Menu Close
Ilustrasi alat tes PCR, Rapid Test Kit, dan virus corona. Author provided

Terobosan baru tes COVID-19 selain PCR dan rapid test: deteksi virus via arus listrik

Beberapa peneliti di Korea Selatan sedang mengembangkan alat yang mampu mendiagnosis virus penyebab COVID-19 dengan lebih cepat dan murah dibandingkan tes cepat berbasis antibodi yang akurasinya sering bermasalah.

Peneliti Edmond Changkyun Park, Seung Il Kim dan tim dari Research Center for Bioconvergence Analysis, Korea Basic Science Institute, membuat alat yang mereka namakan COVID-19 FET yang bisa mendeteksi coronavirus menggunakan sensor arus listrik.

Riset Edmond dan koleganya baru tahap awal dengan sampel yang sangat terbatas. Alatnya pun belum diproduksi secara massal. Jadi ini baru riset tahap laboratorium skala kecil.

Namun, pengembangan lebih lanjut alat ini diharapkan bisa menghasilkan alat deteksi virus yang cepat dan akurat.

Deteksi cepat kurang akurat, deteksi akurat lambat

Salah satu strategi mengendalikan SARS-CoV-2 yang telah menginfeksi lebih dari 4,9 juta orang di seluruh dunia per 20 Mei adalah segera menemukan orang-orang yang positif terinfeksi dan mengkaratina mereka sampai sembuh.

Namun, tes cepat berbasis antibodi dalam tubuh pasien tidak selalu tepat mendeteksi virus. Sebuah riset di Italia menunjukkan tingkat akurasi hasil rapid test hanya di bawah 20% dari 50 total sampel pasien. Seperti di Indonesia, tetap dibutuhkan tes lanjutan menggunakan alat real-time reverse transcription-polymerase chain reaction (rRT-PCR) untuk mendiagnosis seseorang benar-benar terinfeksi SARS-CoV-2 atau tidak.

Meski tes PCR ini hasilnya lebih akurat, biayanya relatif mahal dan butuh berhari-hari untuk mengetahui hasilnya.

Dari tanda arus listrik: mudah dan cepat

Sebagai pendeteksian awal, rapid test yang mendeteksi reaksi antibodi terhadap paparan virus dengan sampel darah membutuhkan waktu 15 menit.

Sementara rRT-PCR yang mendeteksi langsung virus pada sampel dahak/lendir (swab) perlu waktu setidaknya 6 jam hingga 3 hari.

Adapun alat buatan Edmond dan koleganya, COVID-19 FET sensor, mampu membedakan sampel dari pasien terinfeksi COVID-19 dan orang sehat hanya dalam 1-3 menit.

Edmond dan kawan-kawan membuat COVID-19 FET sensor menggunakan Field-Effect Transistor (FET) alias transistor efek medan. Seperti prinsip transistor, FET mampu mengalirkan arus listrik yang diberikan.

Arus yang mengalir pada FET sensor dapat terhambat dan menimbulkan sinyal-sinyal yang tidak diinginkan (noise signal) sehingga dapat mempengaruhi akurasi hasil pengujian.

Diagram Skema Kerja COVID-19 FET Sensor. Jurnal ACS Nano

Agar arus listrik dapat mengalir dengan baik, para peneliti menggunakan graphen pada sensor tersebut. Grapen merupakan konduktor berbentuk lembaran yang tersusun dari karbon yang saling berikatan dan membentuk struktur seperti sarang lebah. Graphen terlebih dulu diikatkan dengan antibodi yang spesifik dengan protein spike (salah satu penyusun virus) dari virus SARS-CoV-2.

COVID-19 FET sensor mendeteksi virus SARS-CoV-2 melalui perubahan arus listrik yang terjadi ketika protein spike pada selimut virus berikatan dengan antibodi pada sensor. Mereka menggunakan sampel protein spike murni,dan hasil pengembangbiakan virus SARS-CoV-2.

Mereka kemudian menguji swab lendir 3 pasien yang menurut uji PCR positif terkena COVID-19 dan 2 yang menurut uji PCR negatif.

Hasilnya menunjukkan 3 pasien positif juga positif COVID dan 2 orang yang negatif juga tidak terinfeksi virus.

Cara pengujian FET sensor

Persiapan sampel untuk pengujian menggunakan COVID-19 FET sensor sangat sederhana.

Sampel dilarutkan ke dalam larutan fosfat alias phosphate-buffered saline (PBS) dengan pH 7.4. Kemudian, sampel diletakkan di atas sensor dan dialirkan arus listrik.

Ketika mereka memberikan sampel protein spike murni, atau hasil pengembangbiakan virus SARS-CoV-2 ke sensor, atau sampel swab lendir dari pasien COVID maka terjadi ikatan dengan antibodi pada sensor yang menyebabkan arus listrik yang mengalir lebih besar dibandingkan ketika tidak ada ikatan sama sekali.

Perubahan arus inilah yang dijadikan para peneliti sebagai indikator keberadaan virus SARS-CoV-2.

Grafik perubahan listrik yang terjadi pada sampel antara normal pasien dan COVID-19 pasien. Grafik ini telah ditambahkan keterangan dalam bahasa Indonesia ACS Nano

Jika diproduksi hanya sekitar Rp 300.000

Saya mengontak Edmond pada 7 Mei 2020 untuk bertanya ihwal hal yang belum ada dalam hasil riset yang telah dipublikasikan. Menurut dia, alat ini tidak bisa digunakan berulang kali, dan masih jauh untuk pengembangan berskala industri. Namun, alat ini dapat diproduksi massal dengan harga per satuan berkisar US$20 (sekitar Rp 308.140).

Konsep alat sensor ini juga dapat dikembangkan untuk mendeteksi virus yang sedang berkembang lainnya. Di tengah pandemi COVID-19 yang belum diketahui kapan berakhir, inovasi alat tes yang lebih canggih adalah sebuah keniscayaan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now