Menu Close

Ajaran tradisional agama Buddha tidak mengakui LGBTQ dalam kehidupan biara, tapi ini semua perlahan berubah

Ilustrasi umat Buddha. Sadaham Yathra/Pexel

Gambaran simbolis biarawati yang bermeditasi dalam sunyi atau biksu yang melantun sering kali menjadi cerminan praktik agama Buddha. Representasi semacam itu kemungkinan membuat ajaran dan praktik Buddha tampak berlandaskan pada norma-norma heteroseksual. Namun, ternyata kini ada banyak diskusi tentang berbagai ekspresi seksualitas dan orientasi seksual manusia dalam literatur Buddhisme pramodern.

Dalam perdebatan kontemporer tentang gender, pendefinisian terkait identitas nonbiner (identitas gender yang tidak merujuk pada laki-laki maupun perempuan) sudah terjadi di banyak negara yang mempraktikkan agama kuno ini.

Fokus keilmuan saya adalah gender dan seksualitas dalam Buddhisme. Penelitian saya menunjukkan bahwa kehidupan queer (individu dengan orientasi seksual yang bukan heteroseksual, heteronormatif, atau gender biner) dalam konteks penahbisan monastik (pengesahan untuk menjadi biksu atau biksuni) dalam Buddhisme tradisional tampaknya perlahan mulai berubah.

Etika spiritual

Monastisisme, ketika individu melepaskan semua ikatan sekuler dan mengabdikan diri untuk pembelajaran serta prakrik kerohanian, bisa dibilang mencerminkan cita-cita tertinggi pemeluk agama Buddha.

Karena dedikasinya dalam kehidupan keagamaan, para biksu (laki-laki) dan biksuni (perempuan) menjadi panutan yang dihormati pemeluk Buddha dan memberikan bimbingan dalam praktik ajaran Buddha. Sebagai imbalannya, umat Buddha biasanya memberikan dukungan material kepada komunitas monastik.

A statue of Buddha against a backdrop of pillars and reddish stones.
Buddha dalam posisi duduk. Jessica Rigollot for Unsplash, CC BY-ND

Idealisme Buddha terkait pencerahan sering kali sulit dideskripsikan melalui bahasa maupun logika, termasuk pandangan tentang identitas gender. Ini salah satunya ditunjukkan oleh deklarasi populer dalam teks abad pertama, “Vimalakīrti-nirdeśa Sutra,” atau dapat diartikan sebagai “Dalam pencerahan, tidak ada laki-laki atau perempuan.”

Meski demikian, dalam praktiknya, ajaran Buddha sering mengelompokkan umatnya berdasarkan gender laki-laki dan perempuan.

Empat pilar komunitas Buddhis, atau sangha – terdiri dari biksuni, biksu, umat perempuan biasa dan umat laki-laki biasa - diatur berdasarkan gender. Struktur gender ini juga berfungsi dalam pengaturan kehidupan monastik: biksu dan biksuni tinggal, belajar, dan berlatih di tempat yang terpisah.

Pengelompokan ini juga berlaku dalam pengajaran kepada publik. Pengaturan tempat duduk biasanya menempatkan para biksu dan biksuni di depan, terpisah secara gender, kemudian umat biasa di belakang, juga dipisahkan antara laki-laki dan perempuan. Mereka yang tidak termasuk dalam kategori laki-laki atau perempuan tidak bisa mendapat tempat yang jelas dalam komunitas Buddha yang ideal ini.

Perbedaan seksual

Salah satu contoh di antara kelompok penganut Buddha yang tidak setuju dengan adanya susunan gender biner adalah kelompok queer yang disebut “paṇḍaka”.

Istilah Sanskerta ini dapat diterjemahkan secara harfiah sebagai individu “tanpa testis.” Ada pula penafsiran yang menyebut mereka sebagai kelompok yang gagal menyesuaikan diri dengan ekspektasi peran maskulin secara tradisional. Seorang paṇḍaka bisa saja seseorang yang impoten, baik dari bawaan lahir ataupun yang hanya sesaat, atau seseorang yang hasrat seksualnya bisa dianggap nontradisional. Istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai “queer”.

Sikap dalam agama-agama pramodern di India, termasuk Buddhisme, Hinduisme, dan Jainisme, cenderung meremehkan paṇḍaka atau queer. Mereka dikhawatirkan akan “menggoda” umat lainnya dan, karenanya, tidak diakui dalam proses penahbisan kehidupan monastik. Catatan-catatan semacam itu bisa kita temukan dalam literatur Buddhisme awal yang berusia lebih dari 2.000 tahun.

Bahkan, hingga saat ini, untuk diterima menjadi bagian dari kehidupan biara Buddha, seseorang harus memenuhi sejumlah persyaratan. Ini termasuk memiliki alat kelamin yang jelas.

