Menu Close
Unjuk rasa BEM Seluruh Indonesia terkait putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia capres-cawapres. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

4 alasan mengapa Pilpres 2024 bisa jadi ancaman bagi demokrasi Indonesia

Pada 2010, Profesor Edward Aspinall dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Australia National University, menerbitkan sebuah artikel berjudul “The Irony of Success.”.

Dalam penelitiannya, Aspinall meramalkan bahwa setelah rezim Suharto jatuh tahun 1998, Indonesia akan kesulitan dalam mewujudkan demokrasi, karena dua alasan utama: (1) penempatan purnawirawan dan pejabat aktif TNI dan Polri dalam struktur eksekutif, dan (2) penempatan menteri-menteri dari partai pemenang suara terbanyak di DPR RI. Ini adalah dua prinsip yang masih terbawa dari pemerintahan Orde Baru.

Ternyata, pada era demokrasi sekarang ini, pola pemerintahan ala Orde Baru justru semakin berkembang. Wujudnya adalah dalam bentuk praktik dinasti politik, jaringan patronase, orang-orang kuat daerah (local strongmen), dan privilese.

Praktik tersebut makin terlihat dewasa ini, terutama dalam perhelatan Pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Rakyat Indonesia kini disajikan tiga pasangan calon (paslon): 1) Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar; 2) Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud Mahmodin; dan 3) Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Gibran Rakabuming Raka.

Proses penentuan paslon tersebut dipenuhi dengan intrik politik yang luar biasa. Bukan hanya elite partai yang bermanuver, tapi juga pejabat eksekutif dan yudikatif terlibat, bahkan sampai mengubah peraturan perundang-undangan. Pengabulan gugatan terkait batas minimal usia calon presiden/wakil presiden dan penolakan gugatan batas usia maksimal calon presiden 70 tahun hanyalah beberapa contohnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memberikan keterangan pers terkait dugaan pelanggaran etik dalam putusan batasan usia capres dan cawapres di Jakarta, Senin 23 Oktober 2023. Indrianto Eko Suwarso/Antara Foto

Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan dan akan mengancam kualitas demokrasi. Setidaknya ada empat alasan mengapa Pemilu 2024 nanti akan menjadi ujian, jika tidak ancaman, bagi demokrasi Indonesia.

1. Dinasti politik dan penyalahgunaan kekuasaan

Menurut Aspinall, fenomena dinasti politik dimulai dengan munculnya “keluarga politik”, yakni ketika lebih dari satu anggota keluarga terpilih dalam jabatan politik. Suatu politik keluarga hanya dapat dianggap sebagai dinasti politik jika ia berhasil memperluas pengaruhnya di berbagai level pemerintahan, dan jika setelah masa jabatannya berakhir, ada anggota keluarga yang menggantikannya.

Di Indonesia, fenomena dinasti politik menjadi semakin marak, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Untuk pejabat daerah misalnya, terdapat dinasti politik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Sedangkan di tingkat nasional, ada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dan saat ini sedang ramai diperbincangkan adalah dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Maraknya fenomena dinasti politik ini, menurut Profesor Politik Komparatif dari Universitas London (SOAS) di Inggris, Michael Buehler, mencerminkan adanya masalah dalam sistem politik Indonesia. Lebih lanjut, dinasti politik yang begitu luas adalah refleksi dari rusaknya integritas demokrasi, dominasi jaringan klientelistik dan jaringan informal atas partai politik, serta kegagalan dalam reformasi akibat kuatnya perilaku koruptif dan predatoris.

Bacapres Prabowo Subianto (kanan) dan bacawapres Gibran Rakabuming Raka (kiri) menyapa relawan saat menuju Gedung KPU untuk pendaftaran capres dan cawapres di Jakarta, Rabu 25 Oktober 2023. Galih Pradipta/Antara Foto

Dinasti politik telah menjadi masalah yang sulit dihilangkan di Indonesia. Prabowo sendiri mengakui bahwa hampir semua partai politik di Indonesia memiliki jejak dinasti politik, tetapi sayangnya, situasi ini tidak dianggap sebagai masalah serius. Padahal, dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi (berlandaskan pada prestasi dan kompetensi) dan persaingan yang adil dalam politik, serta kualitas kaderisasi partai politik.

Saat ini tampaknya pemerintah, dan jaringan dinasti politiknya, telah menguasai arena penting, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Hanya satu arena yang belum dikuasai sepenuhnya, yaitu media.

2. Konflik kepentingan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas minimal usia capres-cawapres adalah bukti nyata adanya konflik kepentingan di tubuh lembaga peradilan.

Sebelum pemilihan presiden saja Ketua MK Anwar Usman mampu memengaruhi putusan hakim agar Gibran, anak sulung Jokowi yang notabene adalah keponakannya sendiri, lolos untuk memenuhi syarat maju dalam kontestasi Pilpres. Bayangkan jika hasil Pemilu 2024 nanti tidak menguntungkan bagi pasangan Prabowo-Gibran, sangat mungkin MK juga bisa memengaruhi putusan sengketa hasil Pilpres yang kemungkinan akan diajukan paslon tersebut.

Namun, sebelum kontroversi kepentingan politik keluarga Jokowi ini, Indonesia juga sudah dikenal dengan banyaknya pejabat yang terlibat dalam konflik kepentingan dalam kontestasi politik.

