Menu Close

Apa itu gencatan senjata dan mengapa begitu sulit untuk dilakukan dalam perang di Gaza?

OLIVIER MATTHYS/EPA

Pembicaran, dan tuntutan, untuk pelaksanaan gencatan senjata tengah menyeruak di seluruh dunia, bahkan sejak sepekan setelah serangan yang terjadi pada 7 Oktober 2023 oleh tentara Hamas terhadap warga sipil di Israel.

Perang telah berlangsung selama lebih dari enam pekan, dan seruan gencatan senjata semakin kencang terdengar. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi Gedung Putih pada Senin, 13 November 2023, dan berkata pada Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bahwa “gencatan senjata adalah suatu keharusan, demi kemanusiaan.”

Israel sejauh ini menolak membahas gencatan senjata tanpa pembebasan 240 sandera yang ditahan oleh Hamas.

Namun, apa sebenarnya arti gencatan senjata? Bagaimana cara kerjanya? Kesepakatan seperti apa yang akan efektif di Gaza?

Para aktivis perdamaian Yahudi dan aliansinya di Chicago menuntut Amerika Serikat untuk memaksa Israel melakukan gencatan senjata di Gaza. Anthony Vazquez/Chicago Sun-Times/AP

Beda istilah, beda makna

Hampir sama tuanya dengan konflik itu sendiri, istilah gencatan senjata (ceasefire) adalah cara kuno untuk memformalkan penghentian kekerasan bersenjata antara pihak-pihak yang bertikai untuk jangka waktu tertentu. Secara historis, dalam Bahasa Inggris, sinonim yang sering digunakan adalah truce dan armistice.

Yang mengejutkan adalah ternyata hukum humaniter internasional tidak memiliki aturan khusus tentang kapan gencatan senjata harus dinegosiasikan, apa saja yang harus ada di dalam kesepakatannya, maupun bagaimana cara menerapkannya.

Baru dalam 50 tahun terakhir ini saja gencatan senjata menjadi terminologi yang biasa digunakan dalam fenomena-fenomena terkait peperangan. Serangkaian terminologi baru juga acap kita gunakan untuk menggambarkan “gencatan senjata”. Maknanya antara lain:


Read more: Israel-Hamas war: there is an important difference between a humanitarian pause and a ceasefire


Banyak dari istilah-istilah tersebut telah digunakan dalam konflik di Gaza. Sebagai contoh, pada akhir Oktober, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan yang segera, dalam waktu yang lama, dan berkelanjutan yang mengarah pada penghentian pertikaian”.

Di Dewan Keamanan, AS menyerukan “jeda kemanusiaan”, bukan “gencatan senjata”. Sementara itu, Rusia menuntut “gencatan senjata kemanusiaan”. Mereka tidak puas dengan istilah “gencatan senjata” ataupun “jeda”.

Pekan ini, Hamas mengatakan mereka bersedia untuk membebaskan 70 sandera dengan imbalan “gencatan senjata” selama lima hari.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya menolak “gencatan senjata sementara”. Namun, di bawah tekanan dari AS, Israel akhirnya setuju untuk menerapkan “jeda kemanusiaan” selama empat jam setiap hari.

Meskipun ada upaya untuk membedakan antara istilah-istilah ini, negara-negara terus memberikan penekanan dan menerapkan makna yang berbeda pada istilah-istilah tersebut secara ad hoc. Ini mempersulit jalan untuk menemukan titik temu.

Apa yang bisa dilakukan di Gaza sebagai gantinya

Jika kita tidak memiliki definisi yang sama sebagai titik awal, bagaimana mengharapkan kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan untuk menegakkan gencatan senjata?

Sejauh ini di Gaza, jawabannya adalah tidak ada. Mungkin terlalu sederhana untuk mengatakan bahwa “kata-kata” adalah hal yang kita–sebagai manusia–gunakan untuk memahami dan mengatur dunia. Namun, dalam konteks ini, kita memerlukan hal-hal yang lebih spesifik.

Bisa dibilang, jika hanya berfokus pada penghentian pertempuran (apapun sebutannya), kita melupakan bahwa mungkin ada banyak faktor dan tindakan penting lainnya yang bisa ataupun tidak termasuk dalam istilah “gencatan senjata”, tapi maknanya bisa diartikan lebih luas lagi.

Sebagai contoh, Israel dan Hamas mungkin akan mencapai kesepakatan jika para negosiator berfokus pada rincian atau isu-isu yang lebih spesifik, seperti:

  • Jumlah persenjataan yang digunakan oleh kedua belah pihak setiap hari, dan jenis persenjataannya

  • di mana atau apa yang menjadi sasaran kedua belah pihak

  • Jumlah konvoi bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza, dari mana asalnya, ke mana tujuannya, dan apa yang mereka bawa

  • jumlah dan/atau kewarganegaraan para sandera yang akan dibebaskan dan kapan waktu yang tepat.

Saya bukan negosiator dan ini bukan daftar masukan yang lengkap. Apa yang ingin saya gambarkan adalah, upaya-upaya negosiasi gencatan senjata tidak boleh diprioritaskan di atas upaya untuk memberikan jeda waktu yang lebih nyata dalam penghentian pertempuran yang bisa berdampak lebih nyata.


Read more: There's nothing ‘humanitarian’ about a humanitarian pause in Gaza


Gencatan senjata bisa juga menjadi masalah

Pada saat yang sama, kita tidak boleh melupakan bahwa gencatan senjata juga dapat menimbulkan konsekuensi tidak diinginkan. Seringkali konsekuensi ini jauh dari “menguntungkan, positif, atau kemanusiaan”, atau sifat-sifat lainnya yang kita harapkan dari gencatan senjata.

Sebagai contoh, di Suriah, gencatan senjata lokal dan perjanjian rekonsiliasi telah digunakan selama perang saudara untuk mengizinkan evakuasi warga dari rumah mereka di tempat-tempat seperti Old Homs dan Daraya.

Setelah itu, