Menu Close

Angka KDRT di Indonesia meningkat sejak pandemi COVID-19: penyebab dan cara mengatasinya

Seorang ibu (kanan) sedang berbicara dengan 2 orang guru terkait pendidikan anak-anaknya di Kediri, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

Pandemi COVID-19 merupakan mimpi buruk bagi hampir seluruh orang di dunia. Namun bagi Indah (19), pandemi ini memberi penderitaan yang hebat baginya.

Sejak kakak laki-laki dan istrinya kembali ke rumah orang tua mereka akibat kehilangan pekerjaannya, Indah menjadi target kemarahan saudaranya sendiri.

“Kakak saya kerap memukul, menjambak rambut, dan menendang saya. Saya sekarang mengalami bengkak di daerah perut, dan saya menemukan beberapa luka memar dekat daerah intim saya. Saya juga sering sulit bernapas, karena ia juga memukul bagian dada saya,” cerita Indah kepada The Conversation Indonesia, baru-baru ini.

Indah juga mengatakan bahwa kekerasan yang dialami juga membawa dampak psikologis baginya.

“Saya sering menangis secara tidak sadar ketika saya sedang tidur. Bahkan, saya telah mencapai titik kekhawatiran bahwa saya harus selalu mengunci pintu kamar saya sebelum tidur, karena saya takut ia akan membunuh saya saat tidur,” kata Indah.

Indah sudah sempat berniat untuk melapor ke Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), namun kedua orang tuanya mencegahnya. Menurut mereka, kejadian ini merupakan aib keluarga yang sebaiknya tidak diceritakan kepada orang lain.

Kasus Indah merupakan salah satu contoh dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang semakin meningkat sejak adanya pandemi.

Komnas Perempuan melaporkan bahwa KDRT menjadi kasus yang kekerasan yang paling banyak dilaporkan. Terdapat 319 kasus kekerasan yang telah dilaporkan semasa pandemi. Dua pertiga dari angka tersebut merupakan kasus KDRT.

Data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga menunjukkan bahwa terdapat 110 kasus KDRT yang telah dilaporkan, sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari tanggal 16 Maret sampai 20 Juni. Dalam kurun waktu 3 bulan tersebut, angka kasus KDRT telah mencapai setengah dari angka kasus KDRT selama 2019.

Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan. Hal ini menambah daftar kerentanan yang dialami perempuan-perempuan di Indonesia.

Kerentanan perempuan

Sebuah penelitian baru dari Flinder University di Australia membahas tentang kerentanan perempuan selama masa pandemi .

Penelitian ini menemukan bahwa salah satu alasan angka KDRT meningkat pada masa pandemi adalah akibat bertambahnya berbagai bentuk kerentanan perempuan.

Pembatasan Sosial Berskala Besar di Indonesia sebagai langkah pencegahan COVID-19 memaksa korban KDRT untuk tinggal di rumah bersama pelaku KDRT. Tumisu/Pixabay, CC BY

Kerentanan ini sering terjadi karena beban domestik perempuan juga meningkat selama pandemi ini.

Perempuan tidak hanya memiliki tugas untuk mengurus rumah tangga, beberapa dari mereka juga mengemban tugas untuk menjadi guru bagi anak-anaknya.

Beban ini meningkat karena saat ini anak-anak sedang beradaptasi dengan sistem belajar daring pada masa pandemi. Saat ini perempuan juga bertugas sebagai guru privat bagi anak-anaknya karena ditutupnya sekolah-sekolah selama pandemi.

Ibu yang bekerja juga harus membagi waktu agar dapat tetap produktif mengerjakan pekerjaannya di rumah. Akibatnya, mereka harus mampu melakukan berbagai peran ganda ini dan hal tersebut dapat menambah beban yang cukup berat bagi perempuan.

Sebuah kajian dari Komnas Perempuan menemukan bahwa saat masa pandemi, perempuan di Indonesia menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk melakukan tugas rumah tangga - 4 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Dan ketika perempuan tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, mereka menjadi lebih rentan menjadi target tindak kekerasan.

Di Indonesia, perempuan dianggap bertanggung jawab dalam menyiapkan dan menyediakan makanan. Namun, nyatanya, pandemi ini telah membuat perempuan kesulitan untuk memenuhi tanggung jawab ini.

Harga makanan telah melonjak karena adanya pandemi, dan data terbaru menunjukkan bahwa perempuan Indonesia terpaksa harus menghabiskan uang yang lebih banyak untuk membeli bahan makanan untuk keluarga.

Selain itu, banyak perempuan dari kelas menengah atas yang tidak lagi mendapatkan bantuan dari pekerja rumah tangga atau saudara-saudara mereka yang biasa membantu mereka menyediakan makanan bergizi untuk keluarganya, karena adanya PSBB.

LBH APIK menjelaskan bahwa perempuan akan lebih rentan terhadap KDRT, ketika rumah tangganya mengalami kekurangan makanan.

Kesulitan ekonomi pada masa pandemi juga meningkatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan.

Pandemi ini telah menyebabkan banyak orang mengalami pemotongan gaji, bahkan kehilangan pekerjaan. Ketika pendapatan rumah tangga berkurang, ketegangan dalam rumah tinggi akan meningkat. Perempuan akan menjadi sasaran bagi para pelaku kekerasan, yang sering kali menggunakan kesulitan finansial sebagai alasan di balik kekerasan yang dilakukan.

“Kita sering kali melihat bahwa korban KDRT berasal dari rumah tangga miskin. Tekanan dari sisi kesehatan dan ekonomi, ditambah adanya PSBB, dapat menambah beban bagi banyak orang, yang dapat menyebabkan konflik,” kata Karel Karsten Himawan, dosen psikologi Universitas Pelita Harapan.

