Menu Close

Sulitnya akses pendidikan anak pekerja migran di Malaysia, apa kendalanya?

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim (kiri) bersama ribuan warga Indonesia saat melakukan blusukan di Pasar Chow Kit, Kuala Lumpur, Malaysia. Rafiuddin Abdul Rahman/Antara Foto

Isu perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan keluarganya ternyata tidak muncul satu pun dalam enam nota kesepahaman yang dihasilkan dalam lawatan Presiden Joko “Jokowi” Widodo ke Malaysia awal Juni ini.

Padahal, dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada Januari lalu, Jokowi telah menekankan pentingnya akses pendidikan bagi anak-anak PMI di negara itu.

Meskipun telah terdapat beberapa layanan pendidikan yang tersedia bagi anak-anak PMI di Malaysia, temuan sementara riset lapangan kami di Kota Tawau, Sabah, yang kami lakukan pada 25-30 Mei 2023 mengungkap masih terdapat sejumlah kendala dalam akses dan layanan pendidikan yang perlu menjadi perhatian kita bersama.

Akses pendidikan bagi anak pekerja migran

Anak-anak PMI di Malaysia secara umum, terlepas dari status legalitasnya, masih mengalami keterbatasan akses pendidikan karena kebijakan pendidikan yang restriktif terhadap anak non-warga negara Malaysia. Hal ini terutama dalam mengakses pendidikan umum di sekolah negeri/kerajaan.

Menyikapi hal tersebut, kedua negara menyepakati komitmen dalam pemberian layanan pendidikan bagi anak-anak warga negara Indonesia yang tinggal di Malaysia melalui Joint Statement Annual Consultations. Perjanjian ini disepakati langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Malaysia Abdullah Haji Ahmad Badawi pada Januari 2006.

Pernyataan bersama ini kemudian ditindaklanjuti dengan sejumlah pertemuan bilateral. Pemerintah Malaysia akhirnya secara resmi melegalkan pendirian Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) pada 2008, sementara Pemerintah Indonesia mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (Community Learning Center/CLC) pada 2011. Sekolah dan pusat kegiatan belajar ini disediakan khusus untuk anak-anak berkewarganegaraan Indonesia yang orang tuanya bekerja di sektor perkebunan atau ladang sawit di Sabah dan Serawak.

Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan layanan pendidikan bagi anak-anak PMI, pertumbuhan CLC semakin pesat. Berdasarkan data dari SIKK, sampai dengan Desember 2022 telah terdapat 409 CLC, yang terdiri dari 211 CLC jenjang SD dan 198 CLC tingkat SMP, dengan total siswa sebanyak 18.787 orang.

Dalam perkembangannya, CLC tidak hanya berlokasi di ladang dan kebun, tapi juga di luar ladang, seperti di wilayah Bandar (kota) maupun kompleks pemukiman penduduk, yang dikenal dengan istilah CLC non-ladang. Perusahaan memfasilitasi pendirian dan operasional CLC di ladang, sementara yang non-ladang biasanya diinisiasi oleh masyarakat atau organisasi sosial/keagamaan.

Kendala dalam akses pendidikan

Walaupun sudah dibangun sejumlah CLC bagi anak-anak PMI, hasil wawancara dengan narasumber kami – 12 PMI dan 20 anak dari PMI, 2 perusahaan perkebunan sawit, pengelola di 8 CLC ladang dan non-ladang, serta Konsulat Republik Indonesia di Tawau – menemukan bahwa masih terdapat beberapa kendala dalam penyediaan akses pendidikan.

Pertama, terkait dengan kelengkapan dokumen kependudukan anak. Kebanyakan anak-anak PMI di Malaysia tidak memiliki atau tidak membawa dokumen kependudukan, seperti Akte Kelahiran dan Paspor. Ini karena status orang tua mereka yang sebagian besar merupakan PMI tidak berdokumen ketika bekerja di Malaysia. Ketiadaan dokumen ini kemudian menjadi salah satu hambatan dalam proses pendaftaran anak-anak di Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), sehingga pengelolaan CLC tidak bisa optimal.

