Menu Close

Politik penistaan: Mengapa Pakistan dan beberapa negara Muslim lain gencar memperketat hukum penistaan agama

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly (kiri) menyerahkan dokumen pandangan pemerintah terkait RKUHP kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kedua kanan). Galih Pradipta/Antara Foto

Pada 17 Januari 2023, Majelis Nasional Pakistan dengan suara bulat memutuskan untuk memperluas hukum penistaan di negara mereka, yang sebelumnya menjatuhkan hukuman mati bagi orang yang menghina Nabi Muhammad. Aturan baru tersebut kini diperluas untuk juga menghukum tindak penghinaan terhadap sahabat-sahabat Nabi Muhammad – hukumannya adalah pidana 10 tahun penjara atau penjara seumur hidup.

Banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) khawatir bahwa perluasan aturan tersebut dapat mengkriminalisasi minoritas, khususnya kelompok Muslim Syiah yang kerap memegang pandangan kritis terhadap pemikiran banyak tokoh Muslim terkemuka pada periode awal sejarah Islam.

Pakistan memiliki hukum penistaan agama paling ketat kedua di dunia setelah Iran. Selama tiga dekade terakhir, sekitar 1.500 warga Pakistan telah dituntut atas tuduhan penistaan agama.

Dalam kasus yang mendapat perhatian internasional, misalnya, seorang dosen bernama Junaid Hafeez mendapat hukuman mati atas tuduhan menghina Nabi di Facebook pada tahun 2019. Vonis tersebut kini tengah melalui proses banding.

Meskipun belum ada eksekusi hukuman mati yang berujung dilaksanakan, pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings) terkait penistaan agama kerap terjadi di Pakistan. Sejak tahun 1990, lebih dari 70 orang telah dibunuh oleh massa dan warga atas tuduhan menghina Islam.

Penelitian saya menunjukkan bahwa dalam sejarahnya, hukum penistaan agama muncul untuk melayani otoritas politik dan agama, dan terus berperan dalam membungkam perbedaan pendapat di banyak negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim.

Penistaan dan kemurtadan

Dari total 71 negara di dunia yang mengkriminalisasi penistaan agama, 32 di antaranya adalah negara mayoritas penduduk Muslim. Bentuk hukuman dan penegakan hukumnya bervariasi.

Di Indonesia, misalnya, aturan penistaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama memuat hukuman hingga lima tahun penjara. Mantan Gubernur Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama pernah dihukum dua tahun penjara karena dianggap menghina Al-Quran.

Meski KUHP baru di Indonesia yang terbit Desember lalu menghapus terminologi “penodaan agama”, aturan ini tak benar-benar bisa dikatakan hilang dan tetap berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.

Ancaman pidana hukuman mati bagi pelaku penistaan agama juga berlaku di Iran, Pakistan, Afghanistan, Brunei Darussalam, Mauritania dan Arab Saudi. Di antara negara-negara mayoritas non-Muslim, hukum penistaan agama yang paling keras terdapat di Italia, dengan hukuman maksimal dua tahun penjara.

Separuh dari 49 negara mayoritas Muslim di dunia memiliki aturan tambahan yang melarang kemurtadan. Ini berarti seseorang dapat dihukum karena meninggalkan Islam. Semua negara yang memiliki hukum kemurtadan semacam ini adalah negara mayoritas Muslim. Bahkan, pidana kemurtadan sering kali dikenakan sepaket bersama dengan penistaan.

Tindak pidana murtad cukup populer di beberapa negara Muslim. Menurut survei Pew tahun 2013, sekitar 75% responden dari negara-negara mayoritas Muslim di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan mendukung hukum syariah, atau hukum Islam, sebagai hukum resmi negara.

Di antara mereka yang mendukung syariah, sekitar 25% responden yang berada di Asia Tenggara, 50% di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan 75% di Asia Selatan, mengatakan bahwa mereka mendukung “eksekusi terhadap individu yang meninggalkan Islam”. Dengan kata lain, mereka mendukung hukuman mati bagi pelaku murtad.

