Menu Close
shutterstock.

Lebih dari sepertiga dosen Indonesia tidak menerbitkan riset: 3 solusi memperbaikinya

Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.


Riset memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan suatu negara. Namun, di Indonesia jumlah akademisi yang menghasilkan penelitian masih sangat sedikit apabila dibanding dengan negara-negara maju.

Berdasarkan Science and Technology Index (SINTA) keluaran Kementerian Riset dan Teknologi, saat ini jumlah orang yang telah mempublikasikan artikel ilmiah baru mencapai sekitar 200 ribu orang. Padahal, jumlah dosen dan peneliti di Indonesia yang tercatat di basis data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan totalnya melebihi 305 ribu orang. Artinya lebih dari sepertiganya belum mempublikasikan artikel ilmiah.

Pada indeks riset yang dibuat oleh jurnal ternama Nature, dalam satu tahun terakhir keluaran riset Indonesia menempati urutan ke-11 di Asia Pasifik, kalah dari Vietnam dan Thailand yang memiliki jumlah dosen yang jauh lebih sedikit.

Selain itu, publikasi berkualitas tinggi yang melalui proses (peer-review) - atau tinjauan ketat oleh tim akademisi lain - pun masih sedikit.

Dari total 2,8 juta dokumen ilmiah dari peneliti Indonesa di Google Scholar, baru sekitar 100 ribu artikel jurnal terindeks Scopus (salah satu pengindeks artikel ilmiah dengan kualitas riset tinggi yang saat ini diakui di Indonesia).

Saya melihat adanya beberapa alasan mengapa tidak semua dosen Indonesia menjadi peneliti: beratnya beban tugas mereka dalam mengajar, masih buruknya sistem evaluasi kinerja riset, serta kurangnya jumlah dosen yang memiliki kompetensi doktoral.

Dari masalah tersebut, saya menawarkan tiga solusi sebagai berikut:

Beban mengajar dosen terlalu berat: sediakan ‘staf akademik’ khusus

Dalam satu semester, dosen diwajibkan memenuhi beban kerja ‘Tri Dharma’ - mengajar, melakukan penelitian, serta terlibat dalam pengabdian masyarakat - sebanyak minimal 12 SKS (satuan kredit semester).

Berdasarkan riset, angka tersebut pada dasarnya cukup mudah untuk dipenuhi mengingat dosen Indonesia kebanyakan mencapai sekitar 15 SKS.

Namun, riset tersebut menyoroti bahwa beban jatuh terlalu terbanyak pada porsi pengajaran. Dosen tidak hanya bertanggung jawab atas isi materi perkuliahan, namun juga metode pembelajaran hingga evaluasi belajar mahasiswa.

Ini cukup memberatkan kerja dosen dalam bidang pengajaran.

Padahal, untuk mendukung sistem pendidikan tinggi yang berkualitas, harusnya ada pemisahan antara perumusan pedagogi dengan substansi mata kuliah.

Saya menyarankan universitas untuk menyediakan staf kependidikan khusus - sistem yang lazim diterapkan di universitas maju seperti di Singapura - untuk membantu dosen menyusun teknis penyampaian dan sistem evaluasi dalam suatu mata kuliah.

Staff kependidikan membantu dosen dalam mendesain, mengajar, dan mengevaluasi mata kuliah di National University Singapore. (Fun Man Fung, Ph.D), Author provided (no reuse)

Apabila opsi merekrut staf permanen dianggap mahal, universitas dapat membentuk badan sementara dalam setiap penyusunan mata kuliah, dengan berkonsultasi dengan ahli kependidikan dari universitas keguruan.

Penelitian di tiga universitas Eropa menunjukkan bahwa melibatkan ahli pedagogi dalam merancang pembelajaran daring, misalnya, dapat membuat teknologi, materi, dan desain pembelajaran menjadi lebih baik.

Namun, yang lebih penting lagi, keterlibatan mereka akan memberi keleluasaan bagi dosen agar dapat fokus melaksanakan penelitian.

Sistem evaluasi kinerja riset harus mendorong dosen untuk meneliti

Setelah mengurangi beban kerja dosen dalam bidang pengajaran, hal selanjutnya adalah membangun sistem pengawasan kinerja penelitian dosen yang membantu mereka melatih kapasitas riset.

Saat ini dosen diwajibkan untuk mengisi Beban Kinerja Dosen (BKD) di awal semester, Laporan Kinerja Dosen (LKD) di akhir semester, serta Sasaran Kerja Pegawai (SKP) setiap tahun.

