Menu Close
Ilustrasi perempuan menolak menikah. evrymmnt/Shutterstock

Resesi seks dan waithood: mengapa banyak perempuan pilih menunda menikah?

Ketidakstabilan ekonomi global tidak hanya menciptakan ketakutan atas daya tahan negara dari krisis, tetapi juga berimplikasi pada mindset kolektif tentang seksualitas, makna pernikahan, dan memiliki keturunan.

Masalah bertumpuk-tumpuk terkait kesetaraan gender, ketimpangan ekonomi dan pendidikan, dan masih kentalnya budaya patriarki telah menciptakan kekhawatiran bagi perempuan di banyak negara untuk membina rumah tangga dan memiliki anak.

Kekhawatiran ini lalu mendorong makin meluasnya ‘resesi seks’: menurunnya aktivitas seks untuk tujuan reproduksi sebagai konsekuensi dari keputusan untuk tidak memiliki keturunan (childfree) dan menunda menikah (waithood). Gerakan waithood ini banyak dilakukan oleh generasi milenial, terutama kaum perempuan.

Di Indonesia, negara yang ditopang oleh kultur religius dan spirit kekeluargaan, tanda-tanda terjadinya fenomena reseksi seks mulai terlihat khususnya pada penurunan data pernikahan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam 10 tahun terakhir, tren pernikahan di Indonesia terus menurun secara tajam. Angka pernikahan nasional terendah tercatat pada 2022, yakni sebanyak 1,7 juta pernikahan, turun dari setahun sebelumnya yang 1,79 juta. Terakhir kali angka pernikahan ada di titik tertinggi adalah pada 2011, yaitu sebanyak 2,31 juta pernikahan.

Data BPS juga menunjukkan bahwa persentase pemuda (baik laki-laki maupun perempuan) yang belum menikah di Indonesia, per 2022, mencapai 64,56% dari total 65,82 juta pemuda (atau 24% dari total populasi) secara nasional. Angka ini naik 3,47% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebesar 61,09%.

Hanya ada 34,33% pemuda yang sudah menikah di negeri ini pada 2022, menurun 3,36% dari tahun 2021 yang 37,69%. Mayoritas atau 76,68% pemuda yang belum menikah berasal dari Jakarta.

Salah satu penyebab penurunan ini, menurut BPS, adalah adanya pergeseran persepsi para kaum muda tentang pernikahan dan korelasinya dengan kualitas hidup, terutama terkait pendidikan dan status ekonomi.

Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkap bahwa usia perempuan menikah cenderung semakin delay alias mundur. Rata-rata usia perempuan menikah sekarang 22 tahun atau lebih. Padahal tahun-tahun sebelumnya, terutama sebelum tahun 2020, lebih banyak yang menikah sebelum usia 22 tahun.

BKKBN juga mendata bahwa rata-rata perempuan hanya praktis melahirkan satu anak perempuan. Artinya, satu perempuan meninggal digantikan satu perempuan lahir. Ini nantinya membuat sustainability kualitas hidup akan lebih terjaga.

Studi literatur saya menemukan bahwa perempuan Indonesia mulai menunda untuk menikah pada usia matang. Ini sebagian besar dapat dimaknai bahwa hasrat seks dan memproduksi keturunan dengan seorang laki-laki dalam rumah tangga bagi perempuan mulai bergeser.

Setidaknya ada empat alasan utama perempuan milenial memilih menunda menikah.

1. Identitas digital masyarakat

Pengaruh digitalisasi di Indonesia pada kehidupan masyarakat telah memberi ruang publik bagi perempuan untuk mengekspresikan diri. Wacana kebebasan perempuan untuk memilih antara peran domestik, kosmopolitan atau menjalani keduanya, sekaligus mendobrak stereotip perempuan yang kerap dicap ‘kaum terbungkam’.

Pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan membuat pola pikir mereka menjadi lebih luas dan terbuka dalam memaknai hidup dan membentuk ‘kuasa’ atas kontrol dirinya sendiri. Ini menjadikan mereka lebih mandiri dan terbuka berbagai dengan pilihan hidup, termasuk menunda menikah.

Media digital juga berkontribusi memproduksi berbagai macam ideologi melalui gerakan aktivisme yang dapat memengaruhi cara pandang individu terhadap makna kebahagiaan, termasuk soal menikah. Di kanal-kanal media sosial, seperti Instagram misalnya, mudah ditemukan akun–akun aktivisme gerakan sosial yang lantang menyuarakan isu kesetaraan gender, seperti @indonesiafeminisme, @lawanpatriarki, dan @perempuanbergerak.

Generasi digital ini sangat berkaitan erat dengan fenomena waithood. Mereka lebih lantang mengemukakan identitas diri, dianggap memiliki wawasan yang luas, menyukai kebebasan dan ingin memiliki kontrol atas dirinya.

2. Beban sebagai sandwich generation

Suatu studi menyebutkan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab paling masuk akal berkembangnya fenomena waithood. Sebab, kondisi ekonomi global yang terus merosot telah memicu kekhawatiran terhadap kesenjangan kondisi keuangan seseorang ketika sudah menikah.

Apalagi jika posisi perempuan dalam keluarga adalah sebagai tulang punggung finansial. Pada banyak kasus, perempuan memiliki beban tanggung jawab atas masa depan adik–adiknya, termasuk untuk membayar tagihan sekolah dan keperluan rumah tangga. Situasi ini disebut sandwich generation.

