Menu Close
Kerusuhan terjadi di beberapa titik di Jakarta setelah aksi demo yang dilakukan pendukung calon presiden Prabowo Subianto tanggal 22 Mei yang lalu. Pendukung Prabowo memprotes keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan petahana Joko “Jokowi” Jokowi terpilih kembali menjadi presiden. Mast Irham/EPA

Aksi demo 22 Mei: massa yang ‘gila’ dan respons yang tepat

Banyak orang telah memperkirakan akan adanya demonstrasi besar menyambut penetapan hasil pemilihan presiden (pilpres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pendukung calon presiden Prabowo Subianto yang tidak puas dengan hasil hitung akhir KPU yang menyatakan petahana Joko “Jokowi” Widodo menang pada 21 Mei dini hari menggelar aksi protes mereka pada sore harinya.

Dari aksi protes yang berjalan damai, aksi kemudian mengganas tengah malam. Beberapa orang melakukan provokasi, merusak kawat berduri yang terpasang memagari kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Banwaslu) dan menyerang polisi dengan batu dan petasan. Polisi mencoba memukul balik massa aksi dengan gas air mata, tetapi massa justru semakin brutal.

Hingga saat ini ada 80 korban dilarikan ke rumah sakit. Tirto melaporkan dua orang di antaranya meninggal.

Menyaksikan rangkaian peristiwa itu di berbagai kanal berita, banyak di antara kita tertegun dan bertanya-tanya. Mengapa peserta aksi protes menjadi sedemikian agresif? Dan apakah respons yang tepat untuk menghadapi massa yang agresif ini? Artikel ini berusaha memberi penjelasan.

Massa yang gila

Para psikolog sosial telah lama mempelajari motivasi dan perilaku orang di kerumunan.

Penelitian-penelitian yang ada hampir seluruhnya sepakat bahwa kerumunan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap mentalitas individu-individu di dalamnya.

Gustav Le Bon, pionir bidang riset ini, sering menggambarkan, saat berada di dalam kerumunan, orang gampang menjadi “gila”.

Mereka mudah lepas kendali atas dirinya sendiri, menjadi tidak rasional, dan gampang hanyut oleh arus kerumunan.

Sosok individu bisa hilang dan tergantikan oleh rasa kesetiakawanan kelompok. Pada titik inilah, orang menjadi rentan terprovokasi oleh pemimpin kelompok aksi, dan melakukan tindakan agresif yang tidak akan dia lakukan dalam situasi sendirian.

Nilai-nilai moralitas terkadang bisa membuat keadaan menjadi lebih parah.

Penelitian saya pada tahun 2018 menunjukkan bahwa tingkat agresivitas sebuah kelompok bisa menjadi semakin parah ketika mereka memperoleh justifikasi moral, misalnya dari nilai-nilai agama, yang membenarkan tindakannya.

Dinamika kelompok yang sama pernah terjadi dengan skala yang lebih besar dan ganas pada kasus kerusuhan dan konflik di Maluku.

Respons yang tepat

Respons dari pihak keamanan menjadi amat penting.

Stephen Reicher, psikolog sosial St. Andrews University, Inggris menekankan pihak keamanan harus mampu keluar dari jebakan homogenitas kerumunan massa itu.

Mereka tak boleh memperlakukan orang-orang di dalam kelompok massa secara sama rata.

Rekomendasi ini diberikan oleh dua peneliti psikologi sosial, Clifford Stott dan Stephen Reicher, setelah mereka menganalisis sebuah kasus kerusuhan di Inggris pada 31 Maret 1990.

Pihak keamanan harus mampu mengidentifikasi mana individu-individu yang menjadi motor kerusuhan, dan mana orang-orang yang hanya ikut-ikutan saja.

Pembedaan dalam penanganan ini bisa memecah-belah massa yang menyerang, sehingga agresivitas mereka tidak cepat menyebar.

Di sisi lain, media massa juga harus mampu menyampaikan berita secara akurat.

Jurnalis perlu menyadari bahwa liputan tentang korban dari kelompok massa aksi dapat menyebabkan efek ganda. Berita tentang korban meninggal dapat meningkatkan kewaspadaan, tetapi dapat juga memperluas konflik.

Di satu sisi, pemberitaan penting untuk menggambarkan skala kerusuhan, tetapi bila tidak disajikan secara detail, justru akan menyulut konflik di daerah-daerah lainnya.

Saat memberitakan korban meninggal, misalnya, jurnalis harus menceritakan kronologi peristiwa itu sedetail mungkin.

Misalnya, dalam konteks pemberitaan aksi demo 22 Mei perlu diberitahukan sebelum terjadi bentrokan antara aparat dan massa, sudah ada instruksi bahwa polisi tidak dipersenjatai dengan peluru tajam.

Dalam situasi seperti sekarang ini, orang mudah termakan kabar bohong yang bertujuan meningkatkan skala kerusuhan.

Aksi protes, bila dilakukan secara konstitusional, adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan berdemokrasi.

Tetapi, kita harus memastikan aksi massa itu tetap terbingkai oleh kewarasan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now