Efek negatif kesehatan dari merokok tidak terbatas pada perokok.
Perokok pasif, juga dikenal sebagai Second-hand Smoke (SHS), telah menyebabkan 600.000 kematian secara global dan lebih dari 33% populasi terpapar secara aktif atau pasif terhadap asap rokok.
Perempuan dan anak-anak di bawah lima tahun merupakan kelompok yang paling rentan. Sekitar 35% dari semua perempuan yang bukan perokok terpapar asap perokok pasif di dalam ruangan atau rumah. Sedikitnya 40% anak-anak telah menjadi perokok pasif karena SHS di rumah mereka, sekitar 31% di antaranya meninggal karena asap rokok yang mereka hirup setiap harinya.
Penelitian terbaru kami dari Universitas Indonesia dan Imperial College London Inggris menunjukkan prevalensi SHS di dalam rumah di Indonesia sangat tinggi, yakni 78,4% dibandingkan negara-negara lain seperti Cina (48,3%), Bangladesh (46,7%), dan Thailand (46,8%).
Salah satu dampaknya adalah perempuan hamil yang terpapar asap rokok berisiko memiliki bayi yang lebih rendah bobotnya dibanding perempuan yang tidak terpapar asap rokok.
Karena itu, kami mendorong lingkungan bebas rokok tidak hanya terbatas pada Kawasan Tanpa Rokok di tempat kerja, umum, dan sekolah saja, tapi juga di rumah tinggal. Langkah ini bisa diwujudkan melalui Peraturan Bebas Asap Rokok di Rumah yang diterbitkan oleh pemerintah nasional dan daerah, dengan dikawal oleh aparat penegak hukum.
Dampak Perokok pasif
Second-hand Smoke (SHS) adalah istilah tempat tertutup yang dipenuhi dengan asap rokok. Tempat ini bukan tempat khusus untuk merokok, melainkan tempat umum yang tertutup yang di dalamnya terdapat para perokok aktif dan perokok pasif.
Riset kami untuk mengetahui prevalensi, level, dan pola paparan perokok pasif di dalam rumah serta menyelidiki hubungan antara paparan perokok pasif di dalam rumah dan hasil kelahiran.
Riset ini mengambil data dari 19.935 perempuan (pernah menikah, berusia 15-49 tahun, dan melahirkan dalam lima tahun terakhir sebelum survei diadakan) dan suami mereka di dalam sampel rumah tangga. Kami menggunakan data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, yang representatif secara nasional dan berskala besar.
Ada banyak riset dampak perokok pasif terhadap kesehatan. Untuk ibu-ibu hamil, SHS berhubungan (korelasi) dengan kelahiran yang “berkualitas rendah”, antara lain rata-rata berat badan bayi 71,6 gram lebih rendah, 16% lebih tinggi kemungkinan Berat Badan Lahir Rendah, dan 51% lebih tinggi kemungkinan ukuran lahir yang lebih kecil daripada rata-rata.
Paparan perokok pasif selama kehamilan telah dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan, kematian, dan kesakitan pada bayi, termasuk lahir mati, prematur, keguguran, dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Fenomena yang ditemukan dari bahaya rokok tembakau adalah bermunculannya third-hand smoker yang terpapar dari partikel-partikel beracun dari aktivitas rokok pada permukaan-permukaan tertentu yang tertinggal lama, misalnya pada dinding rumah.
Ventilasi atau jendela juga bukan hal terbaik untuk menghindari SHS, karena asap rokok tetap dapat menyelinap masuk atau masih menempel di celah-celah ruangan yang tetap terhirup oleh para perokok pasif.
Dari urine anak-anak penghuni non-perokok yang pindah ke rumah perokok selama tiga bulan, ditemukan adanya residu partikel asap rokok yang ternyata masih dapat terhirup walau sudah tidak ada aktivitas rokok di dalam rumah tersebut. Second-hand dan third-hand smoker perlu dilindungi dari dampak buruk asap rokok bahkan dari jejak partikel yang ditinggalkannya.
Semua orang memiliki hak untuk menghirup udara bersih. Tidak ada batas kadar pajanan SHS yang aman. Demi kesehatan bersama, sebaiknya rumah dijaga bebas asap rokok. Kondisi bebas asap rokok harus diupayakan bersama, baik perokok aktif maupun bukan.