Buddhist monks with shaved heads and wearing traditional orange robes sit on the floor of a temple.
Seumur hidup, para biksu Buddha melakukan praktik meditasi dan doa. Evan Krause for Unsplash, CC BY-ND

Pengecualian queer

Satu masalah tentang penyertaan individu LGBTQ dalam komunitas Buddha adalah bahwa jenis kelamin nonbiner mereka dianggap tidak masuk ke kategori manapun dalam struktur empat pilar sangha. Hal lainnya adalah kekhawatiran terkait upaya menjaga kemurnian dan reputasi ordo monastik selibat (tidak boleh kawin).

Oleh karena itu, kerangka Buddhisme ini menekankan cara menciptakan dan memelihara keteraturan monastik sebagai komunitas teladan etis yang mampu mengejar praktik spiritual.

Dalam Buddhisme, ada keyakinan bahwa apa yang kita tuai dari tindakan moral kita di masa lalu, akan berwujud dalam tubuh kita. Tubuh Buddha yang sempurna dianggap sebagai hasil dari kebajikannya.

Teks Buddhisme tradisional mengajarkan bahwa ekspresi seksual dan queerness memiliki implikasi secara etika. Menjadi queer secara seksual menyiratkan seolah adanya karma dari tindakan negatif di masa lalu. Dalam beberapa kasus, ini dijadikan dasar pembenaran untuk mengucilkan mereka dari kehidupan monastik – tetapi bukan dari praktik Buddha secara umum.

Referensi terkait umat Buddha LGBTQ dalam literatur Buddhisme pramodern masih sangat sedikit dan jarang. Kalaupun ada, sebagian besar berupa perintah untuk membatalkan penahbisan mereka seperti yang termuat dalam literatur tentang Vinaya, yakni istilah terkait kedisiplinan praktisi Buddhisme.

Pergeseran norma seksual

Karena kurang terwakili dalam praktik biara Buddha, umat Buddha LGBTQ dalam beberapa dekade terakhir telah berusaha untuk lebih dilibatkan dalam komunitas ini.

Beberapa penampil kathoey – istilah untuk menyebut perempuan transgender atau laki-laki gay yang tidak sesuai dengan kategori gender tradisional di Thailand – telah menerima penahbisan monastik berdasarkan jenis kelamin mereka ketika lahir. Namun, hal ini tak lepas dari kontroversi.

Dewan Sangha Thailand, badan yang mengatur ordo Buddha di Thailand, mencoba untuk melarang praktik-praktik tersebut pada tahun 2009.

Buddhisme Thailand adalah bagian dari tradisi Theravada, dipraktikkan juga di Sri Lanka dan di banyak bagian Asia Tenggara. Di luar tradisi Theravadam dan dalam Mahāyāna dan Vajrayāna, prasyarat untuk memiliki identitas cisgender agar bisa ditahbiskan sebagai praktisi kehidupan monastik mulai berubah.

Seorang biksu yang tidak ditahbiskan secara penuh dalam tradisi Theravada karena identitas queer-nya, bisa diterima di komunitas Buddha Tibet di India.

Michael Dillon, contohnya, lahir sebagai anak perempuan di London Barat pada tahun 1915 – ia sebelumnya bernama Laura. Ia ditolak untuk mendapat penahbisan secara penuh dalam tradisi Theravada setelah “terungkap” menjadi transgender. Namun, Dillon ditahbiskan kembali sebagai biksu pemula dalam tradisi Tibet dan dijanjikan penahbisan penuh – sayangnya ia meninggal sebelum itu terjadi. Dillon menulis buku pendek tentang perjuangannya mengubah gender dan diterima dalam komunitas Buddha. Dalam bukunya, ia berpendapat bahwa ajaran Buddha harus mengakomodasi definisi gender yang lebih luas.

Contoh lain adanya praktisi monastik yang transgender dan queer di antara penganut Buddha Tibet termasuk Tenzin Mariko, Buddhis Tibet pertama yang secara terbuka mengemban identitas transgender. Mariko yang merupakan mantan biksu dan kontestan Miss Tibet 2015 sekarang menjadi aktivis hak LGBTQ. Dia sering mengatakan bahwa inspirasinya bersumber dari pelatihan monastik dan ajaran Buddha terkait kebaikan.

Tashi Choedup, seorang praktisi monastik transgender, juga pernah menceritakan pengalamannya tentang gurunya yang tidak pernah menanyakan tentang identitas gender mereka, sesuai ajaran Vinaya, selama penahbisannya. Choedup menghadiri lembaga monastik Buddha yang inklusif, yang tidak membeda-bedakan gender secara kaku. Choedup sekarang bekerja untuk membangun kesadaran dan inklusivitas bagi komunitas transgender Buddha.

Penafsiran dogmatis tentang keanggotaan dalam komunitas monastik yang membatasi penahbisan kathoey dan Dillon tampaknya mulai berubah. Pengalaman Mariko dan Choedup menunjukkan adanya kemajuan dan menjanjikan perubahan kelembagaan yang lebih luas bagi umat Buddha.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now