Menu Close
Gen Z memiliki karakteristik khas yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Odua Images/shutterstock.

3 karakteristik Gen Z ketika belajar yang dosen perlu tahu

Kita sering berdiskusi tentang bagaimana sistem pendidikan abad ke-21 harusnya bekerja, tetapi jarang membahas kualitas dan keahlian dosen yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan mengajar Gen Z, yaitu mereka yang lahir di antara tahun 1997 dan 2012 .

Sebagai mahasiswa, Gen Z memiliki karakteristik yang tak jarang menantang cara-cara lama dosen dalam mengajar. Terutama terkait dengan teknik atau keahlian yang perlu dimiliki dosen agar ilmu yang disampaikan terserap secara optimal.

Apa saja karakteristik tersebut?

1. Pembelajar sosial dan aktif

Generasi Z cenderung merasa nyaman dalam lingkungan pembelajaran yang fokus pada interaksi sosial. Mereka lebih menyukai situasi pembelajaran yang melibatkan kolaborasi dan komunikasi dengan temannya. Dengan kata lain, Gen Z cocok dengan model project based learning, yaitu pendekatan pembelajaran yang fokus pada penggunaan proyek atau praktik sebagai cara utama untuk mengajar dan memahami materi pelajaran.

Dalam metode ini, mahasiswa diberi tugas untuk menyelesaikan proyek nyata yang memerlukan pemecahan masalah, eksplorasi dan kreativitas secara berkelompok. Proyek tersebut seringkali mencerminkan situasi dunia nyata dan memerlukan aplikasi praktis dari pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari dalam kelas.

Memang, menurut Marcela Hernández de Menéndez, peneliti dari Monterrey Institute of Technology and Higher Education, Meksiko, Gen Z adalah generasi yang cenderung lebih santai dan fleksibel dalam lingkungan pembelajaran. Namun, mereka sebenarnya sangat mengharapkan adanya validasi dari dosen yang mengajar bahwa apa yang mereka pelajari sungguh akan bermanfaat pada karir mereka di masa depan.

Oleh karena itu, dosen perlu memiliki kepekaan dan keahlian untuk membuat materi kuliah menjadi lebih bermakna di mata Gen Z. Misalkan saja, dengan menggunakan istilah yang dekat dengan mereka atau menggunakan contoh konkret yang sungguh mereka alami.

Ketika menjelaskan konsep etika terkait pentingnya menjaga privasi, misalnya, seorang dosen dapat memulainya dengan mengambil contoh kasus SSSniperWolf, nama lain dari pembuat konten game dan reaksi di YouTube, Alia Shelesh, yang melakukan doxing atau perbuatan membuka data diri seseorang dan membagikannya di ruang publik tanpa persetujuan terhadap Youtuber JacksFilms.

Ciri lain dari Gen Z adalah mereka merupakan pembelajar yang senang menggunakan dan mengeksplorasi berbagai sumber daya. Hal itu mengacu pada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa mahasiswa Gen Z cenderung menolak menjadi pelajar pasif. Mereka tidak puas dengan hanya hadir di kelas, mendengarkan kuliah, dan mencatatnya untuk dihafal saat ujian.

Sebaliknya, mereka ingin benar-benar terlibat dalam pembelajaran dan merasa menjadi bagian dari proses tersebut dengan perangkat pembelajaran yang variatif dan berbasis teknologi.

2. Melek teknologi

Gen Z juga menyukai lingkungan belajar yang kolaboratif dan tidak terbatas pada interaksi tatap muka. Mereka merasa nyaman belajar bersama mahasiswa lain, bahkan jika bukan rekan sekelas, dengan menggunakan aplikasi digital seperti Zoom dan forum online.

Oleh karena itu, dosen perlu memanfaatkan presentasi visual, baik yang bersifat statis seperti gambar dan grafik, maupun yang dinamis seperti film dan video. Hal ini lebih efektif daripada ceramah panjang, karena mahasiswa Gen Z cenderung memiliki fokus yang singkat.

Gen Z adalah generasi digital dan visual. Ground Picture/shutterstock.

Selain itu, menurut riset yang dilakukan oleh Karianne Gomez, peneliti dari Deloitte, Amerika Serikat, sebagai generasi digital, Gen Z mengharapkan alat-alat pembelajaran digital ini terintegrasi dengan baik dalam pendidikan mereka.

Bagi mereka, teknologi selalu menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari, dan mereka merasa pendidikan tidak boleh berbeda. Mereka meyakini bahwa pengalaman akademik harus dapat terhubung dengan pengalaman pribadi melalui alat-alat teknologi yang sama.

Mereka juga berharap, alat-alat pembelajaran ini tersedia kapan saja dengan akses yang mudah. Mereka merasa bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas, tapi bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja.

Sehingga, dosen perlu memberi panduan bagaimana menggunakan teknologi secara efektif dalam pembelajaran, sambil membantu mahasiswa mengidentifikasi informasi mana yang dapat dipercaya dan membedakannya dari hoaks.

Selain itu, dosen juga perlu memahami bahwa kedekatan mahasiswa Gen Z dengan teknologi membuat mereka memiliki banyak distraksi, sehingga dosen harus fokus pada informasi yang terbaru dan relevan saja. Pembelajaran sebaiknya dilakukan secara singkat dan dilanjutkan dengan berbagai aktivitas kreatif yang memunculkan minat Gen Z.

3. Mandiri dan berorientasi karir

Bekerja sembari kuliah adalah praktik umum bagi Gen Z. Chalermphon_tiam/shutterstock.

Akses tak terbatas pada informasi baru telah menciptakan generasi yang lebih mandiri dan fokus pada karier. Bahkan, sebagian besar dari Gen Z sudah memiliki bisnis mereka sendiri. Salah satunya adalah Isabella Rose Taylor, seorang desainer muda yang pada usia 13 tahun telah meluncurkan merek pakaian sendiri dan memamerkannya di New York Fashion Week .

Perubahan paradigma dari yang tadinya linier: sekolah, lulus, kerja, baru meniti karir, kini telah berevolusi menjadi sangat acak – tidak bisa ditebak arah dan prosesnya. Hal ini disebabkan, salah satunya, karena akses mereka yang lebih luas terhadap informasi daripada generasi sebelumnya.

Maka ketika seorang GenZ masuk ke jenjang perguruan tinggi, mereka sudah terbiasa bahkan menuntut dirinya untuk selalu relavan dengan hal-hal yang sedang tren.

Mereka juga memiliki pemahaman yang baik tentang dunia di sekitar mereka dan mulai merenungkan peran mereka di dalamnya, tentu saja dengan tujuan agar apa yang mereka usahakan tidak berakhir sia-sia dan bermanfaat bagi hidup mereka di kemudian hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Carmen Sonia Duse, profesor dari “Lucian Blaga” University of Sibiu, Rumania, pada tahun 2016, menegaskan bahwa dosen perlu mempertimbangkan karakteristik ini agar pembelajaran dapat berjalan optimal.

Jika tidak, Hendi Pratama, pegiat media sosial sekaligus dosen dari Universitas Negeri Semarang, mengatakan bahwa tanpa kemampuan yang relevan, dosen yang mengajar mahasiswa Gen Z dapat memperoleh respon negatif dari mahasiswa, seperti diabaikan atau bahkan dianggap tidak kompeten.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now