Menu Close
Keuangan Liga Inggris
Manchester City berhasil meraih juara Liga Champions 2022-2023 usai mengalahkan Inter Milan pada laga final di Stadion Olimpiade Ataturk pertengahan tahun lalu. Gevorg Ghazaryan/shutterstock

Tak adilnya aturan keuangan Liga Primer Inggris: poin Everton dikurangi, Manchester City didenda minim

Tampaknya, seluruh penggemar sepak bola liga Inggris tengah gelisah setelah Everton telah dijatuhi pengurangan 10 poin akibat laporan keuangannya yang merugi selama lima tahun berturut-turut.

Berdasarkan financial fair play (FFP) dalam peraturan liga, tim diizinkan untuk mengalami kerugian tidak lebih dari 105 juta pounds, atau $130 juta, selama periode tiga tahun berturut turut.

Dalam laporan yang tertulis sepanjang 41 halaman, panel tersebut akhirnya setuju dengan penilaian Liga Primer bahwa Everton telah melanggar jumlah kerugian yang diizinkan sebesar 19,5 juta pounds (sekitar Rp384,64 miliar).

Besarnya hukuman dalam kasus Everton, bagaimanapun, menunjukkan bahwa hukuman yang lebih kolosal mungkin menanti tim lain. Termasuk di antaranya adalah Manchester City yang dituduh melakukan 115 pelanggaran terhadap peraturan liga terkait laporan keuangannya.

Apa itu financial fair play?

Aturan FFP telah disepakati oleh komite eksekutif Uni Sepak Bola Eropa (UEFA) pada September 2009 dan telah mengalami 3 kali ratifikasi.

Namun, secara prinsip, FFP memiliki persyaratan utama yang tidak berubah. Pertama, menekankan transparansi dan kredibilitas dengan menetapkan persyaratan pengungkapan minimum untuk laporan keuangan klub. Kedua, mengharuskan klub membuktikan bahwa mereka tidak memiliki kewajiban pembayaran yang jatuh tempo kepada klub lain, pemain, dan otoritas sosial/pajak sepanjang musim berjalan.

Ketiga, mengharuskan klub mematuhi persyaratan break-even. Secara khusus, aturan break-even FFP menyatakan bahwa pendapatan dan pengeluaran yang relevan seharusnya sejalan selama periode pelaporan, dan setiap perbedaan harus di atas ambang batas yang telah ditentukan oleh UEFA.

FFP juga memiliki ketentuan yang membatasi pemilik klub untuk menggunakan dana pribadi mereka demi mencapai tujuan atau ambisi klub. Hal ini bertujuan untuk menghindari ketidakseimbangan dalam persaingan, terutama jika pemilik sangat berkecukupan dan memiliki kemampuan untuk mengakuisisi semua pemain yang diinginkan.

Kekuatan keuangan suatu klub memang bisa memengaruhi kinerja tim. Misalkan saja pengambilalihan Newcastle United oleh konsorsium yang dipimpin oleh Public Investment Fund (PIF) dari Arab Saudi, yang membuat Newcastle United menjelma menjadi klub yang konsisten di papan tengah dan cenderung naik ke papan atas klasemen liga Inggris. Sebelum di akuisisi, Newcastle hanyalah tim papan bawah klasemen yang berjuang keluar dari zona degradasi.

Proses perhitungan FFP berfokus pada setiap musim kompetisi, dengan Badan Pengawas Keuangan Klub UEFA (CFCB) memantau keuangan setiap klub. Pada pertengahan musim, biasanya pada Desember, setiap klub menerima laporan mengenai kepatuhan mereka terhadap peraturan FFP.

Aroma ketidakadilan

Namun, FFP bukannya tanpa cela. Misalkan saja pada kasus yang menimpa Manchester City (MCFC).

MCFC diduga memperoleh sponsor yang melebihi nilai komersial wajar dengan melibatkan perusahaan milik negara bagian Abu Dhabi sebagai bagian dari Uni Emirat Arab. MCFC pertama kali dihadapkan pada FFP dengan klaim bahwa sponsor mereka, seperti Etihad Airways dan perusahaan lain, adalah pendanaan ekuitas tersembunyi dari Abu Dhabi United Group (ADUG). Namun akhirnya, pada 2014, mereka berhasil mencapai kesepakatan penyelesaian dengan Uni Sepak Bola Eropa (UEFA).