Ini membuat tidak sedikit perempuan yang melupakan sejenak prioritas untuk menikah. Selain keinginan untuk membahagiakan keluarga dulu, status sebagai generasi sandwich membuat mereka khawatir akan kehidupan finansial mereka jika menikah.

Hasil kajian demografis tentang generasi sandwich di Indonesia menemukan bahwa 6,42% dari 7.009 rumah tangga yang diteliti termasuk ke dalam generasi sandwich, sekitar 10,9-11,3% merupakan perempuan bekerja. Beberapa studi mengungkapkan bahwa status sebagai generasi sandwich, terutama bagi perempuan, memberikan dampak negatif terhadap kondisi pernikahan.

3. Berpendidikan dan bekerja: bentuk kontrol diri perempuan

Indonesia dapat dikatakan berhasil dalam mencapai kesetaraan gender selama satu dekade terakhir meskipun tidak sepenuhnya membebaskan perempuan pada belenggu patriarki.

Ini terlihat dari meningkatnya literasi, angka partisipasi sekolah, dan keterlibatan perempuan di dunia kerja.

Bahkan dari bidang pendidikan, perempuan Indonesia telah mampu menyaingi laki–laki. Laporan BPS tahun 2021 menunjukkan persentase data pendidikan yang signifikan antara perempuan dan laki–laki: perempuan berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak ketimbang laki–laki. Ada sekitar 10,06% perempuan yang menamatkan perguruan tinggi, menyalip jumlah laki-laki yang sebanyak 9,28%.

Terbukanya akses pendidikan bagi perempuan membuat mereka bisa meraih status sosial dan ekonomi yang mampu memberikan kuasa atas hidupnya. Orientasi perempuan pada pendidikan tak jarang membuat mereka menganggap pernikahan bukan prioritas hidup, sehingga mereka berani memutuskan untuk menunda atau tidak nikah.

Studi menunjukkan bahwa melanjutkan karier merupakan salah satu alasan perempuan untuk menunda menikah. Ini karena perempuan merasa lebih leluasa dalam mengejar karier tanpa ada beban dan tanggung jawab dalam ikatan pernikahan.

Selain itu, menunda menikah dan lebih memilih meniti karier bisa termasuk dalam upaya perempuan dalam menyiapkan kesiapan sosial ekonomi mereka sebelum memasuki pernikahan nantinya.

Dunia pekerjaan dan pendidikan telah mendorong perempuan untuk menemukan identitas dirinya dan mengaktualisasi serta mengekspresikan diri mereka. Perempuan yang berpendidikan tinggi dan mapan secara ekonomi membuat mereka lebih mampu memutuskan pilihan hidupnya.

4. Trauma masa lalu, KDRT dan perceraian

Studi menunjukkan bahwa kekecewaan terhadap suatu hubungan pernikahan juga bisa menjadi alasan perempuan dewasa menunda menikah. Misalnya, mereka lahir dan besar dari keluarga yang tidak harmonis atau lingkungan sosial yang hanya memperlihatkan sisi buruk pernikahan.

Situasi tersebut juga berkaitan erat dengan kekerasan berbasis gender, yang termasuk kekerasan verbal dan fisik, yang kerap terjadi dalam keluarga.

Menurut teori feminisme, lembaga pernikahan seringkali menjadi tempat bersarangnya kasus–kasus kekerasan pada perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat bahwa selama 2021, ada sebanyak 459.094 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 73% (335.399 kasus) di antaranya adalah kekerasan ranah personal. Mayoritas kasus masuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Selain KDRT, kasus perceraian juga mendorong kekhawatiran perempuan untuk menikah. BPS mencatat pada 2022 terjadi lonjakan angka perceraian, yakni mencapai 516.334 kasus. Ini merupakan angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pada 2017, jumlah perceraian masih di angka 374.516.

Waithood oleh kaum perempuan dapat dikatakan sebagai imbas dari banyaknya kasus KDRT dan perceraian tersebut. Posisi perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dibandingkan laki-laki menambah sisi gelap dari sebuah pernikahan. Perempuan yang memilih menunda, bahkan tidak mau sama sekali menikah, biasanya memiliki krisis kepercayaan terhadap lembaga pernikahan.

Banyak pakar feminisme yang memandang bahwa lembaga pernikahan cenderung melanggengkan budaya patriarki. Ini karena perempuan selalu disudutkan perihal standar usia ideal menikah dan kesehatan reproduksinya (terkait kemampuannya melahirkan keturunan).

Semakin banyak juga perempuan yang menganggap bahwa menikah adalah menerjunkan diri ke dalam masalah karena mereka harus menyerahkan diri pada laki-laki. Hal itu akan menghambat mereka dalam mengembangkan diri.

Pada akhirnya, maraknya fenomena waithood oleh perempuan saat ini tak hanya didorong dari tuntutan perempuan untuk mendapatkan hak yang setara dengan laki–laki. Ada juga dorongan sosial dan praktik–praktik budaya maskulin yang selalu menjadikan perempuan sebagai “korban”.

Fenomena waithood tidak hanya menunjukkan terjadinya transformasi sosial yang kian berkembang pada masyarakat, tetapi juga sebagai bentuk perjuangan perempuan melawan kuatnya budaya patriarki.

Dengan memilih untuk menunda menikah, banyak perempuan yang merasa dapat lebih mengembangkan kualitas dirinya dan menyiapkan kemandirian diri secara emosional dan finansial. Kesiapan emosional dan finansial perempuan akan dapat membantu mereka lebih mudah untuk melawan kekerasan berbasis gender di dalam lembaga pernikahan dan masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now