Menu Close
Keadilan pajak diperlukan dalam memberantas kesenjangan. ekaterina bolovtsova/pexels, CC BY

Sudah saatnya menagih tanggung jawab moral konglomerat lewat keadilan pajak

Di masa krisis, suara miliarder seakan mendapat banyak perhatian dari pemerintah dunia, lebih dari apa yang biasanya mereka peroleh. Kemampuan orang kaya untuk mengarahkan kebijakan akhirnya berujung pada peningkatan kesenjangan.

Oleh karena itu, kita harus memikirkan ulang bagaimana seharusnya kebijakan fiskal – yang mengatur mengenai pemungutan dan pengawasan pajak – diterapkan untuk mengatasi permasalahan ini.

Pertemuan World Economic Forum (WEF) yang digelar bulan lalu di Davos, Swiss, merupakan contoh nyata. Pertemuan tahunan ini kembali hadir dengan menyertakan tokoh-tokoh ternama dari kalangan pemerintah maupun pengusaha. WEF memilih tema “Sejarah pada Titik Balik”, dengan harapan para pembuat kebijakan dapat bergandengan tangan untuk menghadapi turbulensi ekonomi dan tegangan politik akibat invasi Rusia ke Ukraina.

Namun, forum bergengsi yang didirikan pada 1974 ini bukan tanpa kritik. WEF kerap dianggap terlalu eksklusif dan merupakan platform yang ramah konglomerat dan politisi hingga akhirnya membuat pandangan mereka seakan setara dengan pemikiran para ekonom dunia. Pergelaran tahun ini pun tak jauh berbeda.

Pembuat kebijakan cenderung gugup ketika miliarder dan pengusaha berbicara mengenai bahaya resesi global, tingkat pengangguran, dan ketidakstabilan politik. Sebagai respons, berbagai insentif mengalir deras dari kantung pemerintah ke para pebisnis agar mereka dapat bertahan dari gempuran pandemi.

Ironisnya, dukungan untuk pebisnis ini diberikan di tengah melonjaknya kesenjangan pendapatan.

Di Indonesia, total kekayaan miliarder meroket 57,9% selama pandemi, dari US$57 miliar ke US$90 miliar (Rp 847 triliun to Rp 1.337 triliun).

Pada saat yang sama, 2,1 juta orang terjerumus dalam kemiskinan ekstrem. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah penduduk miskin mencapai 9,71% atau setara dengan 26,5 juta jiwa.

Tantangan dalam meningkatkan kebijakan fiskal

Kekhawatiran mengenai peningkatan kesenjangan menjadi fokus penelitian ekonomi selama beberapa tahun ke belakang. Hal ini mencakup studi yang dilakukan oleh ekonom kenamaan dunia seperti Thomas Piketty, Joseph Stiglitz, dan Facundo Alvaredo.

Salah satu pesan utama yang disampaikan dalam penelitian mereka adalah tren penurunan persentase pajak orang kaya membuat kesenjangan semakin dalam. Selain itu, orang kaya dan perusahaan yang mereka miliki mendapatkan keuntungan besar baik dari rendahnya pajak maupun pengampunan pajak (tax amnesty), termasuk kesempatan untuk menghindari kewajiban mereka secara legal maupun ilegal.

Dalam konteks Indonesia, bukti yang ada menunjukkan bahwa beban pajak tidak terdistribusikan secara merata. Persentase pajak perorangan di Indonesia masih tergolong rendah. Persentase tertinggi pajak perorangan di Indonesia – yaitu sekitar 35% – masih berada di bawah Cina, India dan sebagian besar Eropa.

Permasalahan lainnya adalah bahwa pajak tak langsung, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), masih mendominasi penerimaan pajak Indonesia. Persentase PPN yang berlaku di Indonesia tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan kapasitas keuangan yang berbeda-beda antar individu. Hasilnya, keluarga berpendapatan menengah ke bawah harus menanggung beban pajak yang lebih berat dibandingkan orang kaya.

Sementara, besaran pungutan pajak pendapatan umumnya datang dari pendapatan pribadi perorangan, tanpa memperhitungkan keuntungan yang mereka peroleh dari aktivitas ekonomi atau nilai aset lainnya. Pemerintahnya mestinya menerapkan pendekatan yang lebih inovatif dan memaksimalkan pajak kekayaan bersih – seperti transfer kepemilikan properti – dan pajak transaksi keuangan yang berlaku untuk jual beli mata uang, saham, dan instrumen keuangan lainnya.

