Menu Close

2 tahun invasi Rusia ke Ukraina: adakah peluang perdamaian tahun ini?

Dua tahun sejak Rusia memulai invasi skala penuh di wilayah Ukraina, situasi perang belum banyak berubah. Media Politico dan Foreign Affairs melaporkan bahwa dalam 11 bulan terakhir, baik Rusia maupun Ukraina telah gagal merebut, atau merebut kembali, wilayah masing-masing.

Tercatat, hanya 500 mil persegi wilayah yang saling berubah penguasa, dengan Rusia berhasil menambah sekitar 200 mil persegi atau tidak sampai 1% dari total wilayah Ukraina.

Kondisi ini, walaupun terlihat berimbang, justru merugikan Ukraina. Minggu lalu, Rusia berhasil menguasai Avdiivka, kota kecil yang berbulan-bulan diperebutkan oleh kedua pasukan.

Mundurnya pasukan Ukraina dari Avdiivka, secara simbolik membuat negara-negara Barat yang mendukung Ukraina semakin kehilangan semangat untuk membela Ukraina, dan mendorong kembali narasi bahwa Ukraina harus segera kembali ke meja perundingan.

Barat mulai lelah mendukung Ukraina?

Dalam pidatonya di Munich Security Conference, bertepatan dengan mundurnya pasukan Ukraina dari Avdiivka, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebutkan “jangan tanyakan pada Ukraina kenapa perang masih berlanjut, tapi tanyakan pada dirimu sendiri mengapa Putin masih dibiarkan melanjutkan perang”.

Pernyataan tersebut ditujukan pada banyak negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS), yang mulai mengendorkan bantuannya pada Ukraina.

Di saat negara-negara Eropa memberikan bantuan sebesar 50 miliar Euro serta memperkuat solidaritas dengan Ukraina, bantuan pemerintah AS justru tertunda akibat adanya perselisihan internal antara kubu partai Republik dengan Demokrat.

Kondisi tersebut mendorong mantan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, untuk mengatakan bahwa saat ini Rusia memegang momentum peperangan. Apalagi, calon kuat presiden dari Partai Republik, yakni mantan presiden Donald Trump, menolak pemberian bantuan lanjutan bagi Ukraina. Ia malah mengklaim bisa langsung menghentikan perang dalam waktu 24 jam, tanpa menjelaskan lebih detail bagaimana caranya. Pernyataan Trump tersebut langsung mendapat kritik dari Presiden Zelenskyy, yang khawatir bahwa kebijakan Trump justru akan merugikan warga Ukraina.

Sejumlah demonstran melakukan protes di depan Parlemen Eropa di Brussels, Belgia, menentang invasi Rusia ke Ukraina. Alexandros Michailidis/Shutterstock

Di saat yang sama, negara-negara seperti Iran dan Korea Utara justru semakin gencar mendukung Rusia. Iran bahkan mengirimkan ratusan rudal balistik ke Rusia.

Sementara itu, Dinas Keamanan Ukraina dan intelijen AS menuduh Rusia menggunakan rudal dari Korea Utara, yang menjadi sinyal semakin dekatnya hubungan Rusia-Korea Utara sesudah pertemuan Putin dan Kim Jong-Un di Vostochny, Rusia, September lalu.

Kondisi politik domestik Rusia dan Ukraina

Perang yang terus berlangsung ini terjadi di tengah dinamika politik internal. Di Rusia, ada dua dinamika politik yang perlu menjadi catatan.

Pertama, adanya upaya kudeta oleh Yevgeny Prigozhin dan kelompok Wagner pada Juni 2023. Upaya yang gagal dari Prigozhin tersebut, dan berujung pada meninggalnya Prigozhin dalam kecelakaan pesawat menguatkan posisi domestik Putin, karena publik serta tokoh oposisi akan semakin takut untuk melawan dominasi Putin.

Menguatnya posisi Putin ini merupakan titik balik dari demonstrasi besar pada 2021 yang mendukung lawan politik Putin saat itu, tokoh oposisi Aleksei Navalny. Meninggalnya Navalny tanggal 16 Februari lalu semakin menunjukkan bahwa Putin telah semakin kuat mencengkeram politik di Rusia, apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Rusia pada 15-17 Maret mendatang.

Penguatan cengkeraman otoritarianisme Putin di Rusia berjalan bersamaan dengan dinamika politik di Ukraina. Awal Februari lalu, Zelenskyy mengganti komandan militer Ukraina, Valery Zaluzhny, dengan Jenderal Oleksandr Syrskyi. Bagi Zelenskyy, setelah kegagalan upaya serangan balik sepanjang tahun 2023, Ukraina membutuhkan penyegaran personil dan strategi.