Masalah kembali datang pada 2018. Laporan MCFC bocor ke media dan memicu penyelidikan baru. Tuduhannya melibatkan pembayaran sponsor yang diduga sebagai pendanaan permodalan tersembunyi. Oleh karena itu, pada Februari 2020, UEFA memberi hukuman larangan dua musim dan denda 30 juta euro (Rp509,78 miliar) setelah setelah sebelumnya melakukan penyelidikan. Namun, MCFC lagi-lagi mengajukan banding ke Pengadilan Arbritase Olahraga (CAS).

Dalam kasus ini, MCFC berhasil mengatasi beberapa isu prosedural, seperti membuktikan bahwa surel yang bocor ternyata adalah palsu, sehingga meringankan hukuman MCFC hanya menjadi denda sebesar 10 juta euro (Rp169,93 miliar).

Namun tentu saja keputusan ini menimbulkan keraguan banyak pihak terhadap keberlanjutan FFP yang dinilai berat sebelah dan dinilai berpihak pada klub yang dimiliki oleh taipan besar. Sebab, publik melihat betapa mudahnya klub besar untuk menyiasati perkara ini, dan betapa sulitnya klub kecil untuk keluar dari tuntutan ini bahkan tak jarang dihukum pengurangan poin tanpa ampun sebagaimana yang terjadi pada Everton.

Tantangan FFP ke depan

Ada beberapa hal yang niscaya akan diperbaiki dan dipertimbangkan oleh UEFA terkait kebijakan FFP.

Pertama, meskipun kebijakan FFP telah disetujui sejak 2010, UEFA awalnya berniat untuk mengeluarkan FFP secara bertahap. Namun, dalam perjalanannya, FFP lebih melihat kebijakan ini pada tataran praktis ketimbang teoritis belaka. Selama ada bukti, kesalahan apapun akan langsung dijatuhi hukuman, sebagaimana terjadi pada kasus Everton baru-baru ini. Namun tentu saja hal ini mengasumsikan adanya konsistensi agar hukuman berlaku adil dan merata.

Kedua, keputusan CAS yang sangat dinanti-nantikan pada 2020 MCFC versus UEFA nyatanya menguntungkan MCFC dan menjadi pukulan merugikan bagi reputasi UEFA dan FFP. Sebab, hal ini memunculkan banyak pertanyaan akan kredibilitas UEFA untuk menegakkan regulasi tersebut. Menghadapi persoalan ini, tampaknya perlu bagi UEFA untuk mengevaluasi implementasi penerapan FFP agar tidak hanya menjadi gimmick semata, tetapi dapat menjadikan ekosistem sepak bola di seluruh dunia menjadi kondusif adanya.

Maka, tampaknya perlu sebuah mekanisme monitoring yang lebih transparan dan berlaku merata tanpa melihat unsur politis di baliknya. Sebab, menurut sebuah penelitian tahun 2020 yang yang bertajuk Has UEFA’s financial fair play regulation increased football clubs’ profitability?, efek positif yang signifikan hanya terjadi di Spanyol. Sementara, dampak FFP masih minim untuk keuangan klub di Prancis, Inggris, dan Jerman.

Menerapkan keadilan finansial persepakbolaan Indonesia

Di Indonesia, peraturan mengenai finansial peserta liga, tidak serumit liga di Eropa. Sebab, tentu saja, klub di liga Indonesia tidak memiliki dana atau taipan besar sebagaimana klub di Eropa. Klub di liga Indonesia juga tidak memiliki banyak pertandingan level internasional yang mendapatkan profit besar sehingga harus diatur sedemikian rupa sebagaimana di klub Eropa.

Bahkan di dalam dokumen regulasi liga 1 tahun 2020, hanya mencantumkan bahwa klub memiliki beberapa kewajiban finansial terkait jalannya liga saja, dan tidak dijelaskan mengenai mekanisme transfer pemain, transparansi laporan keuangan, tata kelola pendanaan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, masalah finansial klub di Indonesia akan berbeda dengan masalah finansial klub di Eropa secara kasuistis. Namun, perlu juga mulai dipikirkan bagaimana agar tetap menjaga neraca keuangan klub di Indonesia agar tetap seimbang guna mendukung keberlanjutan ekosistem sepakbola yang lebih manusiawi, termasuk persoalan menggaji pemain.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now