Kedua, belum meratanya layanan CLC diberikan di seluruh ladang. Artinya, tidak semua perusahaan memiliki komitmen yang sama untuk memfasilitasi layanan pendidikan bagi anak-anak pekerjanya, mengingat perlu investasi modal yang tidak sedikit.

Padahal, penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendidikan di ladang sebenarnya merupakan salah satu kriteria penilaian berbagai sertifikasi yang diperlukan perusahaan untuk menjual hasil ladangnya ke pasar Uni Eropa.

Ketiga, belum adanya standar minimum penyediaan fasilitas dan sarana prasarana pendukung dalam penyelenggaraan pendidikan di CLC ladang.

Ada perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas gedung dan sarana dan prasarana yang memadai, layaknya sekolah-sekolah di Indonesia. Namun, masih banyak pula yang sekadar memberikan ruangan beratap sebagai ruang kelas. Dengan kata lain, kualitas sarana prasarana masih bergantung pada kemampuan, kemauan, dan komitmen perusahaan dalam menyediakannya.

Keempat CLC non-ladang masih mengalami kendala dalam memperoleh izin penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar dari pemerintah Malaysia, berbeda dengan penyelenggaran CLC di ladang yang umumnya memiliki izin operasional resmi. Ketiadaan izin untuk beroperasi ini membuat eksistensi dan keberlanjutan CLC non-ladang menjadi tidak pasti.

Kelima, belum memadainya kuantitas dan kualitas tenaga pengajar baik guru bina maupun guru pamong. Guru bina yaitu guru yang dikirim oleh pemerintah Indonesia dan guru pamong yaitu guru yang berasal dari tenaga lokal baik warga negara Indonesia maupun warga negara Malaysia.

Sampai dengan Januari 2021, guru bina aktif yang berada di CLC dan Tempat Kegiatan Belajar (TKB) di Sabah dan Serawak berjumlah 226 orang, sementara jumlah guru pamong mencapai 544 orang.

Secara kuantitas, jumlah tersebut belum memadai untuk memberikan layanan pendidikan bagi sekitar 13.000 anak didik yang tersebar di lebih dari 400 CLC SD dan SMP. Idealnya, terdapat satu hingga dua orang guru bina di setiap CLC dengan komposisi guru dan murid minimal 1:3.

Berdasarkan hasil temuan kami, saat ini seorang guru bina harus mengampu lebih dari satu CLC dan turut mengajar berbagai mata pelajaran di jenjang pendidikan yang berbeda. Rekrutmen guru bina dari Indonesia yang belum berkelanjutan juga menambah keterbatasan jumlah tenaga pengajar di CLC.

Selain itu, kebanyakan guru pamong adalah warga lokal yang rawan mengalami kendala perbedaan bahasa dalam menyampaikan pelajaran dengan kurikulum Indonesia serta tidak memiliki standar kualifikasi yang sama dengan guru bina.

Keenam, masih banyaknya alternatif pusat pembelajaran swasta beroperasi di wilayah non-ladang yang menyediakan pembelajaran non-formal dan belum disesuaikan dengan standar pembelajaran yang dapat disetarakan.

Akibatnya, siswa di pusat pembelajaran ini biasanya tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan tetap harus mengikuti sistem Kejar Paket untuk bisa memperoleh ijazah.

Dengan adanya CLC yang memberikan pembelajaran sesuai dengan standar dan kurikulum Indonesia, seharusnya keberadaan pusat pembelajaran swasta ini tidak lagi menjadi pilihan bagi anak-anak PMI jika keberlanjutan studi di Indonesia menjadi pertimbangan utama.

Pada akhirnya, penyediaan layanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia memang menjadi tanggung jawab banyak pihak, tidak hanya pemerintah kedua negara tapi juga dari pihak perusahaan yang mempekerjakan PMI, organisasi kemasyarakatan, masyarakat lokal (tempatan), dan orangtua.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now