Ketiga dokumen ini sama-sama berisi rincian pekerjaan yang dilakukan dosen - berapa porsi SKS untuk pendidikan, penelitian, pengabdian, dan kegiatan lain.

Selain melaporkan hal yang isinya serupa sehingga cukup menyita waktu, laporan-laporan tersebut digunakan sekadar untuk administrasi jabatan dan dalam banyak kasus tidak ada minimal SKS untuk kegiatan penelitian. Dosen pun tidak diberikan evaluasi yang berarti untuk meningkatkan kapasitas riset mereka.

Untuk kapasitas meneliti, sistem pelaporan dan evaluasi semestinya dibangun berdasarkan indikator performa riset yang terukur dan objektif.


Read more: Pembuatan kebijakan di Indonesia tidak didukung riset berkualitas dan kebebasan akademik


Sistem evaluasi riset nasional Australia atau Excellence in Research for Australia (ERA), misalnya, tidak hanya melihat jumlah penelitian dan keterlibatan dalam kegiatan riset, tapi juga:

  • kualitas penelitian (melalui analisis sitasi, telaah sejawat oleh komite riset, dan menimbang reputasi karya ilmiah yang diterbitkan); serta
  • dampak penelitian (seperti paten yang dihasilkan, dan pendapatan dari komersialisasi riset).

Jika indikator-indikator ini dimasukkan ke dalam pelaporan dan evaluasi kinerja dosen dalam sistem Pendidikan Tinggi (DIKTI), dosen bisa memiliki insentif untuk meningkatkan kapasitas riset mereka karena kenaikan jabatan dan tunjangan finansial mempertimbangkan pengalaman dan pencapaian mereka dalam riset.

Sistem laporan dan evaluasi sebaiknya juga dilengkapi oleh statistik dan pemeringkatan nasional agar dosen juga bisa melihat di bagian mana kapasitas riset mereka masih tertinggal.

Berikan akses luas untuk peningkatan kompetensi riset dosen

Sebuah laporan dari Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi Dunia (OECD) menjelaskan bagaimana gelar doktor merupakan predikat akademik tertinggi yang memiliki kompetensi terbaik dalam melaksanakan riset. Gelar doktor juga memudahkan peneliti untuk mendapatkan pendapatan lebih tinggi, peluang riset yang lebih luas, dan juga akses lebih untuk kesempatan pengembangan diri.

Riset lain juga menyebutkan bahwa dosen lulusan S3 akan cenderung menghabiskan waktu lebih banyak melakukan penelitian.

Artinya, seiring dengan mengatasi dua permasalahan sebelumnya, peningkatan kualifikasi dosen bisa menjadi kebijakan pendukung dalam meningkatkan kualitas riset di Indonesia.

Sayangnya, mayoritas kualifikasi dosen Indonesia didominasi oleh lulusan magister (S2). Berdasarkan data Statistik Pendidikan Tinggi Tahun 2018, mayoritas dari sekitar 295 ribu dosen di Indonesia merupakan lulusan S2 (204.576 atau sekitar 69,4%). Lulusan S3 hanya sebanyak 42.670 (atau sekitar 14,5%) dan sisanya merupakan lulusan S1 dan Diploma.

Pemerintah sendiri telah menyediakan berbagai skema beasiswa dari dalam negeri seperti dari LPDP dan DIKTI. Meski begitu, masih banyak dosen yang belum mendapatkan akses untuk mengambil studi S3 karena terbatasnya kuota.

Tahun lalu, pemerintah baru menyediakan 1.100 beasiswa doktoral untuk dosen, ketika jumlah dosen S2 jauh lebih banyak dari itu.

Selain memperluas akses tersebut, pemerintah sebenarnya bisa mendorong universitas-universitas terbaik di Indonesia untuk melakukan lebih banyak proyek riset yang kemudian membuka lowongan peneliti PhD untuk dosen. Skema ini lazim dilakukan di beberapa negara seperti di Belanda. Peneliti yang dipekerjakan tidak hanya dibebaskan dari biaya kuliah, namun justru dibayar untuk melakukan suatu disertasi dan mendapatkan gelar doktor.

Berbagai skema ini bisa menjadi alternatif untuk mendorong lebih banyak dosen yang bergelar doktor dan berkapasitas tinggi dalam riset di Indonesia.


Read more: Memburu inovasi: Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi dari sektor swasta


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now