Menu Close
Lukas Coch/AAP

Wartawan tidak akan berhenti mengunggah tweet. Tapi apakah media perlu memberikan kontrol lebih ketat?

“Ini bukanlah minggu yang baik untuk jurnalisme di ABC”, ungkap cuitan (tweet) Sharri Markson dari News Corp pada akhir Mei lalu – padahal waktu itu baru hari Senin.

Cuitan Markson mencantumkan sebuah link ke suatu artikel dari media The Australian yang mengutip mantan Jaksa Agung Christian Porter yang sebelumnya terlibat dalam tuduhan kasus kekerasan seksual dalam reportase ABC - perusahaan media di Australia. Pasca mencabut tuduhan pencemaran nama baik yang dilayangkannya terhadap media tersebut, Porter menyebutnya sebagai “pengunduran yang memalukan oleh ABC”.

Selain melaporkan penyelesaian kasus itu, artikelnya juga menyampakan bahwa ABC telah memperingatkan stafnya untuk tidak mengklaim kemenangan setelah mundurnya Porter, dan mengimbau untuk berhati-hati dalam membicarakan hal tersebut.

Di masa yang sensitif seperti itu, orang mungkin mengira peringatan ABC kepada staf mereka hanyalah kewaspadaan. Tapi, secara tidak langsung kejadian di Australia ini juga mencerminkan persoalan tentang bagaimana organisasi media memandang unggahan jurnalis mereka di media sosial.

Di masa depan, isu seperti ini kemungkinan akan menjadi semakin marak seiring jurnalis menjadi lebih aktif di Twitter.


Read more: Wajah ganda media di Indonesia dalam memberitakan kejahatan


Hak untuk tweet?

Akhir pekan lalu, media Sydney Morning Herald menerbitkan sebuah cerita yang mengutip Anggota Senat Partai Liberal dan mantan jurnalis ABC Sarah Henderson yang mengatakan kebijakan medsos media nasional tersebut “sangat tidak memadai”.

Ada dilema nyata di sini. Wartawan sebagai profesional dan karyawan tunduk pada rambu-rambu tertentu. Apa yang mereka cuit dapat dan akan memengaruhi cara orang lain memandang pekerjaan mereka.

Sebaliknya, sebagai warga negara, mereka juga berhak atas kebebasan berekspresi.

Pada bulan April, editor ekonomi The Australian, Adam Creighton, mengirim cuitan yang mengkritik kebijakan COVID-19 di Australia yang menurutnya “membungkam kebebasan berpendapat” warga negara:

Apakah cri de coeur (ungkapan protes keras) seperti itu memengaruhi cara pembaca memandang penilaian dan kapasitas sang editor untuk membuat suatu reportase?

Ataukah ia memiliki hak untuk mengatakan apa yang dia rasakan?

Kapan seorang jurnalis ‘melewati batas’?

ABC adalah organisasi media di Australia yang telah dengan sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dilema ini. Mereka memiliki empat panduan yang bisa dikatakan cukup baik:

  • jangan mencampuradukkan urusan profesional dan pribadi dengan cara yang dapat merusak kredibilitas ABC

  • jangan membuat aktivitas media sosial menghambat efektivitas Anda saat bekerja

  • jangan menyiratkan dukungan ABC atas pandangan pribadi Anda

  • jangan mengungkap informasi yang masih rahasia yang diperoleh melalui pekerjaan.

Henderson merujuk pada dua pelanggaran pedoman ini.

Salah satu kasus tersebut adalah saat seorang pengacara ABC menyebut pemerintah koalisi Australia bertindak “fasis” dan Perdana Menteri Scott Morrison sebagai “manusia yang sangat buruk” di Twitter, sebelum akhirnya mengundurkan diri. Henderson mengatakan bahwa pengacara tersebut seharusnya tidak diizinkan mengundurkan diri, melaingkan langsung dipecat.

