Menu Close
Warga mengikuti upacara di kawasan Mulyorejo Selatan, Surabaya, Jawa Timur, Senin (17/8/2020). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj

Serial HUT RI: Refleksi 75 tahun Indonesia sebagai bangsa yang merdeka

Ketika Sukarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial pada 17 Agustus, 75 tahun lalu, penduduk Hindia Belanda yang beragam bahasa dan budaya memasuki babak baru. Era ini merupakan hasil dari konsolidasi periode penting yakni sejak kaum muda menanam benih kebangsaan Indonesia hampir dua dekade sebelumnya.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia, menjelang berakhirnya Perang Dunia II, menyerukan pada dunia bahwa bukan saja bangsa Indonesia memiliki martabat dan secara aktif melepaskan diri dari belenggu penindasan, namun kita melakukannya sebagai sebuah komunitas bangsa yang satu.

Kini, Indonesia merayakan Hari Kemerdekaannya di tengah struktur demografi yang didominasi usia produktif serta kemajuan industri teknologi komunikasi dan media sosial. Apakah kedua hal ini bisa menyiapkan kita mengatasi ancaman krisis iklim dan lingkungan dan pandemik bersejarah pada saat konservatisme menguat dan kekuasaan oligarki terus bertahan?

Dalam rangka memperingati pencapaian para pejuang kemerdekaan melawan penindasan dan ketidakadilan, The Conversation menyiapkan rangkaian artikel dan mengundang para akademisi membahas perjalanan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka selama 75 tahun ke belakang, situasi bangsa masa kini, dan apa yang perlu kita lakukan untuk mendorong kemajuan pada masa depan.

  • Peran kaum muda muda

Sepanjang sejarah, angkatan muda selalu memiliki kesadaran akan Indonesia yang lebih baik. Ini kesimpulan dari wawancara Editor Politik + Masyarakat Andreas Arditya dengan Yatun Sastramidjaja, asisten profesor antropologi di University of Amsterdam dan Muhammad Fajar, kandidat PhD ilmu politik di Northwestern University.

Andreas dalam tulisannya menganalisis peran kaum muda dalam perjalanan sejarah bangsa dan dalam setiap pergantian generasi, kaum muda memiliki idealisme murni untuk perbaikan bangsa karena berangkat dari kenyataan nyata yang dihadapi pemuda-pemudi.

  • Masyarakat adat memperjuangkan kesetaraan

Dalam artikel mengenai peran kaum muda, Muhammad Fajar mewanti-wanti agar melihat juga peran kelompok di luar “pemuda terpelajar”.

Artikel “75 tahun kemerdekaan Indonesia, Masyarakat Adat masih berjuang untuk kesetaraan” yang disusun Editor Lingkungan Hidup Fidelis Satriastanti menyentuh hal ini. Masyarakat adat turut serta dalam perang kemerdekaan melawan Belanda dan kekuatan Sekutu pada 1945-1949, tapi peran mereka hampir tidak pernah dibahas dalam narasi sejarah perjuangan. Selain itu, hak masyarakat adat terhadap hutan dan lingkungan alam tempat mereka tinggal, terutama dalam periode pemerintahan Soeharto dikorbankan untuk investasi sektor kehutanan, pertambangan dan perkebunan skala besar

  • Arus konservatisme menghambat perjuangan kesetaraan perempuan

Menganalisis perubahan lanskap politik Indonesia pasca Reformasi, Andreas Arditya mewawancarai Amalinda Savirani, Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, dan Alexander R. Arifianto, peneliti tamu di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University.

Artikel “Tidak hanya berdampak pada praktik politik, menguatnya konservatisme juga bisa menentukan arah republik” memuat penjelasan bahwa meningkatnya kekuatan Islam garis keras dan Islam konservatif, pasca Reformasi, serta pertumbuhan kelas menengah yang sebagian besar Muslim berkontribusi pada menguatnya konservatisme agama di Indonesia.

