Menu Close
Pertugas kesehatan mempersiapkan ruang perawatan di rumah sakit darurat di Wisma Atlet Jakarta 23 Maret 2020. EPA/HERU SRI KUMORO

Pertengahan Mei, Indonesia terancam krisis tempat tidur ICU, ventilator, dan APD karena kasus COVID-19 bisa melewati 50.000

Rumah sakit di enam provinsi yang menjadi “titik terpanas” penyebaran COVID-19 di Indonesia kemungkinan besar akan lumpuh pada pertengahan Mei karena dibanjiri pasien yang terinfeksi coronavirus, seperti terjadi di Italia bulan lalu, jika tidak ada tindakan antisipatif yang memadai.

Berdasarkan perkembangan data hingga 13 April dan beberapa asumsi ilmiah merujuk pada data riset berbagai negara, saya menghitung pada 13 Mei nanti, total kasus terkonfirmasi positif di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan akan mencapai 54.278 kasus.

Dari jumlah itu, dikurangi 17% karena sembuh (8,3 persen) dan meninggal (8,7 persen) menjadi 45.051 kasus, dengan 61% (27.481) di antaranya perlu perawatan di rumah sakit. Persentase itu diambil dari analisis data per 26 Maret pasien dalam perawatan di RS di Jakarta.

Sebesar 32% (8.794) pasien yang dirawat di RS akan membutuhkan perawatan intensif (ICU) dan hampir 60% (5.171) pasien di ruang ICU tersebut membutuhkan ventilator. Kedua persentase ini merujuk dari studi kasus serupa di Cina dan Inggris.

Saat ini di enam provinsi tersebut terdapat 4.414 tempat tidur ICU atau 55,3% dari total seluruh tempat tidur ICU (7.987 unit) di Indonesia. Dari 4.414 tempat tidur ICU itu, hanya tersedia 883 unit (20%) untuk pasien COVID, sehingga tak akan dapat menampung ledakan pasien ICU yang dapat melonjak lebih dari 8.700 orang. Adapun data ventilator di RS sampai saat ini jumlah pastinya belum tersedia untuk diakses publik.

Untuk dapat merawat pasien ICU sebanyak itu, dengan rata-rata pasien coronavirus dirawat 8 hari di ICU, diperlukan set alat perlindungan diri (APD) untuk petugas kesehatan antara 1 juta hingga 1,6 juta set APD. Data APD saat ini tidak tersedia, sehingga tidak bisa menilai apakah persediaan memadai atau tidak.

Satu hal yang jelas, sejak akhir Maret lalu tenaga medis telah kekurangan APD dan organisasi dokter memprotes keras kepada Presiden Joko Widodo ihwal kelangkaan APD. Dalam rapat 30 Maret, presiden meminta Gugus Tugas Penanganan COVID-19 menambah 3 juta APD hingga Mei. Namun di tengah keterbatasan bahan baku dan tingginya permintaan pasar lokal dan global, hal ini menjadi tantangan berat.

Minimnya jumlah tempat tidur ICU, ventilator dan APD, tingginya pertumbuhan kasus harian, besarnya populasi rentan, serta mayoritas pasien dalam pengawasan (PDP) masih menggunakan tempat tidur RS merupakan beberapa faktor yang dapat memperparah keadaan saat ini.

Pemerintah pusat maupun daerah harus bersiap dengan perencanaan yang lebih terukur. Jika kebutuhan tersebut tidak disiapkan mulai saat ini dan menjadi tidak terpenuhi, maka tingkat kematian akibat coronavirus di Indonesia akan semakin tinggi.

Pertambahan kasus harian besar

Jumlah kasus COVID-19 Indonesia bertambah cukup signifikan dalam tiga pekan terakhir.

Sejak 24 Maret hingga 5 April, jumlah kasus baru harian terkonfirmasi di laboratorium berkisar pada 100-200 kasus, tapi setelah 5 April terus meningkat bahkan pada 13 April kasus baru harian menyentuh angka di atas 300. Data pemerintah memperlihatkan bahwa dari total 4.557 kasus positif per 13 April, 3.778 kasus (83%) adalah pasien dalam perawatan, 380 kasus (8,3%) telah dinyatakan sembuh dan 399 kasus (8,7%) meninggal - lebih tinggi dibanding rata-rata global (6,28%) per 13 April.

Kasus bertambah dengan angka pertumbuhan 1,4-2,5. Data statistik dari ourworldindata.org memperlihatkan kasus positif di Indonesia naik dua kali lipat (doubling time) setiap 8 hari. Misalnya, pada 5 April terdapat 2.092 kasus dan pada 13 April (8 hari kemudian) menjadi 4.241 kasus.

Dalam kajian ini, saya menggunakan asumsi doubling time bukan pertumbuhan angka eksponensial seperti beberapa riset sebelumnya, mengingat di Indonesia saat ini telah terjadi intervensi dari pemerintah untuk membatasi pergerakan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari laporan terbaru Google yang menunjukkan pada 23 Februari hingga 5 April 2020 terjadi pengurangan pergerakan orang di Indonesia ke tempat umum rata-rata 34%.