Two firefighters stand in puddles in a burned-out between .
Petugas pemadam kebakaran di sebuah pabrik dibakar oleh massa yang marah di Jhelum, Pakistan, setelah salah satu pegawai pabrik tersebut dituduh menghina Al-Quran, 21 November 2015. STR/AFP via Getty Images

Relasi ulama dan negara

Buku terjemahan saya yang terbit tahun 2019, berujudul “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” menelusuri hukum penistaan dan hukum kemurtadan di dunia Muslim. Asal muasalnya adalah hubungan bersejarah antara ulama Islam dan pemerintah.

Bermula pada sekitar tahun 1050, beberapa akademisi hukum dan teologi dari kelompok Sunni, yang disebut “ulama”, mulai bekerja sama dengan penguasa politik untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai pengaruh buruk filsuf Muslim bagi masyarakat.

Selama tiga abad, filsuf Muslim telah memberikan kontribusi besar di bidang matematika, fisika dan ilmu pengobatan. Mereka mengembangkan sistem bilangan Arab yang kini digunakan di seluruh negara Barat dan mempelopori penemuan kamera modern.

Banyak ulama konservatif merasa bahwa para filsuf ini terpengaruh oleh filsafat Yunani dan Islam Syiah yang bertentangan dengan keyakinan Sunni. Tokoh yang paling menonjol dalam konsolidasi tradisi ajaran Sunni adalah ulama Islam ternama, yakni Ghazali, yang meninggal pada tahun 1111.

Menurut beberapa literatur yang hingga hari ini masih berpengaruh dan banyak dibaca, Ghazali menyatakan bahwa dua filsuf Muslim terkemuka yang telah lama meninggal, Farabi dan Ibnu Sina, telah murtad karena pandangan mereka yang ia anggap berlawanan, terutama tentang kekuasaan Tuhan dan kebangkitan. Pengikut mereka, menurut Ghazali, layak dihukum mati.

Sejarawan modern Omid Safi dan Frank Griffel menegaskan bahwa pandangan Ghazali telah memberikan justifikasi bagi para sultan Muslim pada abad ke-12 dan seterusnya, terutama yang ingin mempersekusi – bahkan mengeksekusi matipara pemikir yang dianggap menjadi ancaman bagi rezim kekuasaan yang menjunjung konservatisme agama.

Fenomena yang saya sebut sebagai “aliansi ulama-negara” ini muncul pada pertengahan abad ke-11 di Asia Tengah, Iran dan Irak, lalu satu abad kemudian menyebar ke Suriah, Mesir dan Afrika Utara. Dalam rezim-rezim ini, mempertanyakan ortodoksi agama dan otoritas politik dianggap sebagai kemurtadan, bukan hanya semata-mata perbedaan pendapat.

Salah arah

Beberapa negara di Eropa Barat dipimpin oleh pemerintah yang juga memiliki aliansi serupa, yakni antara Gereja Katolik dan kerajaan. Pemerintahan macam ini pun menentang pemikiran bebas. Selama Inkuisisi Spanyol (persekusi terhadap orang Muslim dan Yahudi di Spanyol) antara abad ke-16 dan abad ke-18, ribuan orang disiksa dan dibunuh karena dianggap murtad.

Hukum penistaan agama juga berlaku, meski jarang digunakan, di berbagai negara Eropa hingga saat ini. Denmark, Irlandia dan Malta baru-baru ini mencabut undang-undang penistaan mereka. Tapi aturan semacam itu tetap bertahan di banyak negara Muslim.

Di Pakistan, diktator militer Zia-ul-Haq, yang memerintah negara itu dari tahun 1978 hingga 1988, bertanggung jawab atas adanya undang-undang penistaan yang keras. Sebagai seorang sekutu bagi kelompok ulama, Zia memperbarui hukum penistaan agama – yang ditulis oleh penjajah Inggris untuk menghindari konflik antaragama – guna membela Islam Sunni secara khusus. Ia mengubah hukuman maksimumnya menjadi pidana mati.

