Menu Close

AI belum akan menggantikan menteri, pendeta maupun imam agama dalam waktu dekat

A photograph of a robot with folded hands, showing mechanized equipment in a partial view of the head.
An android called ‘Kannon Mindar,’ which preaches Buddhist sermons. Richard Atrero de Guzman/NurPhoto via Getty Images

Pada awal musim panas 2023, sejumlah robot ditampilkan di layar di Gereja Santo Paulus, Bavaria, Jerman, menyampaikan khotbah kepada sekitar 300 jemaat yang hadir. Diciptakan oleh ChatGPT dan Jonas Simmerlein, seorang teolog dan filsuf dari University of Vienna, eksperimen kebaktian gereja menggunakan robot ini telah menarik banyak perhatian.

Penyampaian khotbah yang membosankan kadang membuat banyak orang meragukan apakah kecerdasan buatan (AI) benar-benar dapat menggantikan peran para pendeta dan pengajaran pastoral. Di akhir kebaktian, seorang jemaat berkata, “Tidak punya hati dan jiwa.”

Namun, penggunaan AI yang terus meningkat dapat mendorong lebih banyak gereja untuk memulai debut layanan ibadah yang dibawakan oleh AI. Sebuah gereja di Austin, Texas, misalnya, memasang spanduk mengiklankan layanan khotbah oleh AI. Ibadah gereja juga akan menyertakan panggilan untuk beribadah dan doa pastoral yang dibawakan oleh AI. Nyatanya, penggunaan AI ini telah menimbulkan kekhawatiran, karena teknologi ini diyakini dapat mengganggu kehadiran dan kepemimpinan otentik manusia dalam kehidupan beragama.

Penelitian saya, bersama dengan penelitian lain di bidang interdisipliner keagamaan digital dan komunikasi manusia-mesin, mengungkap apa yang hilang dalam diskusi tentang AI, yang cenderung berpusat pada mesin dan hanya berfokus pada hasil.

ada pengulangan

Penelitian saya, bersama dengan penelitian lain di bidang interdisipliner agama digital dan komunikasi manusia-mesin, menerangi apa yang hilang dalam diskusi tentang AI, yang cenderung berpusat pada mesin dan berfokus pada hasil yang sangat terang atau gelap.

Hal ini menunjukkan bagaimana para pemimpin agama masih menjadi pihak yang memengaruhi teknologi terbaru dalam organisasi mereka. AI tidak bisa begitu saja menggantikan manusia, karena penceritaan dan pemrograman akan terus menjadi hal yang penting dalam pengembangan dan penerapannya.

Berikut adalah tiga cara bagaimana mesin akan membutuhkan seorang imam. =-

1. Pendeta menyetujui penggunaan AI

Dengan adanya perubahan yang cepat dalam perkembangan teknologi, para pendeta awalnya berperan sebagai “penjaga gerbang” untuk mendukung dan berinvestasi dalam aplikasi digital baru. Pada tahun 2015, Cina mengadopsi Xian'er, biksu robot, yang dipromosikan sebagai jalan menuju keterlibatan spiritual oleh pendeta utama Kuil Buddha Longquan di Beijing.

Pendeta tersebut menolak klaim bahwa AI religius adalah penistaan agama dan justru menggambarkan inovasi AI sebagai sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Ia mendorong penggabungan AI ke dalam praktik keagamaan untuk membantu umat mendapatkan wawasan spiritual dan supaya kuil-kuil dapat menyebarkan ajaran Buddha secara lebih luas.

Di Jepang, pada tahun 2019, kepala biksu kuil Buddha Kodai-ji di Kyoto, menamai android ukuran dewasa sebagai “Kannon Mindar,” yang diambil dari nama Dewi Welas Asih yang dipuja.

Dewa robot ini, yang dapat mengkhotbahkan Sutra Hati, sebuah kitab suci Buddha klasik dan populer, sengaja dibuat melalui kerja sama dengan Universitas Osaka, dengan biaya sekitar US$1 juta (Rp15,5 miliar). Tujuannya adalah untuk merangsang minat masyarakat dan menghubungkan para pembelajar dan praktisi agama dengan ajaran Buddha.