Meski demikian, hingga 13 April, DKI Jakarta masih menjadi pusat penularan tertinggi dengan kasus positif 2.186 kasus, disusul lima provinsi padat lainnya: Jawa Barat (540 kasus), Jawa Timur (440), Banten (285), Sulawesi Selatan (223) dan Jawa Tengah (203).

Namun, angka ini diyakini tidak mencerminkan kenyataan di lapangan karena banyak kasus tidak dilaporkan dan kemampuan Indonesia mendeteksi jumlah kasus positif masih rendah. Selain karena jumlah laboratorium tes PCR terbatas, alat tes cepat berbasis antibodi di Indonesia saat ini masih sedikit jika dibandingkan jumlah penduduk.

Sebuah studi di Cina mengatakan secara umum setidaknya ada 86% kasus positif di masyarakat saat ini tidak terlacak. Bahkan sebuah prediksi dari universitas Jerman menyatakan saat ini dunia hanya bisa melacak rata-rata 6% dari total seluruh kasus yang sebenarnya ada di masyarakat.

Berdasarkan beberapa asumsi dan rujukan di atas, saya memproyeksikan jumlah kasus terkonfirmasi pada 13 Mei 2020 di enam provinsi akan menjadi 54.278 kasus terkonfirmasi.

Kapasitas layanan ICU di Indonesia

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini Provinsi DKI Jakarta memiliki 650 tempat tidur ICU, Jawa Barat 925, Banten 256, Jawa Timur 1.058, Jawa Tengah 1.085, dan Sulawesi Selatan 440. Totalnya 4.414 unit.

Standar ideal pemanfaatan tempat tidur RS (BOR), menurut Kementerian Kesehatan, adalah 80%. Jika standar ini telah tercapai, maka diasumsikan kapasitas ICU RS untuk menampung lonjakan pasien COVID-19 tinggal tersisa maksimal 20%. Sebab penggunaan tempat tidur ICU selama ini juga telah digunakan oleh pasien yang bukan pasien coronavirus.

Adapun sekitar 2.400 kamar baru di rumah sakit darurat di Wisma Atlet Jakarta hanya untuk pasien bergejala ringan, sehingga tidak ada ruang ICU di sana.

Fakta ini menyebabkan layanan ICU untuk pasien COVID-19 menjadi benar-benar terbatas. Masalah ini diperburuk dengan kebutuhan ICU bagi pasien COVID-19 adalah ruang ICU khusus/isolasi untuk menghindari penularan kepada pasien lain.

Studi di Wuhan Cina menunjukkan rata-rata lama hari rawat pasien COVID di ICU adalah 8 hari. Studi lain juga di Cina, memperlihatkan hasil yang berbeda, antara 10-12 hari.

Dengan rata-rata jumlah hari rawat yang panjang ini, maka kemampuan ICU untuk dapat menampung pasien baru akan semakin berkurang.

Berdasarkan asumsi pemanfaatan tempat tidur ICU RS di 6 provinsi sebesar 80% (3.531 unit) dan data ketersediaan tempat tidur ICU, maka diproyeksikan kapasitas optimal ICU RS di enam provinsi tersebut untuk pasien COVID adalah 883 unit. Sementara pada 13 Mei ada 8.794 pasien COVID butuh ruang ICU.

Persentase pasien dirawat di rumah sakit

Tidak seluruh pasien positif COVID harus dirawat di RS. Mestinya hanya yang parah yang dirawat di rumah sakit.

Saat ini angka kasus positif yang memerlukan perawatan kesehatan di RS pada berbagai negara dan studi masih bervariasi.

Hasil studi di Inggris, Italia dan Cina, menunjukkan persentase pasien yang memerlukan perawatan di RS dari total seluruh kasus positif berkisar 30%. Studi di Amerika Serikat memperlihatkan angka 38%.

Data di Jakarta per Maret 26 memperlihatkan statistik yang lebih besar: 61%.

Dari total pasien yang mendapat perawatan di RS, beberapa studi di Cina memperlihatkan hasil bahwa 26-32% dari mereka memerlukan perawatan ICU. Studi lain di Inggris menunjukkan persentase yang berbeda, yakni sebesar 30%.

Dalam pemodelan ini, saya menggunakan asumsi 61% pasien (27.481) positif - dari total pasien (54.278) dan dikurangi yang sembuh (8,3%) dan meninggal (8,7%) - butuh dirawat di RS, dengan 32 persen (8.794 pasien) di antaranya butuh ICU.

Krisis ventilator

Selain tempat tidur ICU, kebutuhan ventilator bagi pasien COVID-19 juga harus diperhatikan.

Pada kasus COVID-19 dengan kasus berat, pasien menjadi sulit bernapas karena virus menimbulkan kerusakan pada paru-paru. Sistem imun tubuh mendeteksi hal ini, lalu pembuluh darah melebar agar sel imun masuk. Hal ini dapat menyebabkan cairan masuk paru-paru pasien sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan level oksigen tubuh merosot. Saat seperti itulah, ventilator dibutuhkan pasien.