Keadilan pajak untuk menurunkan kesenjangan

Pada 2020, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menambahkan indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang berfokus mendorong pembuat kebijakan untuk memaksimalkan kebijakan fiskal demi memangkas tingkat kesenjangan. Tulane University di Amerika Serikat (AS) bahkan mengembangkan instrumen Commitment to Equity (CEQ) untuk mengawasi dampak kebijakan fiskal terhadap kesenjangan dan kemiskinan.

Dengan kata lain, pilihan pendekatan jatuh di tangan kita.

Kita bisa memilih untuk mendorong lebih banyak insentif bisnis yang berpotensi melipat gandakan kekayaan pengusaha, atau memperkuat kebijakan pajak kita. Kita dapat menoleransi penghindaran pajak, atau memperkuat reputasi perpajakan kita dan memberlakukan penalti yang lebih berat bagi mereka yang mengabaikan kewajiban pajaknya. Kita juga bisa memilih untuk meningkatkan alokasi pendanaan untuk proteksi sosial atau mendistribusikannya ke sektor-sektor non-esensial.

Di Indonesia, kita paling tidak harus dapat meningkatkan tiga aspek.

Pertama, pemerintah harus memfokuskan ulang kebijakan pajaknya, utamanya dengan memperbaiki penghitungan pajak penghasilan.

Proporsi pemasukan pajak terbesar Indonesia saat ini berasal dari pajak penghasilan perusahaan, diikuti oleh PPN dan service tax. Keputusan pemerintah untuk meningkatkan penghasilan yang dikenai pajak hingga 35% bagi wajib pajak perorangan yang menghasilkan Rp 5 miliar per tahun patut diapresiasi.

Namun, upaya ini perlu disertai dengan peningkatan pajak untuk aktivitas ekonomi bernilai tinggi lainnya, seperti transaksi penjualan properti atau kepemilikan aset di pasar keuangan.

Walaupun skema pajak tak langsung tidak membedakan antara bahan pokok maupun bahan pendukung, kebutuhan dasar masih dibebani oleh PPN dan merugikan masyarakat yang kurang mampu. Sebagai contoh, minyak goreng yang merupakan bahan pokok masuk ke dalam daftar komoditas yang dikenai PPN 11%.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan kuantitas dan kualitas pengeluarannya.

Alokasi dana untuk proteksi sosial hanya berkisar 1,59% dari anggaran belanja pemerintah pada 2022. Angka ini merupakan yang kedua terendah di ASEAN – di bawah Kamboja (3,8%), Myanmar (3,18%), Malaysia (2,50%), dan Vietnam (2,15%). Sementara, alokasi dana proteksi sosial di Timor Leste mencapai 4,62%.

Rendahnya alokasi dana ini tentunya berdampak pada kualitas layanan publik di Indonesia.

Sebagai contoh, dukungan pemerintah yang minim terhadap infrastruktur dan kualitas sekolah negeri mendorong masyarakat untuk merogoh kocek lebih banyak demi menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Dalam jangka panjang, hal ini berpengaruh pada penurunan daya beli masyarakat yang kemudian berimbas pada pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah harus meningkatkan alokasi keuangan bagi masyarakat rentan dan membuka akses ke lapangan pekerjaan. Hal ini, misalnya, dapat ditempuh dengan mengurangi pengeluaran untuk sektor militer demi melonggarkan ruang fiskal. Terlepas dari menurunnya keluaran ekonomi akibat pandemi COVID-19, anggaran tahunan Kementerian Pertahanan melonjak 13,28% menjadi Rp 134 triliun pada 2021.

Ketiga, kita perlu memperkuat upaya mengurangi penghindaran pajak dan korupsi di sektor perpajakan. Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah bisa mempromosikan diskusi publik yang konstruktif dan berkelanjutan sembari melibatkan organisasi sipil dan masyarakat.

Akhir kata, pemerintah perlu lebih bertanggung jawab dalam menerapkan sistem perpajakan yang adil. Namun, kita tetap tidak boleh melupakan bahwa pengusaha, termasuk miliarder, memainkan peran penting dalam menciptakan sistem ekonomi yang adil.

Phil White, konglomerat dan aktivis finansial Inggris, mengatakan: “pajaki orang kaya dan pajaki kami sekarang”. Pernyataan ini masih jarang terdengar dari miliarder di Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now