Menu Close

Riset ungkap Ilmu Komunikasi di Indonesia statis, bahkan setelah 20 tahun lebih era Reformasi dan meluasnya kebebasan akademik

Runtuhnya sistem politik otoriter Orde Baru pada 1998, yang membuat iklim akademik menjadi relatif lebih bebas, ternyata tidak mendorong inovasi pada struktur program studi atau jurusan, terutama di bidang Ilmu Komunikasi yang saya tekuni.

Inovasi hanya terjadi secara terbatas, yakni pada dimensi muatan kurikulum atau mata kuliah tertentu.

Riset terbaru yang saya lakukan bersama tim peneliti Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) menunjukkan situasi akademik Ilmu Komunikasi di Indonesia dari 1998 hingga 2021 – lebih dari 20 tahun – stagnan alias jalan di tempat. Keadaannya tidak berbeda jauh dengan era sebelum 1998.

Riset secara umum menemukan, di tengah kecenderungan spesialisasi program studi di level global, berbagai universitas di Indonesia masih mempertahankan nomenklatur (tata penamaan) program studi yang sifatnya umum seperti Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, dan Hubungan Masyarakat. Nama-nama itu dilanggengkan karena populer di mata calon mahasiswa dan orang tua.

Memang ada sedikit perubahan kurikulum, misalnya dengan memasukkan mata kuliah Komunikasi Pemasaran Digital dan Kecerdasan Buatan (AI). Tapi keputusan ini lebih dipengaruhi oleh tren revolusi teknologi komunikasi digital, bukan oleh kebutuhan inovasi ilmu pengetahuan.

Kuantitas makin banyak, tapi statis

Data riset kualitatif ini berasal dari formulir profil program studi Ilmu Komunikasi yang diisi oleh sekitar 60 anggota ASPIKOM. Peneliti melengkapinya dengan wawancara tidak terstruktur dengan ahli komunikasi dan pimpinan asosiasi sarjana Ilmu Komunikasi. Tim peneliti juga menganalisis berbagai dokumen kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengembangan program studi.

Hasilnya, riset ini menunjukkan adanya tiga kecenderungan menarik, yaitu terkait (1) pilihan minat, (2) pilihan nomenklatur program studi atau jurusan, dan (3) fakultas yang menaungi bidang ilmu komunikasi.


Read more: Riset: banyak konferensi akademik di Indonesia tak memenuhi standar ilmiah, sering hadirkan pejabat, sponsor komersial, hingga trip wisata


Tiga minat studi yang dominan adalah Ilmu Komunikasi (bersifat umum dan holistik), serta Jurnalistik dan Ilmu Hubungan Masyarakat (Humas) yang lebih spesifik. Dari ketiganya, minat kajian Humas mendapat pilihan posisi tertinggi, disusul Ilmu Komunikasi.

Sementara itu, minat kajian di luar ketiganya yang bercorak kritis atau integratif dengan disiplin ilmu lain tampak rendah. Minat kajian seperti itu hanya merupakan pengembangan minor dari ketiga kajian sebelumnya. Tampak bahwa pendekatan yang dipakai masih monodisiplin, atau hanya fokus bidang ilmu Komunikasi. Pendekatan lintas disiplin apalagi interdisiplin belum jamak.

Adapun nomenklatur jurusan atau program studi paling banyak adalah Ilmu Komunikasi. Ini menunjukkan kondisi kajian akademis yang statis dan minim spesialisasi.

Beberapa universitas memang menawarkan program studi yang lebih mikro seperti Hubungan Masyarakat atau Manajemen Komunikasi. Namun program studi ini hanya dapat terjadi jika Ilmu Komunikasi menjadi fakultas tersendiri, yang jumlahnya masih sedikit.

Selanjutnya, ada indikasi berkurangnya jumlah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sebagai ‘rumah besar’ program studi Ilmu Komunikasi. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, misalnya, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora menjadi organisasi yang membawahi Komunikasi.

Sedangkan di beberapa universitas negeri atau swasta di luar UIN, Prodi Ilmu Komunikasi berada di bawah payung berbagai fakultas yang tidak hanya terbatas pada ilmu sosial dan ilmu politik. Di antaranya adalah Fakultas Komunikasi dan Bisnis di Telkom University atau Fakultas Sosial dan Hukum di Universitas Negeri Surabaya.

Tabel berikut ini meringkas berbagai temuan di atas.

Tabel di atas menunjukkan bahwa setelah 1998, studi-studi komunikasi cenderung statis, memihak pada pasar dan menjadi ‘good boy’ (anak baik) industri informasi digital yang bisnisnya meledak pasca tumbangnya rezim Orde Baru, ketimbang berposisi sebagai ilmu sosial yang memiliki kajian epistemologi yang ketat.

Ilmu Komunikasi masih (hanya) dianggap sebagai penyedia pekerja terlatih dalam berbagai bidang informasi dan industri terkait, seperti praktisi humas, komunikasi pemasaran, dan jurnalis.

