Menu Close
Produsen juga bertanggung jawab dalam membatasi penumpukan sampah plastik di Indonesia. Hans Braxmeier/Pixabay

Periset temukan banyak celah pada aturan baru yang akan benar-benar melarang penggunaan plastik tahun 2030

Kita kemungkinan besar tidak akan lagi melihat kantong plastik, alat makan plastik, sedotan plastik, dan segala macam bentuk sampah plastik mulai 1 Januari 2030.

Kondisi tersebut merupakan konsekuensi dari aturan pemerintah yang akan melarang pemilik industri makanan dan minuman serta pemilik kafe, restoran, dan pusat perbelanjaan menggunakan berbagai jenis produk plastik sekali pakai seperti styrofoam, kantong plastik ukuran kecil (saset), dan sedotan plastik pada awal tahun 2030.

Alat makan plastik seperti ini tidak akan boleh beredar mulai tahun 2030. Hal ini sebagai upaya pemerintah Indonesia mengurangi sampah plastik hingga 30%. Marco Verch/flickr, CC BY

Larangan tersebut dikeluarkan dalam rangka mewujudkan peta jalan pengurangan sampah yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terbit Desember 2019 lalu.

Dalam targetnya, KLHK menargetkan akan mengurangi empat jenis sampah, yakni sampah plastik, kertas, kaca dan kaleng aluminium, sebesar 30% pada tahun 2030 dari total timbulan sampah nasional tahun lalu yang mana khusus untuk sampah plastik berjumlah 175.000 ton.

Namun, sebagai peneliti kebijakan untuk pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, saya menemukan beberapa celah dalam aturan tersebut, terutama untuk sampah plastik.

Celah pertama : terlalu longgar

Sebenarnya, sebelum larangan penggunaan beberapa produk plastik sekali pakai berlaku pada 1 Januari 2030, KLHK sudah mewajibkan agar produsen mendaur ulang produk-produk plastik sekali pakai yang dilarang tersebut.

Selain itu, produsen di bidang manufaktur didorong untuk menghentikan produksi botol plastik sekali pakai dengan volume di bawah 1 liter untuk minuman, di bawah 200 gram untuk makanan, di bawah 500 mililiter untuk barang konsumen, hingga di bawah 500 mililiter untuk sabun cair dan sampo.

Meski sudah secara spesifik mencantumkan produk-produk apa saja yang dilarang, peraturan tersebut tidak mewajibkan produsen untuk melakukan pembatasan timbulan sampah dalam cara pengurangan sampah plastiknya.

Mereka bisa memilih antara tiga cara, yaitu pembatasan timbulan sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse), atau pendauran ulang sampah (recycle).

Memisahkan sampah baru satu kegiatan dalam pengelolaan sampah yang baik dan benar. Langkah awal justru harus melalui pembatasan sampah yang bisa dilakukan oleh produsen. Terence Ong /wikimedia, CC BY-SA

Apabila tidak diwajibkan, maka produsen boleh memilih hanya satu cara saja, misalnya hanya recycle yang tidak bisa sepenuhnya mengurangi timbulan sampah plastik. Padahal, kemampuan Indonesia untuk mendaur ulang plastik masih rendah, kurang dari 10% dari total produksi sampah.

Dalam tata kelola sampah, langkah awal yang krusial adalah dengan membatasi timbulan sampah atau reduce.

Kegiatan ini bisa mencegah produk-produk plastik sekali pakai menjadi sampah yang tidak bisa digunakan kembali atau didaur ulang. Dan, akhirnya bisa mengurangi beban sampah plastik menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sayangnya, peraturan tersebut tidak mewajibkan pemilik usaha untuk membatasi jumlah sampah mereka.

Celah kedua : belum mengatur microbeads dan plastik biodegradable

Microbeads adalah butir plastik yang sangat kecil dengan ukuran kurang dari 5 milimeter. Microbeads biasanya ditemukan dalam produk kosmetik dan perawatan tubuh.

Butiran plastik ini sama sekali tidak bisa didaur ulang maupun dimanfaatkan kembali. Sementara, plastik biodegradable, seperti oxo-degradable atau bio-based plastics, akan menghasilkan plastik dalam ukuran sangat kecil, atau disebut mikroplastik yang mencemari lingkungan karena tidak mudah untuk didaur ulang.

The Story of Microbeads.

Saat ini hanya 40% dari bio-based plastics(plastik yang terbuat dari bahan yang bisa diolah kembali) yang dirancang sebagai produk yang mudah terurai dan bisa diolah menjadi kompos.

Uni Eropa bahkan sudah memberlakukan pelarangan pada jenis plastik oxo-degradable.

Celah ketiga : tidak mengatur partisipasi publik

Peraturan menteri tersebut tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan saran, pendapat atau tanggapan terkait rencana pengurangan sampah plastik yang disampaikan oleh produsen.

Akses partisipasi publik melalui saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat bisa menjadi ruang komunikasi antar konsumen dan produsen dan memberikan perbaikan bagi pelaksanaan pengurangan sampah plastik oleh produsen.


Read more: 4 masalah dalam larangan penggunaan kantong plastik di Jakarta yang mulai berlaku Juli


Rekomendasi sebelum 2030

Tapi, ada beberapa rekomendasi yang sebaiknya juga dikerjakan oleh pemerintah dan produsen :

Pertama, produsen wajib mencantumkan rencana untuk membatasi timbulan sampah (reduce) dan menggunakan produk plastik yang bisa digunakan kembali (reuse).

Reuse bisa dilakukan dengan sistem pengisian ulang (refillable) untuk mengganti produk plastik sekali pakai seperti saset dan botol plastik.

Kedua, pemerintah harus memastikan kegiatan daur ulang plastik oleh produsen minim menghasilkan residu dan risiko pencemaran lingkungan.

Pemerintah harus menyadari bahwa mayoritas produk plastik yang didaur ulang tidak tidak bisa menjadi produk yang sama dan cenderung memiliki nilai lebih rendah. Jangan sampai mendaur ulang sampah yang tidak bisa didaur ulang kembali dan akhirnya dibuang di TPA.


Read more: Ahli: 3 solusi untuk kurangi sampah makanan


Ketiga, pemerintah perlu melakukan inventarisasi atas produk plastik sekali pakai yang belum masuk ke dalam peraturan tersebut, misalnya microbeads.

Terakhir, pemerintah wajib mempublikasikan rencana pengurangan sampah plastik oleh produsen kepada publik. Dan, publik memiliki hak menyampaikan pendapat terhadap rencana tersebut.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now