkembang dengan pasar dan institusi demokrasi yang sangat lemah.

Dalam skenario demikian, melakukan hal yang tepat adalah sebuah kemewahan (kecuali tujuan akhirnya dapat tercapai). Insentif untuk bertindak secara bertanggung jawab sangatlah rendah – mengakibatkan sistem pasar yang terbelah dua. Bagaimana seorang CEO dapat tetap melakukan hal yang tepat di tengah lingkungan yang tidak bersahabat?

Inovasi dan kreativitas mungkin dapat menjadi kunci keberhasilan. Saya dan kolega-kolega saya telah menerbitkan sebuah buku, Africapitalism, Sustainable Business and Development in Africa, yang menunjukkan cara-cara baru perusahaan dapat berhubungan dengan suatu masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka.

Kami menyebutnya strategi C.L.E.A.R. Setiap huruf mewakili satu tindakan yang suatu perusahaan dapat lakukan untuk berkontribusi bagi SDGs.

Tindakan lima langkah

Collaborate. Berkolaborasi. Gagasan ini mengajak CEO untuk melibatkan pihak-pihak lain dalam inisiatif yang bertujuan untuk mengubah kinerja institusi (misalnya menentukan suatu standar). Hal ini dapat berbentuk kemitraan dengan pihak-pihak non-perusahaan seperti LSM. Ada juga hal-hal saat CEO lebih cocok melakukannya sendiri, terutama ketika ada keuntungan kompetitif jelas yang dapat diraih. Seorang CEO perlu memutuskan kapan dan bagaimana melakukan kolaborasi yang bertujuan membangun praktik-praktk bisnis yang bertanggung jawab.

Lobby. Melobi. CEO yang ingin melakukan hal yang tepat di tengah lingkungan yang menantang dan berbahaya sebaiknya melobi pihak-pihak berwenang terkait dan tokoh-tokoh pemerintahan. Mereka dapat meminta agar para pemain di industri menaati aturan, jika ada, atau meminta aturan diubah jika ia dianggap sebagai sesuatu yang tidak tepat.

Educate. Mengedukasi. Terkadang melakukan hal yang tepat tidak memberikan hasil yang sesuai karena para pemangku kepentingan tidak paham isu yang dihadapi. Misalnya, konsumen bisa saja tidak siap untuk membayar produk-produk ramah lingkungan dan inovasi yang berkesinambungan. CEO terkait dapat mendekati dan mengedukasi kelompok-kelompok pemangku kepentingan terkait. Konsumen yang sudah diedukasi dapat menjadi pangsa pasar baru atau menjadi pihak yang menekan agar standar di industri tersebut dinaikkan. Hal yang sama dapat diterapkan bagi kelompok-kelompok seperti pejabat pemerintahan, karyawan, dan investor.

Align. Menyejajarkan. CEO harus konsisten dengan nilai-nilai dan tujuan perusahaan, baik secara internal maupun eksternal. Dia tidak boleh terlihat seolah melakukan “green-washing”, atau menyesatkan konsumen dengan produk yang seolah-olah baik atau ramah bagi lingkungan atau masyarakat di sekitarnya tapi nyatanya tidak. Contohnya dilakukan para pimpinan British Petroleum (BP) pada awal 2000-an. Kala itu, BP mengklaim mengejar kredensial ramah lingkungan, tapi juga terlibat dalam koalisi yang melobi pemerintah Amerika Serikat agar tidak mengambil kebijakan terkait perubahan iklim yang dapat mengembangkan ekonomi hijau di Amerika Serikat. Hal seperti ini dapat merusak citra perusahaan.

Renewal. Memperbarui. Semua strategi yang telah disebutkan di atas tadi harus ditekankan secara terus menerus, dan tidak hanya dilakukan sekali saja. Dengan begitu, CEO dapat membangun kembali dan menyesuaikan strategi perusahaan dengan isu-isu terkait etika terbaru yang ada di tempat perusahaan beroperasi.

Secara ringkas, tantangan dan dilema etika tidak akan pernah menghilang. Tapi cara pemimpin bertanggung jawab mengatasinya dapat membangun atau malah merusak perusahaan. Berpegang teguh pada keyakinan, menyingkir – atau bahkan mengundurkan diri – ketika keyakinan tersebut justru mengancam kesinambungan usaha, dan tetap inovatif dalam melakukan hal yang tepat adalah kunci kepemimpinan bertanggung jawab yang efektif.

Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now