Menu Close
digitalisasi memiliki dampak negatif pada kehidupan sehari-hari
Dampak negatif digitalisasi dapat diatasi dengan cara-cara sederhana yang bisa mendorong perasaan berdaya di hadapan teknologi digital. (Pexels/Andrea Piacquadio)

Tertekan? Ketahui 3 dampak negatif digitalisasi pada kesehatan mental kamu

Pekan Kesehatan Mental (Mental Health Week) yang berlangsung dari 1-7 Mei lalu memberikan kesempatan untuk merefleksikan kesejahteraan kita bersama. Selain meningkatnya masalah kesehatan mental, tampaknya ada rasa tidak enak badan secara umum di antara individu-individu yang sehat di masyarakat. Hal ini termanifestasi dalam bentuk kelelahan kognitif dan fisik, kesabaran yang terbatas, ketidaktertarikan pada pekerjaan, dan kebencian terhadap pemicu stres dalam hidup kita.

Banyak dari pemicu stres ini mungkin berasal dari interaksi dengan teknologi: frustrasi kecil tapi sering ini dapat cepat menghilang, tapi ketika dijumlahkan menjadi pemicu teknologi yang bersifat mikro-agresif dari digital distress. Hal ini didefinisikan sebagai bentuk stres yang disebabkan oleh suatu pengalaman pengguna yang tidak berfungsi dengan teknologi.

Pemicu-pemicu teknologi bersifat menyebar, namun tampaknya tidak berbahaya karena kita telah belajar untuk mengabaikannya atau mengkotak-kotakkan efeknya. Tidak ada yang akan melakukan apa pun tentang mereka sampai kita mengakui bahaya mereka dan bahwa hal itu adalah masalah.

Berikut ini adalah tiga jenis pemicu teknologi utama dan efeknya yang perlu dipertimbangkan jika hal ini mempengaruhi kamu.

1. Pop-ups & prompts menyesatkan

Pop-up atau muncul tiba-tiba dirancang untuk mengganggu dan menarik perhatian kita melalui pemberitahuan, pengingat kalender, pembaruan perangkat lunak, iklan situs web, peringatan baterai hampir habis, dan banyak lagi. Gangguan yang sering terjadi membuat kita waspada seperti dongkrak, memicu pelepasan adrenalin, norepinefrin, dan kortisol. Zat kimia ini dirancang untuk membuat kita waspada dan siap melindungi diri kita sendiri saat kita berada di bawah ancaman; namun saat kita tidak berada dalam bahaya yang sebenarnya zat kimia ini hanya membuat kita merasa gelisah.

Prompts atau pengingat pada nama pengguna (username) dan kata sandi (password) kita bisa menjadi pemicu utama. Dengan banyaknya orang yang memiliki detail login untuk berbagai situs web, mungkin sulit untuk melacak semuanya. Dan sering kali, mencoba masuk ke salah satu akun kamu bisa terasa seperti sebuah rezim yang menindas, memilah-milah ingatan kamu untuk menemukan kata sandi yang campur aduk dan nama pengguna yang tak terlupakan.

Menyimpan hal-hal seperti itu di dalam kepala kita bertentangan dengan cara kerja memori kita dan mengulang-ulang upaya yang gagal dapat menciptakan kondisi psikologis yang sama seperti tersesat. Keadaan tersesat secara psikologis melibatkan perasaan terisolasi, tidak pasti, dan bingung.

Dengan terlalu banyak pop-up dan prompts, kita mungkin akan terus berada dalam mode fight or flight (lawan) atau lari). Tidak heran mereka membuat kita merasa tersesat dan gelisah.

dampak negatif digitalisasi
Banyak pemicu stres yang kita hadapi berasal dari interaksi kita dengan teknologi. (Shutterstock)

2. Kekacauan digital menciptakan perasaan gagal

Kekacauan digital menciptakan kesadaran yang perlahan-lahan muncul bahwa ada terlalu banyak hal yang harus kita kelola, dan kita gagal dalam hal itu. Antrean email yang tidak jelas, folder digital yang berantakan, dan ketidakmampuan kita untuk menyelesaikan tugas-tugas teknologi (seperti mencetak foto atau menghapus draf lama) dapat menciptakan kondisi psikologis kegagalan. Mengatur dan merapikan adalah cara kita untuk merasa memegang kendali, namun terkadang ada begitu banyak hal yang harus diatur. Hal ini bisa terasa mengalahkan.

Begitu juga dengan fitur gulir (scroll) tak terbatas pada aplikasi media sosial. Sesi panjang menggulir, menggesek, dan mengetuk membuat otak kita memeriksa dan mengirimkan sinyal neurokimiawi demotivasi dan kegagalan.

Hal ini mungkin merupakan kombinasi dari peningkatan kortisol dan penurunan dopamin, yang menciptakan pengalaman biofisik berupa perasaan stres dan bosan pada saat yang bersamaan.