Contoh lain yang ia sebut melibatkan jurnalis ABC Laura Tingle yang ia sebut “mengolok-olok (trolling) perdana menteri” pada tahun lalu – sebuah penggunaan kata trolling yang tidak akurat. Tetapi, kini semakin banyak politisi (dan jurnalis) yang tampaknya menganggap setiap kritik terhadap diri mereka sendiri di media sosial sebagai trolling.

Tweet tunggal Tingle yang dianggap menyinggung mengatakan, “kami berduka atas kehilangan begitu banyak rekan kami yang baik akibat sikap ideologis pemerintah yang kurang ajar (ideological bastardry). Semoga Anda merasa puas, [Perdana Menteri] Scott Morrison”.

Cuitan itu ia unggah larut malam setelah acara perpisahan untuk teman dan koleganya Philippa McDonald, dan dihapus keesokan paginya.


Read more: Hati-hati saat meninggalkan jejak digital di belantara Internet


Susah rasanya menuntut jurnalis ABC untuk mengabaikan atau bersikap netral atas kebijakan pemerintah yang menghambat organisasi mereka dan juga berdampak buruk pada karir rekan-rekan mereka. Meski demikian, ABC sudah berinvestasi banyak dalam membangun kredibilitas publik Tingle, dan tweet itu segera ditangani secara internal.

Direktur Pelaksana ABC David Anderson menyampaikan sedikit catatan – yang menurut saya masuk akal – ketika ia ditanya saat sidang di Senat Australia terkait apakah organisasinya menegur Tingle. Dia menyebut tweet Tingle sebagai “keputusan yang kurang tepat”, namun mengatakan perlunya “proporsionalitas”.

Bahaya pembatasan yang berlebihan

Bahaya yang lebih besar adalah bahwa jurnalis akan terjebak dalam kontroversi publik seputar pekerjaan mereka sendiri. Pada satu sisi, mereka jelas memiliki hak untuk membela diri. Namun masalahnya adalah godaan untuk terjerumus pada perdebatan remeh yang kerap dilakukan para pengkritik, dan akhirnya keluar dari standar profesional yang harusnya mereka terapkan.

Meskipun kontroversi publik di Ausralia itu fokus pada pelanggaran di media sosial yang tidak dihukum dengan sesuai, ada juga bahaya dan potensi ketidakadilan dalam pembatasan yang berlebihan.

Salah satu contoh isu penghukuman jurnalis atas aktivitas media sosial di Australia adalah yang terjadi pada komentator sepak bola SBS Scott McIntyre, yang mengunggah serangkaian tweet pada Hari Pasukan Australia dan Selandia Baru (ANZAC Day) pada tahun 2015 tentang “pembudayaan invasi imperialis”.

ANZAC Day adalah hari nasional di Australia dan Selandia Baru untuk memperingati semua warga Australia dan Selandia Baru yang telah bertugas dan gugur dalam peperangan, konflik dan operasi perdamaian.


Read more: Definisi 'ujaran kebencian' di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan


Menteri Komunikasi pada saat itu, Malcolm Turnbull, menganggap tweet tersebut sebagai “pernyataan tercela yang pantas dikutuk”, dan menghubungi kepala SBS, Michael Ebeid. Ebeid memecat McIntyre pada hari yang sama.

Komisaris Hak Asasi Manusia, Tim Wilson kemudian dikabarkan mengatakan bahwa kebebasan berbicara McIntyre tidak dibatasi, dan bahwa klaim historisnya “akan dihakimi dengan sangat keras”.

Terlepas dari kredibilitas cuitannya, cuitan tersebut tidak memiliki hubungan dengan status McIntyre sebagai komentator sepak bola. Apakah keahlian dia di sepak bola menjadi kurang kredibel akibat pandangannya terkait tradisi ANZAC?

Kasus ini menggambarkan bahwa “kebenaran politik (political correctness)” dan “cancel culture” ada di seluruh spektrum politik — dan organisasi media akan terus bergulat dengan masalah ini seiring profil media sosial jurnalis terus berkembang.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now