Menu Close

4 hambatan capaian akademik mahasiswa Indonesia Timur saat kuliah di kota besar di Jawa dan Sumatra

(ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Beberapa tahun terakhir, jumlah mahasiswa Indonesia Timur yang kuliah di beberapa kota besar di Jawa dan Sumatra meningkat dan membuat demografi populasi di kampus-kampus tersebut semakin beragam.

Namun, banyak penelitian menemukan bahwa mahasiswa Indonesia Timur mengalami tantangan akademik di berbagai universitas tersebut.

Misalnya, banyak dari mereka kesulitan mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi hingga rentan mengalami drop-out.

Untuk memahami fenomena ini, saya melakukan riset kualitatif pada 2020 dengan mewawancarai 15 responden mahasiswa. Mereka berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku, dan Papua, dan kuliah di Kota Malang, Jawa Timur selama setidaknya 2 tahun.

Riset tersebut mengungkap setidaknya empat faktor yang bisa menjelaskan tantangan akademik yang mereka alami saat kuliah di kampus urban, yaitu adanya kesadaran akibat stigma, pengasingan sosial, keterbatasan persiapan kuliah, dan hambatan terkait bahasa.

Stereotip negatif menyebabkan rasa inferior secara akademik

Menurut psikolog sosial Amerika Serikat (AS) Ryan Brown dan Elizabeth Pinel, seseorang dengan kesadaran stigma (stigma conscousness) yang tinggi mampu mengaitkan permasalahan yang mereka alami dengan stereotip yang melekat pada kelompoknya. Mereka lebih sensitif dan bisa menangkap pola diskriminasi serta perlakuan tidak adil.

Naluri ini terbentuk seiring para mahasiswa mengalami kejadian diskriminasi selama di kota tersebut.

Beberapa responden, misalnya, menyebut pengalaman mencari rumah kontrakan di mana pemilik tiba-tiba membatalkan perjanjian saat mengetahui mereka berasal dari Indonesia Timur. Mahasiswa lain juga mengatakan dilirik banyak orang karena kulit gelap ras Melanesia yang berbeda dengan mayoritas etnis lain di Indonesia.

Penelitian 2003 yang dilakukan Brown dan Pinel menemukan kesadaran stigma yang tinggi ini bisa berdampak pada performa akademik mahasiswa.

Di sini, gencarnya stereotip negatif mengganggu kognitif otak manusia sehingga tidak maksimal dalam memproses wawasan dan ilmu pengetahuan.

Dalam kajian lain dari psikolog sosial Claude Steel, misalnya, stereotip negatif terhadap pelajar Afrika-Amerika membuat mereka seringkali cemas dan merasa inferior secara akademik ketimbang teman-teman mereka yang berkulit putih.

Isolasi sosial dari masyarakat

Transisi dari masa Sekolah Menegah Atas (SMA) ke dunia kampus, ditambah dengan gegar budaya (culture shock) akibat lingkungan baru dapat menyebabkan penarikan diri dari interaksi sosial.

Dalam penelitian saya, beberapa partisipan menyebutkan mereka hanya berinteraksi sebatas dengan pemilik kos dan penghuni kos lain karena merasa sangat berbeda dari anggota masyarakat lain.

Banyak mahasiswa Indonesia Timur diperlakukan berbeda dari anggota masyarakat lain sehingga muncul tembok interaksi dengan mahasiswa dari kelompok mayoritas. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farsi)

Di dalam kampus, perasaan berbeda ini juga menyebabkan adanya tembok interaksi dengan mahasiswa lain dari kelompok mayoritas – ini memperburuk rasa kesendirian yang mereka rasakan, kesehatan mental mereka, dan pada akhirnya capaian belajar di kampus.

Penelitian tahun 2020 dari Arizona State University yang melibatkan 344 siswa Afrika-Amerika mendukung hal ini.

Riset tersebut mengungkap bahwa diskriminasi rasial menyebabkan school belonging (perasaan menjadi bagian dari sekolah) yang rendah pada mahasiswa. Mereka akan cenderung merasa sebagai outsider (pihak asing) di kampus mereka sehingga tidak terekspos atau setidaknya enggan mengakses berbagai jaringan dukungan pendidikan – dari teman belajar kelompok hingga fasilitas dan layanan akademik dari kampus.

