Menu Close

Riset petakan hubungan antara kebebasan akademik dan demokrasi: studi kasus pada negara-negara Afrika

(GettyImages)

Di seluruh dunia, perhatian terhadap kondisi kebebasan akademik global terus meningkat. Dokumen tahun 1997 dari UNESCO mendefinisikannya sebagai hak akademisi untuk mengajarkan, mendiskusikan, meneliti, mempublikasikan dan mengekspresikan pendapat, serta berpartisipasi dalam lembaga dan kegiatan akademik. Kebebasan akademik adalah salah satu fondasi dari pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Yang mengejutkan, ternyata masih sedikit sekali riset empiris terkait dampak dari kebebasan akademik. Perbandingan ukuran terkait kebebasan akademik juga terbatas. Baru pada tahun 2020, suatu indeks kebebasan akademik dunia diluncurkan oleh basis data Varieties of Democracy, yakni V-Dem, bersama dengan Scholars at Risk Network.

Mengikuti definisi UNESCO, indeks baru ini menyajikan ukuran yang komprehensif terkait kebebasan akademik. Ini meliputi riset, pengajaran, ekspresi, sekaligus otonomi universitas dan keamanan kampus.

Indeks ini mengungkap bahwa meski rata-rata level kebebasan akademik dewasa ini lebih tinggi dari periode pada penghujung Perang Dingin, ada penurunan yang tajam dalam 10 tahun terakhir. Tingkat kebebasan akademik turun dari 0,6 pada tahun 2009 menjadi 0,43 pada tahun 2021 (dalam skala 0.00 sampai 1.00).

Kelompok advokasi telah mengamati memudarnya kebebasan berekspresi dan lingkungan kerja akademisi di Turki, misalnya. Ini mencerminkan tren global terkait kebebasan sipil dan hak asasi manusia.

Penurunan ini terjadi di wilayah-wilayah yang sebelumnya punya kebebasan akademik tinggi – Eropa dan Amerika Utara – maupun di daerah yang paling tidak bebas: Timur Tengah dan Afrika Utara. Secara umum di Afrika, levelnya relatif stabil: 0,58 pada tahun 2009 dan 0,57 pada tahun 2021.


Read more: Kebebasan akademik di bawah ancaman di seluruh dunia - berikut ini cara membelanya


Dampak positif universitas terhadap ekonomi lokal sudah banyak diteliti secara mendalam. Ada juga pendekatan-pendekatan terkini terkait dampak sosialnya secara lebih luas.

Salah satu yang cukup signifikan adalah Times Higher Education Impact Rankings yang menilai universitas menggunakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kerangka ini memuat pola peringkat yang bervariasi dalam SDG yang berbeda-beda. Universitas yang meraih skor tinggi dalam SDG 4 – pendidikan berkualitas – tak serta merta unggul dalam SDG 16 – perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat, yang juga termasuk kebebasan akademik.

Riset saya berfokus pada kajian ilmu politik terkait perguruan tinggi di Afrika dan peran mereka dalam perkembangan politik di benua tersebut. Sebagai bagian dari proyek ini, saya menginvestigasi dampak dari kebebasan akademik pada transisi demokrasi di Afrika selepas periode Perang Dingin.

Studi yang saya terbitkan bersama ekonom Tunisia, Hajer Kratou, menunjukkan bahwa kebebasan akademik punya dampak positif yang signifikan terhadap demokrasi. Demokrasi diukur dari indikator-indikator seperti kualitas pemilu dan akuntabilitas lembaga eksekutif.

Namun, ada juga faktor waktu yang signifikan. Negara dengan tingkat kebebasan akademik yang tinggi sebelum dan pada saat mengalami transisi demokrasi tetap menunjukkan level yang tinggi bahkan setelah 5, 10, dan 15 tahun. Sebaliknya, situasi politik lebih mungkin memburuk di negara-negara dengan kebebasan akademik yang dibatasi ketika mengalami transisi. Dampak kebebasan akademik yang paling besar terjadi di negara-negara berpendapatan rendah.

Hubungan antara kebebasan akademik dan demokrasi

Secara global, data V-Dem menunjukkan korelasi yang kuat antara kebebasan akademik dan unsur-unsur demokrasi. Tapi, sebab akibatnya tak begitu jelas.

Pengalaman di Afrika membantu memperjelas hubungan ini karena secara bersamaan, dan dalam waktu yang cenderung pendek, seantero benua beralih dari sistem satu partai ke sistem multipartai. Sebelum 1990, hanya lima negara Afrika yang melindungi hak pilih bagi setiap orang, menjalankan sistem multipartai. Pada 1995, negara dengan sistem satu partai atau bahkan tanpa partai justru menjadi minoritas.

Tentu, kompetisi elektoral yang multipartai tak serta merta menentukan suatu demokrasi. Bisa jadi, misalnya, pemilu secara mutlak ditujukan untuk melegitimasi pemerintahan otoriter, dengan proses yang penuh rekayasan. Makanya, justru yang lebih penting adalah kualitas dari pemilu itu sendiri.

Indeks pemilu bersih V-Dem mengukur seberapa negara terbebas dari kecurangan dalam pendaftaran, keanehan sistematis, intimidasi dari pemerintah ke oposisi, jual beli suara, dan kekerasan pemilu. Indeks ini berguna sebagai indikasi level demokrasi di Afrika.

Untuk melihat peran level kebebasan akademik sebelumnya terhadap kualitas pemilu saat ini, kami membuat model ekonometri. Kami kemudian mengujinya melalui data indeks kebebasan akademik dan pemilu bersih V-Dem.

Sepemahaman kami, ini adalah upaya pertama untuk menginvestigasi dampak kebebasan akademik terhadap demokrasi secara empiris.

Kami menemukan bahwa dalam jeda waktu 5, 10, dan 15 tahun, kebebasan akademik secara statistik punya efek positif terhadap kualitas pemilu. Misalnya, untuk Sierra Leone, indeks kebebasan akademik selama periode 1980-2009 adalah 0,48, sementara indeks pemilu bersih periode 1990-2019 adalah 0,55. Untuk Rwanda, angkanya adalah 0,20 dan 0,40, sementara untuk Benin 0,72 dan 0,65.

Kebebasan akademik memberi ruang bagi pendidikan untuk punya dampak demokratisasi. Temuan kami menyoroti dua hal:

  • butuh waktu untuk mengkonsolidasi demokrasi

  • untuk membuat politik lebih inklusif, suatu negara perlu menghasilkan pengetahuannya sendiri dan memiliki kapasitas intelektualnya sendiri.

Inilah mengapa serangan terhadap akademisi di Afrika cukup mengkhawatirkan bagi prospek benua tersebut untuk meraih demokrasi yang berkelanjutan dan iklim politik yang stabil.

Mobilitas dan kerja sama internasional adalah kekuatan untuk mewujudkan dunia akademik Afrika yang independen. Tapi, semakin tidak menarik bagi akademisi Afrika untuk kembali atau berpindah di dalam benua tersebut, semakin besar kemungkinannya mereka hengkang. Sebaliknya, negara yang mendukung kebebasan akademik, dan berinvestasi terhadap pendidikan saat ini, punya prospek masa depan yang lebih cerah.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now