Dampaknya pada kelahiran
Salah satu temuan riset kami adalah ada hubungan (korelasi) yang signifikan antara berat bayi lahir dan keterpaparan asap rokok di dalam rumah. Ibu yang merupakan perokok pasif memiliki bayi dengan berat lahir sebesar 71,6 gram lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok. Ibu perokok pasif berisiko 1,16 kali lebih besar memiliki anak dengan Berat Badan Lahir Rendah.
Dilihat dari frekuensi keterpaparan terhadap asap rokok, ibu yang setiap hari terpapar asap rokok memiliki rata-rata berat bayi lahir 63,4 g lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok sama sekali.
Dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok, ibu perokok pasif yang terpapar asap rokok tiap minggu dan tiap hari memiliki risiko 1,33. dan 1,18 kali lebih besar untuk memiliki anak dengan Berat Badan Lahir Rendah.
Dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar dengan asap rokok, ibu yang terpapar memiliki peningkatan risiko melahirkan anak dengan ukuran lebih kecil dari rata-rata sebesar 1,51 kali lipat.
Dilihat dari frekuensi keterpaparannya, ibu yang terpapar asap rokok setiap hari memiliki peningkatan risiko melahirkan anak dengan ukuran lebih kecil dari rata-rata sebesar 1,54 kali lipat dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar dengan asap rokok.
Manfaat lingkungan bebas dari asap rokok
Jika kita menciptakan lingkungan 100% bebas dari rokok, maka akan terjadi penurunan substansial dalam paparan SHS dan mengurangi penggunaan tembakau pada orang dewasa dan kaum muda. Ada bukti luas dari sejumlah negara bahwa undang-undang bebas rokok yang komprehensif mendorong masyarakat - dan terutama para orang tua - untuk membuat rumah mereka bebas asap rokok.
Di Selandia Baru, paparan terhadap asap rokok di rumah yang dilaporkan hampir berkurang setengahnya dalam tiga tahun. Di Skotlandia, paparan anak-anak terhadap asap rokok turun sebesar hampir 40%. Di kedua negara tersebut, larangan merokok di dalam rumah berlaku setelah undang-undang bebas rokok dimulai.
Selain itu, terdapat pula manfaat dari sisi ekonomi, antara lain biaya medis langsung menjadi lebih rendah untuk merawat kondisi yang disebabkan oleh keterpaparan SHS dan mengurangi biaya asuransi kesehatan. Terjadi juga peningkatan produktivitas bagi antara anggota keluarga yang tidak merokok dan tidak lagi terpapar asap rokok.
Rekomendasi
Lingkungan bebas dari rokok harus diamanatkan oleh penegakan hukum yang sederhana, jelas, dapat ditegakkan, dan komprehensif, bukan oleh kebijakan sukarela.
Lebih dari 370 kabupaten dan kota telah memiliki Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok yang melarang merokok di tempat kerja, umum, tempat ibadah, dan sekolah. Namun sampai kini, belum ada peraturan yang melarang merokok di dalam rumah.
Karena itu, kita perlu kampanye lebih kencang untuk mewujudkan rumah bebas dari asap rokok. Di rumah tidak bisa diterapkan ruangan khusus untuk para perokok seperti yang saat ini tersedia di tempat umum.
Kita perlu sosialisasi dan kampanye edukasi dengan melibatkan masyarakat sipil, karena rumah sering merupakan sumber tertinggi paparan asap rokok untuk anak-anak dan orang dewasa yang tidak bekerja di luar rumah.
Edukasi dapat menjadi strategi yang efektif dalam mempromosikan perlindungan dari asap rokok di rumah.
Pemerintah dan masyarakat sipil perlu mengembangkan rencana implementasi (termasuk edukasi dan konsultasi) dan penegakan hukum yang memadai yang dapat mengukur dampak, memastikan infrastruktur pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi kebijakan bebas rokok di rumah. Dengan itu, bayi-bayi yang lahir bisa lebih sehat karena ibunya bebas dari paparan asap rokok dari para perokok aktif.