Pusat perbelanjaan di Kyiv, Ukraina, yang rusak akibat serangan Rusia pada 21 Maret 2022. Drop of Light/Shutterstock

Sayangnya, Zaluzhny adalah komandan perang yang sangat populer di antara personil militer, sehingga penggantiannya bisa menimbulkan banyak pertanyaan dari internal Ukraina serta membuat sekutu Ukraina di Barat mempertanyakan strategi Zelenskyy ke depan.

Peluang perdamaian tahun 2024

Tahun lalu, saya menulis bagaimana Rusia tidak akan berhenti menyerang dan Ukraina tidak akan berhenti bertahan dalam perang ini.


Read more: Satu tahun invasi: Rusia tidak akan berhenti menyerang - Ukraina tidak akan berhenti bertahan


Saat ini, argumen tersebut tampaknya masih relevan. Di satu sisi, militer Rusia akan mengalami lonjakan moral akibat keberhasilan mereka mengambil Avdiivka. Selain itu, struktur ekonomi Rusia saat ini sangat didorong oleh invasi mereka di Ukraina. Rusia tidak bisa menang perang, namun juga tidak bisa membiarkan diri mereka kalah.

Satu-satunya yang memungkinkan perubahan adalah posisi politik Putin yang sudah aman. Meninggalnya lawan politik seperti Navalny, menyebabkan tidak ada lagi ancaman internal bagi Putin. Kondisi ini bisa menjadi pintu masuk bagi tawaran proses damai, termasuk berhentinya invasi, karena bisa jadi walaupun Rusia mundur, tidak ada penolakan dari masyarakat Rusia yang sudah sepenuhnya dikontrol oleh Putin.

Permasalahannya, Rusia tidak ingin wilayah Ukraina yang sudah mereka kuasai dikembalikan ke pemerintah Ukraina.

Dari sisi Ukraina, masyarakatnya jelas masih percaya bahwa Ukraina akan memenangkan pertempuran dengan Rusia. Berdasarkan survei terbaru Razumkov Centre, 85% masyarakat Ukraina percaya mereka akan menang. Namun, yang menarik, definisi kemenangan ini ternyata bervariasi dari kekalahan total pasukan Rusia, sampai pengembalian wilayah Ukraina seperti dua tahun lalu atau 10 tahun lalu sebelum aneksasi Krimea. Hanya 4% yang bisa menerima pencaplokan beberapa wilayah yang sudah diduduki oleh Rusia.

Sebagaimana saya sampaikan tahun lalu, Zelenskyy masih tidak memiliki pilihan, di tengah kemungkinan berkurangnya dukungan dari AS (apalagi bila Donald Trump terpilih lagi pada Pilpres AS 2024). Perdamaian, bagi Ukraina, hanya bisa berjalan bila Rusia berhenti menyerang dan mengembalikan wilayah yang mereka duduki.

Perlunya keberanian bersuara dari negara ketiga

Di tengah situasi mutually-hurting stalemate (situasi berimbang yang saling merugikan satu sama lain, karena tidak ada yang bisa maju maupun mundur) beberapa waktu lalu, sebetulnya ada peluang pihak ketiga untuk mulai menyuarakan perlunya diskusi awal potensi perdamaian. Namun, kemenangan Rusia di Avdiivka mengurangi potensi ini, karena pasukan Rusia akan semakin bersemangat. Tanpa dukungan maksimal dari negara-negara Barat, Ukraina akan semakin kesulitan mengimbangi serangan Rusia.

Telepon genggam dengan layar menampilkan panggilan langsung dari kontak telepon bernama Vladimir Putin, dengan Presiden AS Joe Biden terlihat di latar belakang. g0d4ather/Shutterstock

Jika masyarakat global membiarkan perang ini terus terjadi dan membiarkan Rusia menang serta mengambil alih wilayah yang mereka kuasai, hal ini akan berpotensi menciptakan preseden bagi negara lain: negara kuat (secara militer) bisa mencaplok wilayah tetangganya, dan bahkan dilegitimasi oleh banyak pihak.

Walaupun peluangnya kecil, Indonesia sebetulnya bisa mengambil peran. Apalagi, Duta Besar Ukraina untuk Indonesia telah mengapresiasi adanya proposal perdamaian dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto Juni lalu. Walaupun ada banyak masalah dari proposal tersebut, minimal usulan proposal menunjukkan adanya niat berkontribusi positif.

Pemerintahan baru, yang kemungkinan besar akan dipimpin oleh Prabowo mulai Oktober ini, perlu menekankan bahwa kedaulatan negara (termasuk Ukraina), tidak boleh diganggu gugat.

Seperti di era Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo bersama menteri luar negerinya nanti perlu meniru langkah Menlu Marty Natalegawa yang menolak mengakui Krimea sebagai wilayah Rusia saat Rusia mencaplok wilayah tersebut Maret 2014. Keberanian ini, kalau bisa dilakukan, akan menjadi titik baru yang membedakan kebijakan luar negeri Indonesia ke depan dengan era Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now