Dengan menamai dan menegaskan penggunaan AI dalam kehidupan beragama, para pemimpin agama bertindak sebagai pemberi pengaruh utama dalam pengembangan dan penerapan robot dalam praktik spiritual.

2. Mengarahkan komunikasi manusia-mesin secara langsung

Saat ini, sebagian besar operasi data AI masih belum jelas terlihat. Banyak orang dewasa tidak menyadari seberapa besar AI sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, misalnya dalam melalui chatbot layanan pelanggan dan rekomendasi produk khusus.

Namun, pengambilan keputusan dan penilaian manusia tentang proses teknis, termasuk memberikan umpan balik untuk pembelajaran penguatan dan desain antarmuka, sangat penting untuk operasi AI sehari-hari.

Contoh yang patut dipertimbangkan adalah inisiatif robotik di Masjidil Haram di Arab Saudi. Di masjid ini, robot multibahasa digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan praktik ritual dalam 11 bahasa.

A man in red checked head scarf and flowing white shirt with a robot.
Robot di Masjidil Haram di kota suci Mekkah, Arab Saudi. Fayez Nureldine / AFP via Getty images

Robot-robot yang ditempatkan di Masjidil Haram ini tidak hanya bisa membaca Al-Quran, tetapi juga bisa menghubungkan pengunjung dengan imam setempat. Sistem tatap muka melalui layar sentuh ini dilengkapi dengan kode yang memungkinkan pengguna untuk mengetahui tentang jadwal mingguan staf masjid, termasuk para imam yang memimpin khotbah Jumat. Selain itu, robot-robot ini dapat menghubungkan pengunjung dengan para ulama melalui interaksi video guna menjawab pertanyaan mereka sepanjang waktu.

Ini menunjukkan bahwa meskipun robot dapat berfungsi sebagai sumber pengetahuan agama yang berharga, cara menyalurkan pertanyaan secara strategis kepada para pemuka agama yang sudah mapan akan dapat memperkuat kredibilitas otoritas ulama.

3. Para pemimpin agama dapat membuat dan membagikan pedoman etika

Para pemuka agama ikut berusaha meningkatkan kesadaran akan potensi AI untuk perkembangan dan kesejahteraan manusia. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, Paus Fransiskus telah vokal dalam menyuarakan potensi manfaat dan bahaya yang mengganggu dari teknologi AI.

Vatikan telah menjadi tuan rumah bagi para pemimpin industri teknologi dan menyerukan pedoman etika untuk “melindungi kebaikan umat manusia” dan menjaga “kewaspadaan terhadap penyalahgunaan teknologi.” Penggunaan AI secara etis untuk agama mencakup kepedulian terhadap bias manusia dalam pemrograman, yang dapat mengakibatkan ketidakakuratan dan hasil yang tidak aman.

Pada Juni 2023, badan budaya dan pendidikan Vatikan, bekerja sama dengan Universitas Santa Clara, merilis buku panduan etika AI setebal 140 halaman untuk organisasi teknologi. Buku pedoman tersebut menekankan pentingnya menanamkan cita-cita moral dalam pengembangan AI, termasuk penghormatan terhadap martabat dan hak asasi manusia dalam privasi data, pembelajaran mesin, dan teknologi pengenalan wajah.

Dengan membuat dan membagikan pedoman etika tentang AI, para pemimpin agama dapat berdiskusi tentang pengembangan AI di masa depan sejak awal, untuk memandu desain dan implementasi konsumen menuju nilai-nilai saling menghargai.

Singkatnya, meskipun para pemimpin agama tampaknya kurang dilibatkan dalam pengembangan dan wacana AI, saya berpendapat bahwa penting untuk mengenali cara-cara bagaimana para rohaniwan berkontribusi pada komunikasi yang melibatkan teknologi AI. Dalam prosesnya, mereka bisa turut membangun percakapan yang dilakukan oleh chatbot, seperti yang ada di gereja di Bavaria, dengan para jemaat.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now