Birokratisasi akademik dan liberalisasi universitas

Jika dibandingkan dengan sebelum reformasi 1998, minat studi pada Ilmu Komunikasi tidak berubah secara signifikan. Pada era Orde Baru ketika politik pendidikan tinggi berperan mendukung “pembangunan-isme”, ketiga pilihan minat studi tersebut sudah ada.

Situasi ini berlanjut hingga pasca Orde Baru dan pada era digital hari ini. Mengapa?

Setidaknya ada dua faktor penyebab stagnasi Ilmu Komunikasi di Indonesia. Pertama, iklim yang disebut ahli studi organisasi dari University of Technology Sydney (UTS) Peter Fleming sebagai penguatan kembali otoritarianisme birokratik (authoritarian turn) dalam dunia akademik.

Kedua, fenomena sindrom selebritas (academic star syndrome) di kalangan akademisi pasca terbukanya ruang publik digital. Kedua fenomena ini cenderung mengubur sikap menahan diri dan rendah hati yang seharusnya dimiliki para akademisi.

Fleming menulis sebuah buku baru berjudul Dark Academia: How Universities Die (2021). Buku ini telah memantik diskursus masa depan akademisi dan ilmu pengetahuan dalam lingkungan perguruan tinggi yang semakin mengalami korporatisasi dan terpapar pola pikir birokratik dalam tata kelola pengajaran dan penelitian.

Fleming menyebutkan kemunculan dark academia (kegelapan hidup kaum akademis) di antara universitas di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Para akademikus bekerja sebagai buruh, mengalami eksploitasi dalam pola relasi kerja korporasi universitas, sehingga tidak menjadi kaum intelektual yang otonom.

Stagnasi produksi ilmu pengetahuan terjadi akibat model manajemen universitas yang memegang semangat edufactory (pabrik pendidikan), pemenuhan kebutuhan pasar, bukan pusat inovasi pengetahuan. Hal serupa terjadi di Indonesia.

Selaras dengan Fleming, studi terbaru dari ahli studi Asia Tenggara Universitas Melbourne Andrew Rosser tentang tata kelola universitas di Indonesia menemukan krisis di perguruan tinggi ini dipicu tiga faktor yang saling terkait: neoliberalisasi universitas, praktik birokratisasi dalam tata kelolanya, dan peminggiran idealisme peran universitas sebagai inovator ilmu pengetahuan.

Neoliberalisme, menurut Rosser, bercirikan orientasi yang tinggi pada pemeringkatan perguruan tinggi dan perlombaan meraih predikat world class (kampus tingkat dunia). Mengikuti pola pikir ini, kinerja dosen diukur oleh pergerakan angka statistik publikasi, sitasi dan ranking yang dikerjakan lembaga korporasi internasional, bukan pengakuan sosial dari masyarakat.

Rosser mengamati bahwa tradisi birokratisasi universitas sebagai warisan Orde Baru masih langgeng. Hal itu diikuti politisasi pemilihan pimpinan perguruan tinggi, dan kuantifikasi kinerja akademik para dosen, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Struktur perguruan tinggi yang makin birokratik pun tidak kondusif bagi para dosen Ilmu Komunikasi yang baru meraih gelar doktor untuk mengembangkan pusat studi atau peta jalan risetnya, karena kewajiban mereka kini terlalu fokus pada mengelola birokrasi.

Jabatan seperti dekan, kepala jurusan, atau rektor membuat mereka harus menekan kesempatan membangun fondasi kompetensi ilmu, mengelola minat riset dan publikasi jurnal.

Glorifikasi kelulusan S-3 yang kemudian menjadi pejabat kampus juga memperkuat argumentasi ini. Meski belum ada riset yang komprehensif terkait beban kinerja non-akademik dosen di Indonesia, informan studi ini mengakui bahwa birokratisasi akademik mengurangi bahkan mengalihkan tugas utama mereka sebagai produsen ilmu.

Adapun fenomena academic star syndrome muncul dalam bentuk kehadiran para akademisi di media sosial yang bersifat semu. Fenomena ini adalah kelanjutan dari perlombaan akademisi untuk diundang atau hadir di layar televisi serta memberikan pendapat sebagai strategi pencitraan personal mereka.

Dalam upaya ini, akademisi dituntut menyesuaikan diri dengan budaya layar talkshow yang lebih menegaskan aspek penampilan, intonasi bicara, ketimbang substansi gagasan yang disampaikan.

Tren sindrom bintang akademik juga terwujud dalam tradisi mobilitas dosen untuk studi banding ke luar negeri, mencari pekerjaan konsultan di luar kampus, pembicara seminar, hingga mengerjakan proyek pemerintah.

Solusi atas masalah ini sangat tergantung pada keberanian universitas dalam mengubah tata kelolanya. Pemerintah juga memerlukan perubahan kebijakan agar Ilmu Komunikasi lebih dinamis dan inovatif dalam kurikulum, nama program studi, dan kultur akademik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now