Menu Close

1 triliun dolar yang tersembunyi: semakin melambungnya aliran keuntungan perusahaan multinasional ke surga pajak

Bahama merupakan salah satu surga pajak
Berada di Bahama rasanya seperti di surga, apalagi bagi perusahaan multinasional yang menghindari membayar pajak. Trent Erwin/Unsplash, CC BY

Sekitar satu dekade yang lalu, negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia sepakat untuk menindak penyalahgunaan tax havens atau surga pajak (wilayah pemberi suaka pajak) oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Kesepakatan ini menghasilkan 15 poin rencana aksi untuk membendung praktik yang melindungi sebagian besar keuntungan perusahaan dari otoritas pajak.

Namun, berdasarkan estimasi kami, rencana aksi tersebut tak membuahkan hasil. Alih-alih mengekang penggunaan tax havens - seperti Bahama dan Kepulauan Cayman yang tarif pajaknya sangat rendah atau bahkan tidak ada - permasalahan malah semakin pelik.

Perhitungan kami menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di dunia mengalihkan hampir US$ 1 triliun (Rp 15.436 triliun) keuntungan mereka ke surga pajak pada 2019. Angka ini naik dari $616 miliar pada 2015, setahun sebelum rencana aksi surga pajak global diterapkan oleh kumpulan negara yang tergabung dalam G20.

Dalam penelitian terbaru, kami menghitung laba berlebih yang dilaporkan di tax havens, tapi tak dapat dijelaskan oleh aktivitas ekonomi biasa seperti ketenagakerjaan dan pabrik-pabrik di negara tersebut. Temuan kami – detailnya dapat diakses di database publik kami, lengkap dengan data dan peta interaktif – menunjukkan adanya pola pergeseran artifisial catatan laba yang mencolok oleh korporasi ke surga pajak. Praktik ini berlangsung sejak dekade 1980-an.

Penindakan global

Pada Juni 2012, dunia memulai upaya mengekang praktik penghindaran pembayaran pajak oleh korporasi melalui pemanfaatan tax havens. Ketika itu, dalam pertemuan G20 di Los Cabos, Meksiko, para pemimpin dunia bersepakat untuk mengambil tindakan.

Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), kelompok 37 negara yang perekonomiannya berorientasi pasar, mengembangkan 15 langkah konkret yang dipercaya dapat mengurangi praktik penghindaran pajak korporasi secara signifikan. Ini termasuk membuat seperangkat aturan pajak internasional dan menindak praktik pajak yang berbahaya.

Pada 2015, G20 secara resmi mengadopsi rencana aksi tersebut dan penerapannya pun dimulai di penjuru dunia setahun setelahnya.

Selain itu, setelah bocornya Panama Papers dan Paradise Papers – yang menyoroti praktik penghindaran pajak oleh perusahaan – amarah publik menyebabkan pemerintah di Amerika Serikat (AS) dan Eropa untuk memulai upaya mereka sendiri dengan menurunkan insentif bagi mereka yang mengalihkan labanya ke surga pajak.

Melonjaknya pengalihan keuntungan

Penelitian kami menunjukkan bahwa upaya-upaya ini hanya berdampak kecil.

Kami menemukan bahwa pada 2019, bisnis-bisnis multinasional terbesar di dunia mengalihkan 37% keuntungan – atau $969 miliar – yang mereka peroleh di luar negara asal mereka ke surga pajak. Persentase ini naik dari sekitar 20% pada 2012, ketika para pemimpin G20 bertemu di Los Cabos dan bersepakat untuk mengambil tindakan.

Pada 1970-an, pengalihan keuntungan tersebut hanya bertengger di kisaran 2%. Alasan utama dibalik lonjakan besar tersebut adalah pertumbuhan industri penghindaran pajak pada tahun 1980-an dan kebijakan AS untuk mempermudah pengalihan keuntungan dari negara dengan pajak tinggi ke surga pajak.

Kami juga memperkirakan bahwa sebagai akibatnya, negara-negara kehilangan pemasukan pajak yang nilainya setara 10% dari total pendapatan perusahaan pada 2019. Pada 1970-an, angka ini kurang dari 0,1%.

Pada 2019, total kerugian pajak pemerintah secara global mencapai $250 miliar. Perusahaan-perusahaan multinasional asal AS menyumbang sekitar setengahnya, diikuti oleh Inggris dan Jerman.

Pajak minimum global

Bagaimana para pembuat kebijakan bisa memperbaiki hal ini?

Sejauh ini, negara-negara di dunia mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan memotong atau menghapus pajak perusahaan, meskipun dengan cara yang sangat bertahap. Dalam 40 tahun terakhir, tarif pajak perusahaan global turun dari 23% menjadi 17%.

Pada saat yang sama, pemerintah negara-negara cenderung mengandalkan pajak konsumsi yang bersifat regresif (tetap tanpa memperhatikan nominal aset yang dikenai pajak) dan cenderung meningkatkan ketimpangan pendapatan.

Namun, akar dari pengalihan keuntungan adalah insentif yang diberikan oleh negara surga pajak, seperti tarif pajak perusahaan yang rendah atau pengenaannya yang lunak. Menurut perkiraan kami, jika negara-negara dapat menyepakati tarif minimum global untuk pajak perusahaan dari, katakanlah 20%, masalah pengalihan keuntungan akan sebagian besar hilang dan suaka pajak pun akan lenyap.

Mekanisme ini persis yang ditandatangani lebih dari 130 negara pada 2021, dengan penerapan pajak minimum 15% yang akan dimulai pada 2024 di Uni Eropa, Inggris, Jepang, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Meskipun Pemerintahan Joe Biden di AS telah membantu mempelopori upaya global untuk menerapkan pajak, AS sendiri belum mampu meloloskan undang-undangnya lewat kongres.

Riset kami menyarankan perlunya menerapkan jenis reformasi pajak demi mengembalikan keuntungan perusahaan yang semakin besar mengalir ke surga pajak – alih-alih dikenai pajak oleh pemerintah tempat mereka beroperasi dan mendulang uang.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now