Hal ini mungkin diperkuat oleh kegagalan yang sering dialami dengan pemicu teknologi lainnya, seperti pembaruan perangkat lunak yang mengganggu dan versi teknologi yang terus menerus lebih baru, yang cukup berbeda sehingga membuat kamu merasa tidak tahu apa yang kamu lakukan.

Keadaan peningkatan yang terus-menerus ini berlawanan dengan cara kita belajar. Manusia termotivasi oleh pertumbuhan: kita ingin belajar lebih banyak dan menjadi lebih baik dalam mengerjakan tugas, bukannya merasa tiba-tiba bodoh dan melambat. Dengan terlalu banyak hal yang harus dipilah dan lebih banyak lagi yang harus dilakukan, sistem kita sering kali dipicu untuk gagal. Tidak heran jika kita merasa kewalahan.

pengaruh digital clutter pada kesehatan mental
Kekacauan digital menciptakan kesadaran yang perlahan-lahan muncul bahwa terlalu banyak yang harus kita kelola, dan kita gagal dalam hal itu. (Shutterstock)

3. Ketidakamanan dunia maya menciptakan rasa takut

Pemicu teknologi yang ketiga disebabkan oleh kekhawatiran tentang keamanan siber dan seberapa aman informasi digital kita. Meskipun belanja online dan perbankan terlihat aman, mungkin ada kecurigaan yang menyelinap bahwa kartu kredit dan informasi keuangan kita tidak terlindungi seperti yang diberitahukan kepada kita. Kita mengelola rasa takut ini dengan beberapa klik, atau mungkin dengan pembelian yang mengembalikan rasa kontrol kita.

Teori manajemen teror menunjukkan bahwa masyarakat mendapatkan kenyamanan melalui penghindaran. Apakah mungkin orang mengklik “izinkan semua atau allow all” pada pemberitahuan cookie untuk membuat diri mereka merasa lebih baik? Jika ya, teori yang sama menjelaskan bagaimana hal ini juga dapat memicu kecemasan eksistensial dan depresi. Dengan begitu banyak hal yang dipertaruhkan, sistem kita sering kali terpicu untuk merasa tidak aman, dan tidak heran jika otak kita memperingatkan kita untuk tetap waspada.

Apa yang bisa kita lakukan?

Efek dari pemicu teknologi ini membuat kita sering merasa tersesat, bodoh, dan takut. Pertanyaannya adalah: apa yang bisa kita lakukan? Banyak dari interaksi ini tertanam dalam pekerjaan dan gaya hidup kita, namun tubuh dan pikiran kita mengatakan bahwa ini tidak benar.

Kesulitan digital mungkin merupakan cara tubuh kita untuk memperingatkan kita bahwa ada sesuatu yang harus diubah. Jika demikian, kesadaran adalah sebuah permulaan, dan dapat membantu kita mengelola situasi dengan lebih baik dan mengatur respons kita. Berikut adalah beberapa hal yang dapat kamu coba:

  1. Luangkan waktu untuk meninjau pengaturan kamu untuk pemblokir pop-up, cookie, akses data yang sah, dan pemberitahuan. Matikan (atau lebih baik lagi, atur waktu untuk mematikan perangkat kamu) dan lihat apakah kamu merasa lebih tenang.

  2. Jadwalkan waktu untuk memilah-milah kekacauan digital sebelum menjadi berlebihan (atau lebih baik lagi, pertimbangkan apa yang ingin kamu terima atau simpan sejak awal). Jika kamu tidak menanganinya sekarang, kamu harus menanganinya nanti dengan lebih banyak stres.

  3. Tetap waspada terhadap pemicu-pemicu teknologi di tempat kerja dan tantanglah mereka saat pertama kali muncul. Beberapa solusi yang disebut-sebut bermasalah, seperti harus masuk ke akun yang sama berulang kali sepanjang hari atau harus melalui terlalu banyak langkah autentikasi. Perusahaan mungkin akan mempertimbangkan kembali taktik tersebut jika kesehatan mental karyawan dipertaruhkan.

Kita juga bisa membuat perubahan kecil yang membuat kita tidak terlalu bergantung pada teknologi, seperti mengembalikan jam dinding agar kita bisa melihat waktu tanpa layar; mencatat jadwal di atas kertas agar tidak terpancing untuk membuka email melalui kalender digital; dan mengubah pengaturan di aplikasi dan perangkat agar kita bisa memiliki kontrol lebih besar atas pengalaman digital kita.

Langkah-langkah kecil yang proaktif dapat meningkatkan efikasi diri atau keyakinan mencapai suatu tujuan kita dengan cara yang akan mengurangi tekanan digital dan membuat kita merasa lebih berdaya atas kesehatan mental kita.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now