Menu Close
Indonesia telah memutuskan bahwa perusahaan minyak dan gas milik negara Pertamina akan mengambil alih salah satu blok minyak paling produktif di Indonesia, Blok Rokan, Riau dari perusahaan energi AS Chevron. www.shutterstock.com

Agenda Jokowi di balik akuisisi Pertamina terhadap Blok Rokan milik Chevron

Indonesia telah memutuskan bahwa perusahaan minyak dan gas milik negara Pertamina akan mengambil alih salah satu blok minyak paling produktif di Indonesia, Blok Rokan, Riau, dari perusahaan energi Amerika Serikat Chevron. Pertamina akan mengakuisisi blok minyak tersebut setelah kontrak operasional perusahaan energi AS tersebut berakhir pada 2021.

Keputusan ini dianggap sebagai langkah pemerintah Indonesia menuju kebijakan ekonomi dengan agenda nasionalis yang kuat. Namun di samping perubahan ke arah kebijakan ekonomi yang mendukung proteksionisme, Indonesia di bawah pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo tampaknya juga masih mempraktikkan kebijakan ekonomi campuran.

Blok Rokan yang kaya

Blok Rokan adalah salah satu blok minyak paling strategis di Indonesia. Chevron merupakan operator blok ini sejak 1931.

Perusahaan Minyak Terbesar 2017. PricewaterhouseCoopers

Chevron adalah produsen minyak terbesar di Indonesia. Perusahaan ini menghasilkan seperempat dari total produksi minyak mentah Indonesia sejak awal tahun ini. Perusahaan ini mengelola Minas, yang merupakan ladang minyak terbesar di Asia Tenggara.

Kontrak Chevron di Rokan Block akan berakhir pada 2021. Berdasarkan Peraturan Menteri No. 23 tahun 2018, Chevron diperbolehkan mengajukan permintaan perpanjangan. Namun, pemerintah memutuskan untuk menolak permintaan tersebut dan memberikan blok itu kepada Pertamina karena perusahaan negara tersebut mengajukan penawaran yang lebih menarik.

Produksi Minyak Bumi 12 Kontraktor Utama. https://katadata.co.id/

Pertamina mengklaim bahwa kesepakatan itu bisa membantu Indonesia menghemat pengeluaran impor minyak sebesar US$4 miliar per tahun dan memangkas biaya industri hilir dalam jangka panjang. Akuisisi ini juga akan meningkatkan bisnis hulu dan hilir Pertamina.

Namun, ada kekhawatiran yang berkembang atas keputusan pemerintah Indonesia memberikan blok minyak tersebut ke Pertamina.

Beberapa orang menuduh bahwa keputusan itu kurang transparan. Perusahaan jasa keuangan global Moody’s Corporation juga pesimis mengenai kesepakatan tersebut.

Kesepakatan itu dianggap akan terlalu membebani Pertamina karena mengharuskan perusahaan tersebut menghabiskan dana sebesar US$70 miliar selama 20 tahun.

Blok Rokan dan agenda nasionalis

Kesepakatan atas Blok Rokan menunjukkan kepada kita bahwa pemerintah Indonesia tengah kuat mendorong agenda nasionalis dalam kebijakan ekonomi mereka.

Sebelumnya, pemerintah melalui perusahaan induk pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah menjalin kesepakatan dengan penambang raksasa AS, Freeport-McMoran, untuk membeli 51% saham Freeport Indonesia. Kesepakatan itu memberi Inalum kontrol untuk mengelola tambang Grasberg di Papua yang merupakan tambang emas terbesar di dunia.

Namun, banyak yang meragukan kapasitas pemerintah Indonesia untuk mengelola tambang tersebut. Dalam perjanjian jual-beli dengan Freeport, Inalum telah membayar US$3,85 miliarbersama dengan biaya eksplorasi lainnya pada saat mendatang. Untuk membayarnya, Inalum harus meminjam dari sebelas bank.

Banyak yang khawatir Pertamina akan mengalami masalah yang sama dengan Inalum dengan biaya akuisisi yang mahal.

Mereka berpendapat bahwa kesepakatan atas Blok Rokan dapat mengganggu kondisi keuangan Pertamina. Pada 2017, laba bersih Pertamina turun 19% menjadi Rp33,7 triliun (US$2,3 juta) karena biaya operasional yang lebih tinggi. Kesepakatan terkait Blok Rokan ini dikhawatirkan akan menambah beban belanja Pertamina dalam jangka panjang.

