Menu Close

Politik di tengah pandemi: pertimbangan untuk meniadakan Pilkada 2020

Tim Wimborne/Reuters

Awal bulan ini, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dari September menjadi Desember 2020 karena pandemi COVID-19.

Bila pandemi mbelum usai, Pilkada itu masih bisa diundur lagi.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengajukan tiga opsi penundaan Pilkada 2020: menunda tiga bulan hingga Desember, menunda enam bulan hingga Maret 2021, dan menunda setahun hingga September 2021.

Menurut saya, meniadakan Pilkada 2020 adalah satu opsi lagi yang dapat dipertimbangkan.

Menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) di tengah wabah tentu melibatkan kontak antara orang-orang dan berisiko menularkan virus.

Keberhasilan penanganan wabah oleh pemerintah juga sampai saat ini masih dipertanyakan.


Read more: Mengapa kemauan politik penting dalam penanganan bencana


Memilih di tengah pandemi?

Di dunia, Korea Selatan (Korsel) menjadi negara pertama yang menggelar pemilihan umum (pemilu) di tengah pandemi pada April.

Pemerintah Korsel telah mendapat banyak pujian dan dianggap menjadi teladan dalam penanganan pandemi.

Bermula dari satu pasien pada awal Februari, pertambahan jumlah kasus COVID-19 per hari di sana melonjak hingga lebih dari seribu orang pada awal Maret. Kini jumlah total kasus di Korsel tercatat 10.991, dengan pertambahan kasus per hari tidak lebih dari 40 dalam sebulan terakhir.

Sejak mengumumkan kasus pertama pada awal Maret, Indonesia hingga kini telah mencatat lebih dari 15 ribu kasus positif dan pertambahan jumlah kasus masih tinggi - ratusan kasus per hari dalam sebulan terakhir.

Korsel berhasil karena melakukan pemeriksaaan massal (hingga 15 ribu tes per hari), pembatasan sosial yang ketat, dan komunikasi yang transparan.

Pemerintah Indonesia masih belum berhasil melakukan ketiga hal tersebut. Jadi akan riskan sekali jika pemerintah tetap bersikeras untuk tetap mengadakan pilkada padahal kemampuan menangani pandemi masih buruk.

Meniadakan Pilkada 2020 menjadi opsi yang lebih baik dan bisa diambil oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam situasi sekarang.

Dana Pilkada 2020 yang diperkirakan akan menelan anggaran Rp 9 triliun - sebuah jumlah yang tentunya bisa bermanfaat bagi pemulihan paska pandemi jika pilkada ditiadakan.


Read more: Berpolitik di ruang siber: terpisah jarak karena pandemi COVID-19 bukan penghalang berdemokrasi


Opsi ketika Pilkada ditiadakan

Pilkada 2020 sedianya akan berlangsung di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota - berjumlah 270 wilayah dari total 548 wilayah yang ada sekarang.

Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2016 tentang pilkada menyatakan bahwa kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 akan menjabat sampai dengan tahun 2024 dan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Jika pandemi masih berlangsung hingga akhir 2020, maka Pilkada 2020 diundur hingga 2021. Ini akan berimbas pada masa jabatan kepala daerah terpilih.

Kepala daerah terpilih di 270 wilayah tersebut kemungkinan hanya akan menjabat secara efektif sekitar 2 tahun sebelum Pilkada Serentak pada November 2024.

Masa menjabat 2 tahun - dari seharusnya 5 tahun - tentu pendek untuk mewujudkan kinerja dan pelayanan publik yang maksimal.

Meniadakan Pilkada 2020 juga akan mengakibatkan kekosongan jabatan kepala daerah di 270 wilayah tersebut.

Secara teknis, pemerintah dan DPR bisa mempertimbangkan beberapa opsi berikut untuk 270 wilayah yang terdampak peniadaan Pilkada 2020.

Opsi pertama, pemerintah pusat memperpanjang masa jabatan kepala daerah di sana. Pilihan ini tentu berdampak pada regulasi yang mengatur; sampai saat ini kita tidak punya perangkat hukum untuk memperpanjang periode kepemimpinan kepala daerah untuk periode kedua.

Saya pikir skenario ini patut dipertimbangkan oleh pemerintah pusat walau jelas akan banyak tantangan baik dari kelompok politik maupun kelompok masyarakat sipil.

Di satu sisi, opsi ini akan sangat menguntungkan bagi partai politik atau politikus pendukung kepala daerah petahana. Namun akan menimbulkan polemik terutama bagi partai politik yang tidak mendukung si petahana.

Opsi kedua adalah kombinasi antar perpanjangan masa jabatan kepala daerah saat ini dan pengangkatan pejabat sementara. Misalnya, kepala daerah diperpanjang masa jabatannya sampai 2022 atau 2023, lalu nanti pada 2022 atau 2023 pemerintah pusat mengangkat pejabat sementara dengan tugas utama mempersiapkan Pilkada serentak 2024.

Skenario ini terhitung moderat. Roda pemerintahan daerah bisa berjalan normal 2 atau 3 tahun kedepan sebelum ada pejabat sementara. Dalam aturan yang ada, pejabat sementara juga tidak berwenang mengambil keputusan strategis.

Opsi ketiga adalah mengangkat pejabat sementara sepenuhnya hingga Pilkada 2024. Untuk opsi ini, pemerintah dan DPR juga harus membuat sebuah terobosan hukum dengan memberikan kewenangan kepada pejabat kepala daerah sementara untuk dapat membuat kebijakan strategis.

Opsi terakhir tersebut sebagian sudah dilaksanakan di daerah-daerah lain yang terdampak oleh rencana pilkada nasional serentak pada 2024.

Masa jabatan kepala daerah di 278 wilayah berakhir pada 2022 dan 2023. Ini karena mereka melaksanakan pilkada pada 2017 dan 2018.

Di 278 wilayah itu, UU No. 10 tahun 2016 telah mengatur bahwa pejabat kepala daerah sementara diangkat sampai dengan terpilihnya kepala daerah baru lewat pilkada serentak nasional pada November 2024.

Sekali lagi, ketiga opsi diatas memerlukan sebuah terobosan hukum dan konsensus elite politik negeri ini. Terobosan hukum secara politik bisa dilakukan - bahkan mungkin diperlukan - jika mengacu pada dampak pandemi yang ekstrem.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo seharusnya mampu melakukan ini karena hampir semua partai politik mendukung pemerintah. Sebanyak 427 kursi dari total 575 kursi di DPR berasal dari partai pendukung pemerintah.

Ketiga opsi di atas bukan berarti menghambat demokrasi dengan meniadakan pilkada. Ini adalah keputusan politik yang luar biasa diperlukan dalam situasi pandemi yang sangat tidak biasa ini.

Agradhira Nandi Wardhana berkontribusi dalam penerbitan artikel ini.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now