Menu Close

AI Jesus: representasi Yesus di era kecerdasan buatan yang bersedia menjawab berbagai pertanyaan

Di saluran Twitch AI Jesus, chatbot Yesus menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar masalah personal dan spiritual. Twitch user ask_jesus

Yesus kerap direpresentasikan dengan berbagai cara: dari seorang nabi yang mengingatkan para pengikutnya tentang akhir dunia yang akan segera tiba, hingga seorang filsuf yang merefleksikan tentang hakikat kehidupan.

Namun, belum ada yang menyebut Yesus sebagai seorang ahli internet–setidaknya sampai saat ini.

Dalam peran terbarunya sebagai “AI Jesus”, Yesus berdiri, dengan agak canggung, sebagai seorang laki-laki kulit putih, mengenakan jubah coklat-putih bertudung, tersedia 24/7 untuk menjawab setiap dan semua pertanyaan di kanal Twitch-nya, “ask_jesus” (tanya Yesus).

Pertanyaan yang diajukan kepada chatbot Yesus ini berkisar dari yang serius, seperti tentang makna hidup, hingga memintanya melucu.

Meskipun ada banyak pertanyaan-pertanyaan individual yang menarik untuk dibahas, sebagai seorang ahli agama Kristen awal dan perbandingan agama, saya berpendapat bahwa representasi Yesus sebagai “AI Yesus” menunjukkan adanya perubahan menarik terhadap gambaran tokoh spiritual di era AI.

Menafsirkan ulang Yesus

Banyak ahli yang telah menggambarkan bagaimana Yesus telah ditafsirkan ulang selama berabad-abad.

Sebagai contoh, ahli agama Stephen Prothero mengemukakan bahwa di Amerika pada abad ke-19, Yesus digambarkan sebagai sosok yang berani dan tangguh, mencerminkan maskulinitas kulit putih pada masa itu. Prothero berpendapat bahwa Yesus yang pada dasarnya damai dianggap bertentangan dengan norma-norma gender ini, sehingga kehebatan fisik Yesus lebih ditonjolkan.

Sebaliknya, cendekiawan R.S. Sugirtharajah, pada sekitar waktu yang sama di India, menggambarkan Yesus sebagai seorang mistikus Hindu atau guru oleh para teolog India seperti Ponnambalam Ramanathan. Ini bertujuan untuk membuat Yesus lebih mudah dipahami oleh orang Kristen India dan untuk menunjukkan bagaimana ajaran-ajaran rohaninya dapat diadopsi dengan baik oleh umat Hindu.

Representasi ketiga tentang Yesus terefleksi dalam karya teolog James Cone. Cone menggambarkan Yesus sebagai orang kulit hitam dengan maksud untuk menyoroti penindasan yang dialaminya sebagai korban kekerasan politik. Dia juga menunjukkan bagaimana “Kristus Kulit Hitam” menawarkan harapan akan pembebasan, kesetaraan, dan keadilan bagi orang-orang yang tertindas saat ini.

Intinya dari representasi ini bukanlah soal salah satu lebih akurat daripada yang lain, melainkan bahwa Yesus secara konsisten ditafsirkan ulang untuk menyesuaikan dengan norma dan kebutuhan setiap konteks yang baru.

AI Jesus yang melibatkan individu secara online dalam bentuk chatbot menjadi pola reinterpretasi terbaru, dibuat untuk menyesuaikan gambaran Yesus dengan zaman sekarang. Di saluran Twitch AI Jesus, pengguna secara konsisten memperlakukan chatbot Yesus sebagai yang memiliki otoritas dalam masalah pribadi dan spiritual.

Sebagai contoh, seorang pengguna baru-baru ini meminta saran kepada AI Jesus tentang cara terbaik untuk tetap termotivasi saat berolahraga. Sementara itu, pengguna lain ingin tahu mengapa Tuhan mengizinkan perang.

Cara kerja AI Jesus

AI Jesus merupakan salah satu contoh teknologi terbaru dalam bidang spiritualitas AI yang tengah berkembang. Para peneliti di bidang spiritualitas AI mempelajari bagaimana spiritualitas manusia dibentuk oleh meningkatnya pengaruh kecerdasan buatan, serta bagaimana AI dapat membantu orang memahami bagaimana manusia membentuk kepercayaan sejak awal.

