Menu Close
Orang mendaftar vaksinasi COVID-19 di Stasiun MRT ASEAN, Jakarta, 8 Juli 2021. ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj.

6 bulan vaksinasi COVID-19: mengapa Indonesia terseok-seok mencapai target?

Memasuki bulan keenam vaksinasi COVID-19 di Indonesia, tampaknya pemerintah sulit mencapai target untuk menuntaskan vaksinasi pada 70 persen populasi paling cepat akhir tahun ini dan paling lambat Maret tahun depan.

Walau program sudah separuh jalan dari tenggat maksimal 15 bulan, penyuntikan vaksin baru mencapai 14% dari 363 juta dosis yang ditargetkan. Dari sisi pasokan, sampai Juni, Indonesia telah menerima sekitar 70 juta dosis vaksin.

Tenggat waktu ini sesungguhnya sangat ambisius, mengingat keterbatasan jumlah dan tidak meratanya penyebaran sumber daya kesehatan di negara ini.

Tantangan lain yang tak kalah pelik adalah gejolak rantai pasokan vaksin global. Sulit memastikan keamanan pasokan vaksin di tengah perebutan vaksin COVID-19 yang makin sengit antarnegara.

Untuk mencapai target penyuntikan, pemerintah harus mencari tambahan sumber pasokan vaksin, bahkan jika perlu di luar empat produsen yang sudah dipesan agar vaksinasi bisa berjalan sesuai rencana.

Vaksinasi di Indonesia berkejaran dengan kecepatan penyebaran varian baru virus corona yang akhir-akhir ini makin mengkhawatirkan.

Mengejar target kekebalan populasi

Menghadapi darurat pandemi gelombang kedua, Presiden Joko Widodo menaikkan target vaksinasi harian dua kali lipat (2 juta per hari) mulai Agustus mendatang untuk menyelesaikan vaksinasi nasional pada akhir 2021.

Akan tetapi, sejauh ini mencapai 1 juta dosis setiap hari secara konsisten pun masih sulit buat Indonesia. Memang angka ini sudah pernah ditembus beberapa kali pada akhir Juni 2021, tapi biasanya diikuti dengan penurunan angka vaksinasi pada hari-hari selanjutnya.

Titik tertinggi angka rata-rata vaksinasi dalam siklus 7 harian pun baru 920.000 dosis saja pada awal Juli 2021.

Dalam rapat kerja dengan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat 5 Juli lalu, Menteri Kesehatan memperkirakan jika pasokan vaksin stabil, kekebalan populasi yang sudah divaksin bisa tercapai pada November tahun ini.

Estimasi ini dihitung dari ketersediaan total vaksin yang akan melewati 260 juta dosis (70%x363 juta) pada Oktober yang kemudian akan digunakan pada bulan berikutnya. Namun ada sedikit kejanggalan dalam perkiraan ini.

Kejanggalannya ada pada penurunan ambang batas kekebalan populasi. Kekebalan populasi diasumsikan tercapai jika 70% dari seluruh populasi sudah divaksinasi atau sembuh dari COVID-19. Jadi dari 270 juta penduduk, 189 juta perlu memiliki kekebalan.

Karena yang sembuh setelah terjangkit baru sekitar 2 juta orang, maka ada 187 juta jiwa yang perlu divaksinasi. Artinya angka kebutuhan vaksin seharusnya 374 juta dosis.

Jadi target yang sekarang pun sebenarnya masih kurang 11 juta dosis dari ambang batas kekebalan populasi, apalagi jika angka ini menyusut lagi. Angka 363 juta dosis adalah batas minimal yang tidak bisa ditawar dan bahkan perlu ditingkatkan lagi.

Memastikan pasokan untuk menjaga laju vaksinasi

Kecepatan vaksinasi yang konsisten memerlukan pasokan vaksin yang stabil.

Untuk mempertahankan kecepatan vaksinasi pada angka 2 juta dosis per hari, maka perlu disiapkan 60–62 juta dosis per bulan. Itu jika penyuntikannya dilakukan setiap hari tanpa jeda.

