Menu Close
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan) bersama dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat meninjau panen raya padi di Desa Lajer, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden

Pentingnya ‘manfaat’ elektoral cawapres – siapa yang cocok dampingi Ganjar dan Prabowo?

Belakangan ini masyarakat Indonesia disibukkan dengan “tebak-tebak manggis” calon wakil presiden (cawapres) yang akan maju dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan resmi membuka pendaftaran calon presiden (capres) dan cawapres pada 10 Oktober ini, sejauh ini sudah muncul tiga nama capres yang bisa dipastikan akan maju dalam kontestasi politik tahun depan: mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Minggu lalu, Anies dan koalisinya–yang kini terdiri dari Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)–mengejutkan publik dengan meminang Ketua Umum PKB Muhaimain Iskandar, akrab dipanggil Cak Imin, sebagai bakal cawapres untuk Anies. Sabtu lalu, koalisi tersebut secara resmi mendeklarasikan duet Anies-Cak Imin.

Sementara itu, Ganjar dan Prabowo belum mendeklarasikan siapa yang akan jadi pasangan mereka masing-masing, meskipun beberapa nama potensial sudah santer di media massa.

Kini, perburuan cawapres makin memanas. Publik pun jadi ikut tebak-tebakan tentang siapa yang akan jadi pendamping Ganjar dan Prabowo.

Lalu, sejauh mana signifikansi peran cawapres dalam pemilu?

Bergesernya ‘manfaat’ cawapres

Dalam konteks Pemilu 2024 di Indonesia, peran atau posisi cawapres mengalami pergeseran yang cukup bermakna.

Pada Pemilu 2004, banyak anggapan bahwa cawapres harus berasal dari luar Pulau Jawa dan dari kalangan sipil. Ini karena capres yang diunggulkan pada saat itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan orang asli Jawa-—lahir dan besar di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dan merupakan purnawirawan Jenderal TNI.

Oleh karena itu, dipilihlah Jusuf Kalla, putra Bugis, lahir di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dan merupakan kalangan sipil. Satu dekade berikutnya, yakni pada Pemilu 2014, pola bahwa capres harus dari luar Jawa kembali tertanam. Presiden Joko “Jokowi” Widodo sebagai capres merupakan asli Jawa, tepatnya Surakarta/Solo, Jawa Tengah. Ia kemudian menggandeng Jusuf Kalla sebagai cawapres.

Ketua DPP PDI-P Puan Maharani (kiri) mendampingi bakal calon presiden Ganjar Pranowo (kanan) menyampaikan pidato saat konsolidasi pemenangan partai PDI-P dan Ganjar di Stadion Jati Diri, Semarang, Jawa Tengah. Makna Zaezar/Antara Foto

Namun, pola ini tampak mulai ditinggalkan sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Jokowi yang maju sebagai petahana saat itu menggandeng Ma’ruf Amin, seorang kiai sekaligus tokoh yang berpengaruh bagi NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ma'ruf bukan berasal dari luar Jawa, melainkan asli Tangerang, Banten.

Banyak analis politik menyatakan bahwa alasan Jokowi memilih Ma'ruf adalah untuk meredam isu agama yang bergejolak di tengah masyarakat dan mengamankan dukungan dari kelompok Muslim.

Alasan tersebut berawal dari kedekatan Jokowi, meskipun tidak pernah diucapkan secara terbuka, dengan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, seorang Nasrani yang saat itu tengah terjerat dalam kasus penistaan agama yang menimpa dia dan membuatnya mendapat banyak penolakan dari kelompok Muslim.

Ini kemudian membuat Jokowi dianggap terlalu nasionalis dan kurang responsif terhadap sentimen agama di Indonesia. Nuansa Pilpres 2019 itu sangat kental dengan isu politik identitas agama yang juga memecah belah masyarakat. Inilah mengapa Ma'ruf menjadi kunci Jokowi untuk meraup suara umat Islam.

Menjelang Pilpres 2024 ini juga, pola pasangan Jawa-luar Jawa juga tidak lagi muncul. Kali ini perburuan cawapres tampaknya lebih terkonsentrasi pada figur yang memiliki basis suara yang kuat di wilayah-wilayah tertentu. Selain itu, faktor penentu lainnya adalah elektabilitas dan latar belakang tokoh.

Pola Jokowi meminang Ma'ruf untuk mendapat suara Muslim dulu hampir sama dengan pola yang dilakukan Anies.

Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017, Anies diyakini kerap menggunakan isu identitas agama dalam kampanyenya, dan diuntungkan dari adanya kasus penistaan agama oleh Ahok yang menjadi lawannya.

Anies juga kini didukung oleh kelompok-kelompok Islam konservatif dan kelompok “kanan” dan kurang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok Islam moderat seperti NU. Oleh karena itu, memilih Cak Imin sebagai cawapresnya adalah pilihan strategis untuk merebut suara kelompok Islam moderat.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa secara elektoral, peran cawapres itu sangat penting dalam mengisi ceruk kelemahan capres serta “memperbaiki” kelemahan identitas capres, tidak sekadar hanya pelengkap.

Siapa yang cocok dampingi Ganjar dan Prabowo?

Ada sejumlah nama-nama yang beredar yang dianggap berpotensi dipinang baik oleh Ganjar maupun Prabowo sebagai cawapres. Di antaranya adalah Erick Tohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN); Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang juga merupakan putra sulung Presiden Jokowi; dan Yenny Wahid, putri kedua Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4 yang juga memiliki pengaruh di akar rumput NU dan jaringan Gusdurian (komunitas yang menggagumi pemikiran Gus Dur).

Prabowo Subianto (tengah) duduk bersama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kiri) dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Prabowo tampaknya mulai kehilangan dukungan dari kelompok Islam konservatif–kelompok kanan–yang sebelumnya mendukungnya ketika ia maju sebagai capres pada Pilpres 2019. Ini terjadi setelah ia dilantik sebagai Menteri Pertahanan oleh Jokowi pada 2019 dan partai yang dipimpinnya, Partai Gerindra, merapat ke koalisi pemerintah.

Terkait hal ini, Prabowo perlu mencari dukungan kelompok baru untuk memperluas basis dukungannya, di antaranya kelompok nasionalis, Islam moderat, dan kaum muda atau milenial.

Memasangkan Prabowo dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, seperti yang banyak diisukan di media, agaknya kurang tepat karena keduanya berasal dari Jawa Barat. Prabowo perlu sosok yang dapat meraup suara Jawa Tengah–yang kini dikuasai Ganjar–dan Jawa Timur–yang didominasi NU dan Gusdurian.

Ridwan Kamil justru bisa jadi pilihan yang tepat untuk mendampingi Ganjar dan akan mampu memecah suara Jawa Barat yang selama ini dikenal sebagai lumbung suara terbesar PKS. Menurut survei, kantong suara Ganjar di Jawa Barat tergolong rendah (13,8%) dibandingkan dengan Prabowo (31,9%) dan Anies (28,1%).

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, juga layak dipertimbangkan untuk dapat mendiversifikasi elektabilitas Ganjar. Sandiaga, yang kini telah resmi menjadi kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP)–yang berbasis Islam–dianggap memiliki dukungan yang luas dari kelompok milenial.

Poster bergambar Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebagai pasangan bakal capres-cawapres Pemilu 2024. Moch Asim/Antara Foto

Ganjar, pada dasarnya, sudah memiliki elektabilitas yang tinggi sehingga tidak terlalu memerlukan dukungan dari kelompok tertentu. PDI-P pun sudah memiliki kursi parlemen yang cukup untuk mengusung capres-cawapres tanpa perlu berkoalisi dengan partai manapun. Namun, untuk memperkuat suara, sebaiknya Ganjar dipasangkan dengan cawapres yang bukan dari Jawa Tengah.

Yang penting ‘bersih’

Selain faktor elektabilitas, hal yang terpenting bagi partai politik dalam menentukan capres-cawapres adalah mempertimbangkan rekam jejak mereka.

Pertama, bacapres harus bebas dari rekam jejak keterlibatan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua, sebaiknya pilih sosok yang sederhana, tidak suka flexing gaya hidup glamor.

Dua hal ini penting karena seorang presiden dan wakilnya harus menjadi contoh yang baik tidak hanya bagi masyarakat, tapi juga bagi elit-elit di bawahnya seperti menteri, dan elit lembaga lain seperti anggota DPR dan lembaga peradilan.

Pada akhirnya, dari manapun asal partai, daerah dan basis massanya, pemimpin masa depan Indonesia harus memiliki karakter yang jujur, tidak korupsi, dan menjunjung tinggi kesederhanaan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now