Misalnya, dalam artikel tahun 2021 tentang AI dan kepercayaan agama, para ilmuwan–Andrea Vestrucci, Sara Lumbreras,dan Lluis Oviedo–menjelaskan bagaimana sistem AI dapat dirancang untuk menghasilkan pernyataan terkait kepercayaan agama, seperti–secara hipotesis–“kemungkinan besar Tuhan Katolik tidak mendukung hukuman mati.”

Seiring berjalannya waktu, sistem tersebut dapat merevisi dan mengalibrasi ulang pernyataan-pernyataan ini berdasarkan informasi baru. Sebagai contoh, jika sistem AI terpapar data baru yang menantang keyakinannya, maka secara otomatis sistem tersebut akan menyesuaikan pernyataan-pernyataan di masa depan berdasarkan informasi baru tersebut.

AI Jesus bekerja sangat mirip dengan sistem kecerdasan buatan semacam ini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan, di antaranya, seputar agama.

Sebagai contoh, selain mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan perang dan penderitaan, AI Jesus juga menjawab pertanyaan tentang mengapa merasakan kehadiran Tuhan itu sulit. Pertanyaan lainnya: apakah dosa melakukan suatu tindakan yang menyebabkan kerusakan tetapi dilakukan dengan niat baik, dan bagaimana menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang sulit.

AI Yesus ini juga terus menyesuaikan jawabannya karena chatbot belajar dari masukan para pengguna dari waktu ke waktu. Misalnya, jika ada pertanyaan serupa yang kerap diajukan, AI Jesus akan merujuk pada interaksi sebelumnya dan menyesuaikan jawabannya, dengan mengatakan: “Saya telah menerima pertanyaan tentang makna Alkitab ini sebelumnya… Namun mengingat pertanyaan yang baru saja Anda ajukan, saya ingin menambahkan bahwa….”

Spiritualitas AI di luar AI Yesus

Guru chatbot ini menghadapi persaingan yang semakin ketat dari sumber-sumber spiritualitas AI lainnya.

Orang-orang duduk di kedua sisi bangku sementara avatar di layar di depan menyampaikan khotbah.
Para pengunjung dan jemaat saat kebaktian yang diselenggarakan oleh kecerdasan buatan di Gereja Santo Paulus, Bavaria, Jerman. Daniel Vogl/picture alliance via Getty Images

Sebagai contoh, khotbah dalam kebaktian gereja ChatGPT yang diselenggarakan baru-baru ini di Jerman dibawakan oleh chatbot yang menyerupai laki-laki kulit hitam berjanggut. Sementara, ada avatar lain yang memimpin doa dan lagu-lagu penyembahan.

Tradisi agama lain juga mulai memberikan pelajaran spiritual melalui AI. Contohnya di Thailand, chatbot Buddha bernama Phra Maha AI memiliki halaman Facebook-nya sendiri tempat ia berbagi pelajaran spiritual, seperti tentang kehidupan yang tidak kekal.

Seperti AI Jesus, dia digambarkan sebagai manusia yang dengan bebas membagikan kebijaksanaan spiritualnya dan dapat dikirimi pesan di Facebook kapan saja, di mana saja selama ada koneksi internet.

Di Jepang, chatbot Buddhis lainnya, yang dikenal sebagai “Buddhabot”, kini sedang dalam pengembangan tahap akhir. Diciptakan oleh para peneliti dari Universitas Kyoto, Buddhabot telah mempelajari sutra-sutra Buddhis yang nantinya dapat dikutip oleh publik ketika ditanyai pertanyaan-pertanyaan keagamaan.

Dengan semakin banyaknya akses dan pilihan di dunia daring untuk mencari bimbingan dan nasihat spiritual, sulit untuk mengatakan chatbot agama mana yang akan terbukti paling memuaskan secara spiritual.

Bagaimanapun, tren yang sudah berlangsung ribuan tahun dalam membentuk kembali representasi para pemimpin spiritual untuk memenuhi kebutuhan masa kini sepertinya akan terus berlanjut setelah AI Jesus menjadi kehadiran religius.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now