Ketika perempuan menjadi lebih rentan karena meningkatnya beban domestik dan kesulitan ekonomi, kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19 justru menyebabkan perempuan kesulitan untuk mencari bantuan ketika mengalami kekerasan.

Walaupun kebijakan PSBB Indonesia tidak terlalu ketat dibandingkan negara lain, akses terhadap kesehatan dan pendidikan menjadi sangat terbatas.

Menurut Yayasan Pulih, sebuah yayasan yang menawarkan layanan psikologis bagi korban KDRT dan trauma lainnya, korban KDRT mengalami penderitaan yang semakin besar karena mereka terisolasi dari berbagai sistem yang dapat membantu mereka.

Maria Ulfa Anshor, anggota Komnas Perempuan, juga mengatakan bahwa kesulitan paling signifikan yang organisasinya hadapi adalah membantu korban dalam mengakses bantuan.

Saat ini, ketika hendak melapor korban KDRT diwajibkan membawa hasil tes yang menyatakan mereka negatif dari COVID-19, sebuah proses yang cukup merepotkan bagi para korban.

“Jika korban mengunjungi rumah sakit atau Puskesmas untuk mendapatkan tes COVID-19, mereka tidak dianggap sebagai prioritas karena mereka bukan orang tua dan tidak menunjukkan gejala COVID-19,” kata Maria.

Cara mendapatkan bantuan: online dan mencari dukungan komunitas

Indah membagikan pengalamannya di Twitter untuk mencari pertolongan secara online. Menurut Indah, Twitter merupakan ruang aman baginya karena orang tuanya yang bukan pengguna media sosial tidak akan mengetahuinya. Media sosial, bagi Indah, juga dapat memberikan bantuan secara mental.

Melalui media sosial, korban dapat mengakses informasi yang dapat membantu orang mengenali praktik KDRT. Konten ini membantu korban untuk mengidentifikasi pengalamannya masing-masing dan mendorong kesadaran mereka untuk melapor.

Sebagai contoh, baru-baru ini, Yayasan Perempuan Kanada merilis Signal for Help, sebuah signal yang dapat dikirim oleh para korban kekerasan secara diam-diam video melalui ketika mereka memerlukan pertolongan.

Signal for Help, tanda sederhana yang dapat dikirim oleh korban kekerasan dalam rumah tangga secara diam-diam untuk mengindikasikan bahwa mereka sedang mengalami kekerasan. https://canadianwomen.org/signal-for-help/

Berbagai organisasi di Indonesia juga berusaha memberikan layanan sejenis. Organisasi seperti Yayasan Pulih menyediakan layanan psikologis dalam bentuk artikel, konten sosial media dan webinar yang membahas topik-topik tentang kekerasan.

“Selama pandemi ini, banyak hotline KDRT yang dapat diakses oleh korban dan para saksi mata. Ketika mengalami atau menyaksikan kekerasan, segera hubungi hotline tersebut,” kata Siti Mazuma, Direktur LBH APIK.

Siti juga menekankan pentingnya memperhatikan kesehatan psikologis dari korban melalui hotline yang disediakan.

“Aspek penting dari pertolongan ini adalah sisi psikologis para korban. Pada banyak kasus, korban telah memiliki niat untuk melapor, namun mereka tidak siap secara psikologis. Hal yang sering terjadi adalah, ketika pelaku mulai menangis atau ketika polisi menyuruh mereka untuk menarik kembali laporannya, para korban akan sangat mudah goyah,” kata Siti.

Namun, beberapa korban juga menganggap bahwa mencari bantuan secara daring bukan cara yang paling efektif.

Mawar (bukan nama sebenarnya, 17 tahun) bercerita bahwa ia pernah mencoba menelepon hotline KDRT setelah ia dan ibunya mengalami kekerasan dari ayahnya.

“Saya mem-posting beberapa tweet tentang kejadian ini. Bahkan, saya juga membagikan alamat rumah saya kepada followers saya karena saya merasa akan terjadi hal-hal lainnya yang jauh lebih buruk. Saya pun meminta followers saya untuk membantu mengakses nomor hotline yang disediakan. Saya telah mencoba menelepon, namun tidak ada jawaban,” kata Mawar.

Oleh karena itu, Diahhadi Setyonaluri, peneliti buruh perempuan dari Universitas Indonesia merekomendasikan pendekatan berbasis komunitas.

“Pelaporan dan pengawasan di tingkat komunitas juga penting, apalagi ketika korban sendiri bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami KDRT, padahal sering kali tetangganya yang malah menyadarinya. Tetangga dapat membantu korban untuk menjaga jarak fisik dengan pelaku, ketika kekerasan bertambah parah. Hal ini merupakan pekerjaan bersama dalam suatu komunitas untuk saling menjaga satu sama lain,” ujarnya.

Indonesia merupakan negara yang menekankan pentingnya solidaritas sosial dalam masyarakat, atau yang biasa disebut dengan gotong royong.

“Ini merupakan usaha jangka panjang karena masalah ini juga berkaitan dengan norma yang ada pada masyarakat,” kata Diah.

Norma yang bersumber pada patriarki dan juga nilai-nilai keagamaan yang menganggap laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding perempuan masih sangat dominan di Indonesia, negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.

Akibat keyakinan ini, banyak orang percaya bahwa memukul perempuan merupakan hal yang wajar karena perempuan harus selalu mematuhi suami.

“Maka dari itu masyarakat harus mulai memahami bahwa memukul perempuan dapat dikategorikan sebagai KDRT, dan perlu adanya advokasi untuk melawan terjadinya bentuk KDRT tersebut,” kata Diahhadi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now