Dari tahun 1920-an hingga Zia berkuasa, tindak pidana penistaan agama ini diterapkan hanya sekitar belasan kali. Namun setelahanya, aturan tersebut menjadi alat ampuh untuk membungkam perbedaan pendapat.

Puluhan negara mayoritas Muslim, termasuk Iran, Mesir dan Indonesia juga mengalami proses serupa selama empat dekade terakhir.

Perbedaan pendapat dalam Islam

Ulama konservatif melandaskan pandangan mereka tentang tindak pidana penistaan dan kemurtadan pada beberapa ucapan Nabi, yang dikenal sebagai hadis, terutama yang menyebutkan bahwa: “Siapa pun yang mengubah agamanya, bunuh dia.”

Namun, banyak cendekiawan Islam dan intelektual Muslim menolak pandangan tersebut karena dianggap radikal. Mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mengeksekusi siapa pun karena murtad, maupun mengajak para pengikutnya untuk melakukan persekusi. Kriminalisasi atas penistaan yang kini banyak terjadi, juga tidak berlandaskan pada teks suci Islam, Al-Quran. Sebaliknya, kitab suci tersebut terdiri dari 100 ayat yang mendorong perdamaian, kebebasan hati nurani, dan toleransi beragama.

Dalam Surah 2, Ayat 256, Al-Quran menyatakan “Tidak ada paksaan dalam beragama.” Surah 4, Ayat 140 mendesak umat Islam untuk meninggalkan percakapan yang bersifat menghina: “Ketika Anda mendengar ayat-ayat Allah ditentang dan diolok-olok, jangan duduk di dekat mereka (yang melakukannya).”

Meski demikian, dengan menggunakan koneksi politik dan otoritas sejarah untuk menafsirkan Islam, para ulama konservatif semakin menggeser suara moderat.

Reaksi terhadap Islamofobia global

Perdebatan tentang tindak pidana penistaan dan kemurtadan di kalangan umat Islam dipengaruhi oleh dinamika politik internasional.

Di seluruh dunia, Muslim minoritas – termasuk warga Palestina di bawah pendudukan Israel, Chechen di Rusia, Muslim Kashmir di India, Rohingya di Myanmar, dan Uyghur di Cina –- kerap mengalami persekusi dan kekerasan.

Several men and women, with faces covered, walk on a beach after being arrested.
Etnis Rohingya di Myanmar adalah salah satu dari beberapa minoritas Muslim yang menghadapi persekusi di seluruh dunia. Negara bagian Rakhine, Myanmar, 13 Januari 2020. STR/AFP via Getty Images

Namun, bersamaan dengan persekusi tersebut ada juga beberapa kebijakan negara-negara Barat yang mendiskriminasi kelompok Muslim tertentu, seperti kebijakan larangan berjilbab di lingkungan sekolah di Prancis.

Aturan hukum dan kebijakan semacam itu dapat menimbulkan kesan bahwa umat Islam dikepung. Ini juga bisa dijadikan landasan untuk menghukum pelaku penistaan agama sebagai bentuk pembelaan iman.

Aturan hukum tentang penistaan agama kerap disalahgunakan untuk kepentingan agenda para politikus populis dan para pendukung agamais mereka di Pakistan maupun beberapa negara Muslim lainnya.

Selain itu, eksisnya tindak pidana penistaan agama ini memicu stereotip anti-Muslim tentang intoleransi beragama. Beberapa kerabat Turki saya bahkan menyarankan saya untuk tidak membahas topik ini, karena dikhawatirkan akan memicu Islamofobia.

Tapi penelitian saya menunjukkan bahwa mengkriminalisasi penistaan dan pemurtadan lebih cenderung bersifat politis ketimbang agamais. Yang menuntut penghukuman terhadap penistaan agama bukanlah Al-Quran, tapi sistem politik yang otoriter.


Tulisan ini adalah pembaharuan dari tulisan sebelumnya yang diterbitkan pada 28 Februari 2020.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now