Pendapatan dan Laba Pertamina (2011-2017) https://katadata.co.id/

Kembalinya model lama

Agenda nasionalis di balik Blok Rokan dan kesepakatan Freeport memberikan gambaran besar dari strategi pembangunan Indonesia saat ini.

Analis seperti Edward Aspinall, Eve Warburton dan Jeffrey Wilson berpendapat bahwa selama beberapa dekade terakhir pemerintah Indonesia mengarahkan sektor bisnisnya ke arah nasionalis.

Sentimen atas ekonomi liberal dalam masyarakat Indonesia dan perlambatan ekonomi global telah memotivasi pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan ekonomi yang berwawasan ke dalam. Di bawah kebijakan tersebut, pemerintah cenderung membatasi investasi asing langsung dan memberlakukan tarif terhadap barang-barang impor demi mendukung kepentingan nasional.

Agenda nasionalis ini sangat strategis bagi para pemimpin untuk meraih suara pemilih. Tahun depan, Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden (pilpres) dan Presiden Jokowi sedang mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua kali.

Untuk mendukung pencalonannya, Jokowi tampaknya telah mendorong kuat agenda nasionalis dalam kebijakan ekonomi untuk meningkatkan popularitas menjelang pilpres tahun depan. Penawaran Freeport dan Blok Rokan adalah contoh bagaimana dia melindungi kepentingan nasional di sektor strategis.

Ilmuwan politik Eve Warburton dari Australian National University mengatakan bahwa agenda nasionalistik di bawah Jokowi merupakan “hal normal yang baru”.

Para politikus Indonesia cenderung datang dengan agenda populis dan proteksionis untuk mengamankan suara pemilih mereka. Agenda mereka termasuk mendistribusikan subsidi bahan bakar dan listrik serta uang tunai untuk orang miskin.

Kebijakan semacam ini sudah dilaksanakan di bawah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa dua periode sebelumnya.

Model ekonomi campuran Jokowi

Namun perlu diketahui bahwa kebijakan ekonomi Jokowi tidak sepenuhnya nasionalistik.

Beberapa kebijakan ekonominya didorong oleh strategi yang berwawasan ke luar. Kebalikan dari kebijakan yang berwawasan ke dalam negeri, strategi ekonomi berwawasan keluar mempromosikan investasi asing dan privatisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Jadi selain melindungi kepentingan nasional di Blok Rokan dan tambang Freeport, Jokowi juga mendorong investasi asing langsung dalam proyek infrastruktur. Dengan memiliki kedua strategi tersebut, kebijakan ekonomi Jokowi merupakan model kebijakan campuran.

Namun, model campuran Jokowi memang bukan hal yang baru.

Ekonomi dualistik telah dilakukan pada era Suharto.

Sepanjang pemerintahannya, Suharto secara praktiknya memimpin Indonesia di bawah sistem ekonomi dualistik. Pada masa awalnya, Soeharto menaruh kepercayaan kepada para ekonom terkemuka Indonesia dengan strategi berorientasi keluar mereka. Seperti yang diharapkan, Suharto menerapkan serangkaian paket reformasi ekonomi, mulai dari prosedur reformasi investasi hingga membuka beberapa sektor untuk investasi asing langsung.

Meskipun kebijakannya liberal, Suharto tidak pernah menyingkirkan kebijakan nasionalistik. Di bawah kepemimpinannya, impor menurun, industri nasional seperti pertanian dan energi memperoleh perlindungan. Dia juga menjadikan bisnis swasta lokal bagian dari kebijakan industri nasional.

Belajar dari masa lalu

Jadi, kebijakan ekonomi apa yang paling baik untuk Indonesia?

Mempertimbangkan situasi saat ini, kembali ke kebijakan ekonomi campuran mungkin menjadi pilihan terbaik. Karena di satu sisi kebijakan tersebut melayani kepentingan nasional, tapi juga memberikan ruang untuk melakukan reformasi dan membuka peluang untuk kerja sama internasional yang akan mendorong investasi.

Sementara perdebatan mengenai akuisisi Blok Rokan terus berlangsung, mari kita tunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan Pertamina selanjutnya.

Namun, penting bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan ekonomi apa pun, karena beberapa dari kebijakan tersebut memiliki implikasi jangka panjang.

Sebagai contoh, kebijakan ekonomi Suharto yang buruk yang dipicu oleh krisis keuangan Asia pada 1998 memicu kerusuhan politik dan sosial yang berujung pada lengsernya Suharto.

Akhirnya, masyarakat perlu untuk terus mencermati komitmen pemerintah dalam reformasi ekonomi serta tata kelola perusahaan termasuk transparansi perusahaan milik negara.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now