Tabel di bawah menunjukkan bahwa jumlah sebesar ini baru tercapai pada Oktober. Ini artinya jika tidak ada suplai tambahan, 2 juta dosis per hari baru bisa tercapai pada bulan November. Jumlah vaksin yang disiapkan di Juli untuk penyuntikan Agustus hanya cukup untuk 1 juta dosis per hari.

Target 363 juta dosis pun sebenarnya masih belum termasuk 58 juta dosis untuk vaksinasi anak-anak yang baru saja dibuka.

Meski pasokan vaksin anak-anak bisa diusahakan terpisah dari pesanan yang sudah ada, fasilitas dan tenaga kesehatan pelaksananya kemungkinan besar akan tetap sama.

Penambahan target baru vaksinasi ini baik karena anak-anak pun perlu dilindungi dari COVID-19. Perluasan sasaran vaksinasi ini juga sekaligus menutup celah kekebalan populasi yang terlewatkan. Masalahnya, penambahan sasaran ini akan mempersulit usaha percepatan kampanye nasional ini yang telah ditetapkan sebelumnya.

Perlu banyak sumber vaksin

Satu hal yang perlu dicatat adalah semua perkiraan di atas didasarkan kepada asumsi bahwa importasi vaksin berjalan mulus sesuai rencana.

Masalahnya, di tengah produksi yang terbatas, perebutan vaksin COVID-19 makin ketat karena setiap negara berjuang untuk kepentingan rakyatnya masing-masing.

Salah satu cara mengurangi risiko gangguan pasokan adalah pemerintah perlu mencari sumber vaksin baru selain dari empat produsen yang telah dipesan. Namun, hal ini harus melalui proses penyesuaian anggaran yang akan memakan waktu.

Pengadaan alternatif tanpa membebani anggaran sebenarnya sudah dicoba melalui Vaksinasi Gotong Royong (VGR) yang melibatkan perusahaan swasta. Tapi implementasinya masih tersendat dan tidak termonitor secara transparan. Setelah berjalan hampir dua bulan, program ini baru bisa menjangkau kurang dari 2,5% dari target 20 juta orang.

Mahalnya harga vaksin kelihatannya menjadi salah satu ganjalan terbesar dalam program vaksinasi swasta ini. Salah satu solusi atas masalah ini adalah pemerintah bisa memperbanyak tipe vaksin yang diizinkan dalam Vaksin Gotong Royong dengan kisaran harga yang bervariasi.

Usaha diversifikasi sumber pasokan pun masih bisa terbentur kebijakan satu pintu.

Saat ini semua stok vaksin pemerintah maupun swasta harus diimpor, diproduksi, dan didistribusikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bio Farma. Kecepatan program vaksinasi sangat tergantung dari kecepatan BUMN ini.

Membuka jalur-jalur pasokan baru tentu akan menambah beban kerja Bio Farma dan meningkatkan risiko gangguan terhadap rantai pasokan yang sudah ada.

Pemerintah perlu mempertimbangkan penambahan pintu masuk vaksin untuk mengurangi risiko kemacetan pasokan vaksin. Kementerian Kesehatan dan Kementerian BUMN bisa mempertimbangkan penugasan Pertamedika Indonesia Healthcare Corporation (IHC) yang merupakan BUMN holding rumah sakit. Vaksin yang dibeli oleh IHC nantinya dapat langsung digunakan di jaringan rumah sakit BUMN.

Lebih jauh lagi, IHC bisa diarahkan untuk bekerja sama dengan rumah sakit swasta untuk pendistribusian vaksin. Kebanyakan rumah sakit di Indonesia dimiliki oleh swasta. Jadi jaringan mereka adalah aset penting untuk program kesehatan berskala nasional seperti ini.

Inisiatif perusahaan farmasi swasta pun perlu didukung, misalnya kerja sama pengembangan vaksin COVID-19 antara Kalbe Farma dengan Genexine dari Korea Selatan.

Usaha-usaha diversifikasi pasokan perlu dilakukan untuk menghindari gangguan yang sangat mungkin terjadi lagi. Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang membutuhkan vaksin COVID-19 dan sayangnya belum mampu memproduksi vaksin sendiri.

Jadi, setinggi apa pun targetnya, kecepatan vaksinasi akhirnya akan berpulang kepada ketersediaan pasokan vaksin secara konsisten.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now