Suatu studi mengungkapkan adanya konflik kepentingan antara mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mantan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak (AFI). Pada Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 2008, Presiden SBY disebut menggunakan kekuasaannya untuk memastikan kemenangan AFI.

Berdasarkan penelitian itu, kala itu SBY diduga menggunakan kewenangannya untuk “merekomendasikan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dan menahan Syaukani–lawan terkuat AFI–atas dugaan peningkatan biaya studi kelayakan pembangunan bandara Kutai Kartanegara dan pengadaan lahan untuk fasilitas baru yang diusulkan pemerintah daerah.

Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka (kiri), yang juga bacawapres Pemilu 2024, bertemu dengan putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (kanan) yang sekarang adalah Ketua Umum Partai Demokrat. Muhammad Adimaja/Antara Foto

Dengan penangkapan Syaukani oleh KPK, AFI berhasil melenggang menjadi Gubernur Kalimantan Timur, meskipun dengan kontestasi politik yang sangat sengit.

Dari kasus ini, kita dapat belajar bahwa pemimpin negara bisa menggunakan segala kekuasaan yang dimilikinya untuk menjaga kepentingan mereka. Ini pastinya akan sangat menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia untuk bisa menuju ke arah yang lebih baik.

3. Mengandalkan usia, mengabaikan kaderisasi

Maju dalam perhelatan Pilpres di usia 36 tahun, Gibran tercatat sebagai cawapres termuda dalam sejarah pemilu Indonesia. Namun, fenomena “mengutamakan yang muda” tidak hanya terjadi pada Gibran.

Putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), kini menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, hanya selang empat tahun setelah ia terjun ke politik–waktu yang terlalu singkat untuk kaderisasi.

Sama halnya dengan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Ia didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam hitungan hari sejak mulai masuk ke dunia politik.

Saya pribadi berpendapat bahwa tidak ada salahnya Indonesia dipimpin oleh kaum muda, mengingat struktur demografi di Indonesia didominasi oleh kelompok muda. Namun, perlu dicatat bahwa status “anak muda” saja tidak cukup untuk bisa kompeten memimpin negara. Yang paling diperlukan adalah kemampuan, pengalaman dan kebijaksanaan.

Usia bukanlah jaminan bahwa seseorang layak untuk memimpin. Terlebih jika kandidat terpilih melalui jalur yang merusak demokrasi, seperti privilese dan dinasti.

Menjadi presiden atau wakil presiden bukanlah ajang untuk belajar atau coba-coba. Jika jabatan kepala atau wakil kepala negara digunakan sebagai tempat belajar menjadi pemimpin, itu tujuan yang salah.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) bersama Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia Kaesang Pangarep (kiri) berbincang di Rumah Kartanegara, Jakarta, 12 Oktober 2023. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

Jika ada yang mengatakan bahwa perubahan hanya bisa dimulai oleh kaum muda, meskipun yang punya privilese, ini sama saja menganggap Indonesia tidak memiliki anak muda jalur berprestasi. Padahal jika kita lihat catatan sejarah, SBY dan Jokowi adalah contoh politikus dan pemimpin yang memulai karier dari bawah, bukan dari jaringan dinasti.

Padahal juga, Indonesia sudah memiliki sistem partai politik, yang punya skema kaderisasi untuk mencetak kaum muda berprestasi untuk siap menjadi pemimpin. Cara ini yang sesuai dalam sistem demokrasi. “Menyelipkan” anggota keluarga, tanpa proses kaderisasi partai terlebih dahulu, justru akan merusak kualitas demokrasi.

4. Meritokrasi jadi barang langka

Meritokrasi (atau cara memperoleh kekuasaan berdasarkan prestasi, kecerdasan dan usaha) seharusnya menjadi salah satu cara utama untuk mencetak pemimpin masa depan. Melalui meritokrasi, pemimpin dapat membangun struktur pemerintahan yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi individu, bukan hanya berdasarkan faktor politik atau nepotisme.

Pada era ketidakpastian global saat ini, penting memilih pemimpin dari jalur meritokrasi agar ia benar-benar memahami pengetahuan akan tantangan kompleks seperti perubahan iklim, ekonomi global, dan krisis kesehatan. Jika ia paham, ia akan dapat membuat keputusan yang bijak, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan individu, kelompok, atau golongan tertentu.

Sejumlah kader Partai Gerindra nonton bareng pendaftaran Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ke KPU melalui layar lebar di Temanggung, Jawa Tengah, Rabu 25 Oktober 2023. Anis Efizudin/Antara Foto

Kita semua pasti setuju, bahwa Indonesia tidak kekurangan figur publik hebat yang lahir dari meritokrasi, seperti Dahlan Iskan, Rachmat Gobel, dan Chairul Tanjung. Namun, partai politik agaknya akan sulit menyadari ini kembali selama masih fokus pada tokoh yang diperlukan hanya untuk menggerek elektabilitas partai.

Pemilih harus lebih kritis

Kaesang dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PSI pernah mengharapkan bahwa Pilpres 2024 perlu berjalan dengan santun dan “santuy” (santai).

Perlu dicatat bahwa pemilu bukanlah ajang bersantai-santai. Memilih pemimpin masa depan bukanlah perkara sepele. Jika pemilih membuat kesalahan dalam memilih calon pemimpin, ada kemungkinan besar mimpi Indonesia emas akan sulit terwujud dan generasi muda dapat saja menjadi kelompok yang paling terdampak karena pemimpin mereka terpilih dari jalur yang tidak semestinya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now