Jakarta akan mulai melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai pada bulan Juli lewat Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 yang mewajibkan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan pada pusat perbelanjaan, pasar rakyat, dan toko swalayan.
Ibukota negara dengan jumlah penduduk sekitar 10,5 juta jiwa tersebut menghasilkan sampah 8.765 ton per hari berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2018.
Jumlahnya memang tidak separah dibanding Surabaya di Jawa Timur yang memiliki jumlah penduduk 2,8 juta jiwa namun menghasilkan sampah hingga 2.482 ton per hari.
Oleh karena itu, apabila Jakarta berhasil membatasi kantong plastik, maka pemerintah daerah lainnya diharapkan bisa mengeluarkan kebijakan yang sama. Beberapa daerah lain yang sudah melakukan ini adalah Bali dan Bogor.
Meski kebijakan tersebut sudah sejalan dengan target nasional dalam pengurangan sampah hingga 30% pada tahun 2025, saya sebagai peneliti hukum lingkungan melihat setidaknya ada empat kekurangan dalam aturan pemerintah Jakarta ini yang menghambat pelaksanaan aturan ini di lapangan.
1. Belum ada jangka waktu peralihan
Aturan ini tidak mencantumkan jangka waktu peralihan yang diberikan kepada pelaku usaha di pusat perbelanjaan dan pasar, serta pengelola di toko swalayan untuk memastikan peralihan dari penggunaan kantong kemasan plastik sekali pakai (kantong plastik yang tidak bergagang) pada kantong kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Kantong kemasan ini biasanya untuk membungkus bahan pangan yang belum terselubung kemasan.
Hal ini dapat menjadi celah hukum, baik oleh produsen plastik, pengelola dan pelaku usaha di pusat perbelanjaan, pasar, dan toko swalayan, untuk terus menyediakan kantong kemasan plastik sekali pakai.
Akibatnya, pengelola dan pelaku usaha bisa terus menyediakan kantong kemasan plastik sekali pakai selama alternatif kemasan yang lebih ramah lingkungan belum tersedia.
2. Definisi tidak jelas
Peraturan yang baru juga tidak mengatur definisi kantong kemasan yang lebih ramah lingkungan sebagai alternatif kantong kemasan plastik sekali pakai, apakah yang terbuat dari kertas, daun kering, atau kain.
Hal ini akan menimbulkan interpretasi yang beragam.
Kejelasan definisi akan membuat peralihan ke kantong kemasan yang ramah lingkungan lebih terukur, baik dari segi waktu maupun capaian target.
3. Tidak ada sanksi sosial bagi pelanggar
Sanksi menjadi salah satu instrumen penting yang menentukan dalam efektivitas implementasi peraturan.
Peraturan yang ada sudah mengatur sanksi administratif bagi pengelola dan pelaku usaha yang tidak taat, seperti teguran tertulis, uang paksa, pembekuan izin, dan pencabutan izin.
Read more: Ahli: penghapusan AMDAL hanya akan tambah beban pemerintah dan pelaku usaha
Kelemahan aturan pemerintah ini adalah tidak adanya tindak lanjut untuk mempublikasikan subjek yang dikenai sanksi, seperti misalnya mencantumkan nama pengelola atau pelaku usaha yang melanggar di laman DKI Jakarta atau media massa.
Hal ini dimaksudkan agar mekanisme kontrol publik bisa berjalan. Mekanisme ini tidak bisa berjalan kalau publik tidak tahu mana pengelola atau pelaku usaha yang melanggar.
4. Harga kantong belanja ramah lingkungan yang terjangkau
Selama ini, pelarangan penggunaan kantong plastik yang berlaku di beberapa belahan dunia tidak efektif karena harga kantong belanja yang ramah lingkungan tidak terjangkau.
Minimnya pengganti plastik dengan harga yang terjangkau justru menyebabkan maraknya penyeludupan kantong plastik, seperti halnya terjadi di Rwanda.
Read more: Empat cara turunkan emisi karbon saat belanja bahan makanan
Peraturan Gubernur DKI Jakarta sebenarnya telah mengatur bahwa pengelola atau pelaku usaha memberikan harga yang wajar untuk kantong belanja ramah lingkungan.
Akan tetapi, definisi harga yang wajar untuk kantong belanja ramah lingkungan akan menimbulkan interpretasi yang berbeda antara pelaku usaha, pengelola, dan masyarakat.
Oleh karena itu, akan lebih baik apabila peraturan tersebut mengatur batas atas dan batas bawah harga kantong belanja ramah lingkungan agar implementasi peraturan ini dapat berlaku efektif di seluruh lapisan masyarakat.
Arah kebijakan sampah plastik
Baik target nasional maupun target Provinsi DKI Jakarta dalam mengurangi sampah hingga 30% pada 2025 tidak dengan jelas mencantumkan berapa target pengurangan jumlah sampah plastik.
Padahal jenis sampah sangat beragam, misal sampah organik, kertas, kaca, kain, logam, karet, dan plastik.
Hal ini mengakibatkan kebijakan pengurangan sampah plastik yang diberlakukan menjadi kurang terarah dan terukur.
Read more: Banjir besar di Jakarta awal 2020: penyebab dan saatnya mitigasi bencana secara radikal
Masalah sampah plastik lain yang dihadapi Jakarta adalah styrofoam.
Riset LIPI bulan Desember 2019, menyebutkan bahwa 59% sampah plastik yang mengalir ke Teluk Jakarta adalah styrofoam yang digunakan sebagai wadah makanan dan pelindung barang-barang elektronik..
Namun, hingga akhir tahun 2019 belum ada peraturan terkait penggunaan styrofoam yang dikeluarkan. Belum ada kejelasan dari pemerintah daerah Jakarta tentang mengapa belum ada peraturan pembatasan penggunaan styrofoam, yang ada baru soal kantong belanja ramah lingkungan.
Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik, salah satu NGO yang fokus advokasi pengurangan konsumsi kantong plastik, berdasarkan reportase BBC pada tahun 2019 menemukan fakta bahwa kantong plastik hanya menyumbang 1% dari total sampah plastik yang diperkirakan mencapai 978 ton sehari.
Pemerintah Jakarta bisa saja mengeluarkan aturan yang secara komprehensif mengatur pembatasan penggunaan kantong plastik, plastik, dan styrofoam.
Hadirnya satu aturan yang jelas tentu akan lebih memudahkan masyarakat, pelaku usaha, dan pengelola retail dalam melaksanakan aturan tersebut dibanding harus mematuhi beberapa aturan dengan potensi tumpang tindih pengaturan yang cukup tinggi.
Pepatah dari Tiongkok menyatakan bahwa lebih baik untuk melangkah perlahan ke arah yang benar dibandingkan meloncat jauh ke depan untuk mundur kembali ke belakang.
Aturan pembatasan penggunaan kantong plastik sekali pakai yang diterapkan pemerintah Jakarta merupakan langkah kecil menuju arah yang tepat, tapi masih banyak sekali pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan sesegera mungkin.
ICEL merupakan organisasi yang menjadi anggota Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) tapi tidak memberikan dana untuk riset ini.
Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.