Walau Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pekan lalu mengklaim pemerintah telah mendistribusikan hampir 8.500 ventilator ke 2.867 RS seluruh Indonesia (mayoritas di Jawa), sampai saat ini tidak tersedia data terbuka lokasi ventilator khusus untuk pasien COVID di RS di enam provinsi tersebut.

Jika klaim ini benar, maka di setiap RS tersebut hanya punya 2-3 ventilator. Ini sangat jauh dari kebutuhan darurat.

Meski tidak ada data yang terbuka, jumlah ventilator yang ada saat ini di RS sangat terbatas. Sebagai gambaran, menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dari 661 ruang ICU di rumah sakit milik pemerintah, baru 50% yang memiliki ventilator.

Jumlah itu tentu tidak cukup mengingat ventilator tersebut selama ini juga telah digunakan oleh pasien non-COVID yang mengalami gangguan gagal nafas, jantung, sistem saraf, keracunan karbondioksida, gangguan keseimbangan asam basa, cedera berat, syok dan dalam pengaruh pembiusan total sehingga kehilangan kemampuan bernafas.

Permasalahan akan timbul jika satu ventilator digunakan bergantian, potensi penularan infeksi selama di RS bisa terjadi.

Sejumlah riset di Inggris, menunjukkan proyeksi persentase pasien COVID yang memerlukan ventilator sebesar 30%, sementara studi lain menyebut 58,8%.

Saya mengunakan angka 58,8% pasien COVID (5.171) yang dirawat di ruang ICU butuh ventilator.

Alat pelindung diri petugas kesehatan

Kebutuhan APD sangat penting bagi petugas kesehatan yang merawat pasien COVID di ICU atau pasien dengan kasus berat. Pemakaian set APD akan lebih banyak dibanding pada unit-unit perawatan lain di RS seperti rawat inap dan rawat jalan.

Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa memperkirakan kebutuhan APD untuk perawatan pasien COVID-19 dengan kasus berat terdiri dari masker N95, pelindung wajah, pakaian khusus yang anti-air, dan sarung tangan medis.

Kebutuhan alat ini akan bervariasi tergantung dari tingkat keparahan dan prosedur yang akan diberikan kepada pasien. Secara umum kebutuhan set APD di ICU bagi para dokter, perawat, dan petugas lainnya berkisar 15-24 set per pasien per hari. Untuk mencegah penularan virus, alat ini hanya sekali pakai.

Dengan menggunakan asumsi di atas, maka saya memproyeksikan jumlah kebutuhan set APD petugas ICU di enam wilayah kajian dalam grafik di bawah ini:

Rekomendasi mendesak

Jika asumsi dalam kajian ini terpenuhi, maka dalam sebulan ke depan sistem pelayanan kesehatan di enam provinsi itu akan runtuh.

Kemampuan menahan laju penderita yang tidak perlu perawatan di RS menjadi salah satu strategi utama yang dapat ditempuh untuk menghindari runtuhnya sistem layanan kesehatan. Isolasi mandiri di rumah dan strategi “perawatan pasien di rumah (home care)” bisa dikembangkan oleh pemerintah untuk menekan laju pasien yang dirawat di rumah sakit.

Pemerintah harus segara mengembangkan standar yang ketat mengenai kriteria pasien yang bisa mendapat perawatan di RS dan ICU dengan tetap memperhatikan prinsip keselamatan pasien. Saat ini jumlah kasus positif yang dirawat di rumah sakit masih cukup besar yakni 61%.

Penambahan ruang ICU dan ventilator serta pendistribusian ke berbagai daerah titik panas penyebaran virus harus segera dilakukan oleh pemerintah secara terukur dan efektif.

Kontribusi dunia usaha dalam negeri dan perguruan tinggi juga diperlukan di tengah keterbatasan skala produksi ventilator yang dihadapi secara global saat ini. Beberapa universitas seperti UGM, UI, ITS, dan ITB saat ini telah berusaha untuk ikut memecahkan masalah ini. Bahkan Kementerian Perindustrian telah meminta industri otomotif di dalam negeri memproduksi ventilator.

Pemerintah harus terus memberikan dukungan, khususnya biaya riset dan produksi untuk mempercepat usaha ini. Sebab, produksi ventilator memerlukan tahapan yang panjang mulai dari riset, pengembangan, uji klinis, perizinan hingga produksi.

Kebutuhan set APD bagi para petugas Kesehatan di RS juga harus menjadi perhatian serius. Setidaknya 32 dokter dan 12 perawat telah gugur karena terinfeksi virus corona akibat keterbatasan APD.

Situasi ini memang tidak mudah. Pemerintah harus segera mengambil keputusan jika tidak menghendaki keadaan makin buruk. Nyawa pasien bisa melayang lebih cepat jika mereka terlambat mendapat perawatan pada saat genting.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now