Menu Close

Agar setahun ‘service learning’ ala Kampus Merdeka Menteri Nadiem tak sia-sia bagi mahasiswa dan masyarakat

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada mengebor biopori untuk meningkatkan resapan air dalam program Kuliah Kerja Nyata di Prenggan Kotagede Yogyakarta pada 2009. Arif Kurniawan/Flickr

Kebijakan baru Kampus Merdeka yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim belum lama ini memungkinkan mahasiswa strata 1 (S1) memilih berbagai kegiatan dua semester di luar kampus, termasuk program “pengabdian masyarakat” dan mengajar di daerah terpencil hingga satu tahun (setara 40 SKS).

Berbeda dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang selama ini hanya dua bulan (setara dengan 3 atau 4 SKS), kebijakan baru ini akan memberikan ruang lebih luas bagi mahasiswa belajar langsung atau berkontribusi dalam menyelesaikan masalah nyata untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di masyarakat.

Menteri Nadiem menyampaikan kebijakan Kampus Merdeka.

Namun kebijakan “kuliah” dua semester di luar universitas ini bisa menyebabkan mahasiswa kehilangan jam belajar teori di ruang kelas dan lulus lebih lama. Mahasiswa masih harus menyusun skripsi untuk syarat kelulusan. Ada juga persoalan kesiapan universitas, dosen, dan sinergi dengan masyarakat.

Masalah ini bisa diselesaikan bila ada perubahan kebijakan yang relevan baik dari Kementerian Pendidikan maupun kampus terkait program opsional bagi mahasiswa tersebut.

Baik buruk “service learning”

Program pengabdian masyarakat yang dibingkai dalam proses pendidikan formal ini sebenarnya identik dengan konsep ‘service learning’ (pembelajaran berbasis masyarakat) yang telah mapan dan dilaksanakan di Amerika Utara, Eropa, Afrika, Amerika Selatan, Australia, dan beberapa negara Asia seperti Jepang, Hong Kong, dan Singapura.

Sejumlah riset di negara-negara tersebut menunjukkan, bagi mahasiswa, service learning dapat meningkatkan kemampuan perencanaan strategis dan mengontrol aspek kognitif, empati, dan sensitifitas sosial. Program ini juga mendongkrak keinginan mahasiswa untuk membuat perubahan di masyarakat.

Karena besarnya manfaat dari service learning bagi mahasiswa, universitas, masyarakat, dan pemerintah, perguruan tinggi di berbagai dunia telah lama menjalankan program ini karena dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan.

Dalam beberapa program mengajar service learning di sekolah di Amerika Serikat, partisipasi mahasiswa dapat meningkatkan keaktifan ekstrakurikuler siswa, terbantunya siswa yang kesulitan di pengetahuan mendasar, dan berkurangnya beban guru.

Sebagai kebijakan politik, misalnya, Presiden Amerika Serikat Barack Obama menjadikan service learning dan kerelawanan sebagai tonggak universitas yang sangat penting dalam administrasi pendidikan pada masa pemerintahannya, 2009-2017.

Namun ada juga kritik bahwa program tersebut tidak berdampak signifikan ke masyarakat.

Saat program itu dibuat dalam skala besar dan terlembagakan, program dalam bentuk mengajar di Amerika ternyata tak memberikan dampak signifikan terhadap penurunan angka drop out dan pernikahan dini di kalangan siswa, serta peningkatan nilai ujian siswa di sekolah tempat pelayanan.

Selain itu, terdapat anggapan bahwa masyarakat seringkali menjadi kelinci percobaan bagi program mahasiswa yang tak dibekali kemampuan melaksanakan program community development yang memadai.

Ada juga kekhawatiran bahwa pengabdian semacam ini menjadikan masyarakat miskin sebagai sumber eksploitasi untuk pembelajaran mahasiswa. Program ini juga memperkuat stereotype negatif bahwa masyarakat miskin adalah masyarakat yang “tak berdaya” sehingga harus diselamatkan dari ketidakmampuannya.

Lebih parah lagi, program mengajar ke tempat ‘terpencil’ seringkali dilandasi oleh semangat yang kontradiktif yaitu keinginan untuk memodernasi masyarakat menjadi konsumtif, elitis, dan kosmopolitan.

Potensi jam belajar hilang + kesiapan universitas

Agar service learning sukses kampus perlu merancang program tersebut agar terdapat sinergi antara kebutuhan belajar mahasiswa, kebutuhan masyarakat dan industri, dan kemampuan dukungan kampus dan pemerintah.

Jika tidak dirancang dengan baik, maka mahasiswa berisiko kehilangan 40 SKS pembelajaran teoritis dan lulus lebih lama.

Untuk menghindari ini, mahasiswa sebaiknya diberikan kebebasan untuk melakukan service learning bukan pada satu titik waktu, tapi dengan mendorong kampus untuk mencanangkan program service learning pada mata kuliah atau kelompok mata kuliah mereka di sepanjang masa S1.

Dengan melekatkan service learning pada mata kuliah atau rumpun mata kuliah, program praktikum atau magang yang sudah melekat di banyak program studi juga tak harus dikorbankan. Selain itu, keterlibatan dosen juga tetap bisa dipastikan intensif sebagai pembimbing karena memang berada dalam bidang ilmu dan jam penugasannya.

Mekanisme inilah yang banyak dilakukan di banyak negara bagian di Amerika Serikat.

Dengan kerangka yang jelas dan terarah, organisasi nirlaba yang bereputasi dan yang berorientasi SDGs, seperti dipraktikkan di Australia, Jamaika dan Ekuador, dapat menjadi partner yang memberikan manfaat pembelajaran yang lebih sesuai dengan bidang keilmuan.

Pada satu mata kuliah yang berkomponen service learning, jumlah jam pengabdian minimal yang disarankan adalah 15-20 jam dengan tetap harus melakukan refleksi terhadap proses dan tujuan mendasarnya.

Selain itu, agar tidak memperlambat kelulusan mahasiswa yang memilih melakukan pengabdian masyarakat selama satu tahun, kampus perlu mengeluarkan peraturan baru yang menghapus kewajiban menyusun skripsi bagi peserta service learning.

Kebebasan satu tahun belajar di luar kampus harus ditinjau lebih jauh dan kampus berhak diberikan ‘kemerdekaan’ untuk menetapkan bentuk sevice learning-nya sendiri. Prinsip-prinsip dasar pembelajaran berbasis pengabdian yang sudah disepakati negara-negara yang telah menjalaninya selama berdekade lamanya bisa diadopsi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now