Dina Afrianty dari La Trobe University menjelaskan mengapa menguatnya konservatisme memundurkan reformasi kebijakan demi kesetaraan perempuan di Indonesia.

  • Dampak kondisi kesehatan terhadap peluang bonus demografi

Diahhadi Setyonaluri dan Flora Aninditya dari Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menjelaskan dalam artikel “Riset: bonus demografi Indonesia bisa hangus karena gaya hidup buruk pada usia muda” bahwa saat ini adalah kesempatan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena lebih banyak penduduk usia produktif (15-64) ketimbang anak-anak dan orang lanjut usia.

Namun, beban ganda penyakit menular serta tidak menular dan tingginya korban kecelakaan lalu lintas menyulitkan Indonesia memanfaatkan jendela kesempatan bonus demografi.

  • Membuat dosen lebih berdaya menghasilkan riset

Indonesia memiliki lebih dari 300.000 dosen dan peneliti, namun baru sepertiga yang menerbitkan hasil penelitian. Padahal, riset memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan suatu negara. Sesudah merdeka 75 tahun, sektor penelitian Indonesia kalah dibandingkan Vietnam dan Thailand yang memiliki jumlah dosen yang jauh lebih sedikit.

Andita Aulia Pratama, dosen dan peneliti Sebijak Institute Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, menulis ada tiga solusi untuk memperbaikinya: mengurangi beban mengajar dosen, merombak sistem evaluasi kinerja riset, meningkatkan akses dosen untuk meningkatkan kompetensi riset.

  • Pemberantasan korupsi, meningkatnya intoleransi, dan kesenjangan gender masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia

Tiga akademisi memberikan analisa mengenai tantangan-tantangan yang akan tetap dihadapi Indonesia.

Dari sisi pemberantasan korupsi, Kanti Pertiwi, pengajar bidang ekonomi dan bisnis di Unversitas Indonesia, mengidentifikasi tiga masalah utama. Ia menyebutkan wacana anti-korupsi sejauh ini tidak mampu menyentuh kekuatan oligarki di Indonesia. Ia juga mengatakan upaya pencegahan korupsi juga cenderung seremonial dan superfisial. Dan terakhir, pemberantasan korupsi sibuk dengan menekan gejala, bukan menangani penyebab inti dari praktik-praktik yang ada di masyarakat.

Achmad Munjid, pengajar bidang ilmu budaya dan peneliti senior di Universitas Gadjah Mada (UGM) menganalisis mengenai intoleransi di Indonesia. Ia menyebutkan sejauh masih terdapat aturan hukum yang rawan diskriminasi (seperti Undang-Undang Penistaan Agama 1965), peraturan-peraturan yang tidak saling sejalan, dan penegakan hukum yang lemah, kemajuan Indonesia mengatasi intoleransi akan tetap lambat.

Dan Ella S. Prihatini, pengajar bidang ilmu sosial dan politik di Universitas Bina Nusantara, menganalisis mengenai kesetaraan gender di Indonesia. Ia mengatakan instrumen seperti kuota gender untuk pencalonan perwakilan rakyat merupakan modal bagi Indonesia untuk mengatasi ketimpangan gender. Namun ini saja belum cukup.

  • Video: 8 Tokoh Bapak dan Ibu Bangsa yang Tak Kalah Berjasa dari Sukarno - Hatta

Masyarakat Indonesia mengenal nama Sukarno dan Mohammad Hatta, presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Kita secara kolektif mengingat perjuangan mereka dalam pengajaran sejarah Indonesia dan perayaan kemerdekaan. Namun, ada banyak tokoh perjuangan kemerdekaan lain yang turut berkontribusi dalam kemerdekaan dan sistem kenegaraan nIndonesia. Produser Multimedia Wafda Azya Khaeruzzaman membuat video mengangkat delapan di antara mereka.


Pantau terus laman ini. Rangkaian artikel memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ini akan diperbarui sepanjang Agustus.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now