Keterbatasan persiapan kuliah

Beberapa mahasiswa dalam riset saya merupakan generasi pertama dari keluarga mereka di Maluku dan Papua yang merasakan bangku kuliah.

Kesenjangan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia Timur menjadi salah satu alasan mengapa tradisi perkuliahan belum terlalu kental di keluarga mereka – hal ini membuat para mahasiswa tidak memiliki saudara, rekan, atau orangtua yang bisa memberi petunjuk saat memasuki dunia kampus.

Dalam riset saya, misalnya, beberapa mahasiswa mengaku kurang mempersiapkan kuliah mereka. Saat mendaftar kuliah, mereka belum begitu mendalami jurusan apa yang sesuai dengan kebutuhan dan bakat mereka.

Pada akhirnya, jurusan yang mereka tempuh terkadang tidak sesuai ekspektasi sehingga merasa kesulitan saat menjalaninya.

Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa ia merasa percaya diri bisa menjalani perkuliahan dengan baik di tahun awal kuliah. Namun, seiring waktu, jurusan yang tidak sesuai ekspektasi membuatnya merasa tidak percaya diri dan nilainya semakin memburuk.

Bahasa juga menjadi hambatan

Berdasarkan pengakuan salah satu partisipan, logat Indonesia Timur yang khas sering membuatnya ditertawakan oleh rekan sekelas.

Ini membuatnya tidak nyaman dan mengurangi interaksi – dengan teman kuliah maupun dosen – karena khawatir mendapatkan perlakuan serupa.

Banyak dosen di kampus Jawa juga punya kecenderungan bolak-balik antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa saat menjelaskan mata kuliah, serta memiliki logat “medok” yang kental sehingga menyulitkan para mahasiswa Indonesia Timur untuk memahami.

Jangankan bahasa Jawa, riset bahkan menunjukkan bagaimana bahasa Indonesia pun jarang digunakan di berbagai sekolah di Papua, Maluku, NTT, dan NTB.

Berbagai ketidakcocokan bahasa tersebut membuat proses belajar mahasiswa Indonesia Timur menjadi jauh lebih menantang ketimbang teman-teman mereka yang telah lama tinggal di kota tersebut.

Membuat iklim kuliah yang lebih inklusif bagi mahasiswa Indonesia Timur

Pemerintah dan pembuat kebijakan harus segera menyadari adanya perubahan demografi di perguruan tinggi yang lebih bineka.

Perlu ada program-program untuk menumbuhkan iklim inklusivitas sehingga mahasiswa lebih sensitif dan merangkul keragaman populasi dalam perguruan tinggi, khususnya kelompok minoritas.

Harvard University di AS melalui Project Implicit, misalnya, menawarkan tes online gratis untuk mengetahui apakah kita memilki sikap bias atau rasis – yang terang-terangan maupun secara tidak sadar – saat berinteraksi dengan teman dari ras yang berbeda. Dengan cara ini, masyarakat dan warga kampus bisa lebih memahami kekurangan dalam interaksi sosial mereka, serta lebih menumbuhkan semangat inklusivitas dan anti-rasisme.

Universitas pun perlu menyiapkan berbagai sumber daya akademik mereka untuk lebih peka terhadap kebutuhan mahasiswa minoritas.

Misalnya, kampus harus membekali tenaga pengajar mereka untuk lebih inklusif dalam penggunaan bahasa maupun teknik mengajar saat di kelas.

Program persiapan kampus, seperti konseling bersama yang fokus dalam prospek karir maupun informasi pemilihan jurusan yang tepat, juga sangat penting untuk mendukung calon mahasiswa dari keluarga atau wilayah yang belum memiliki tradisi pendidikan tinggi yang kuat.

Pendidikan yang berkualitas adalah hak semua anak – tapi ini tidak akan terwujud apabila masyarakat dan warga kampus tak acuh terhadap berbagai tantangan yang menghambat pengalaman kuliah mahasiswa minoritas.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now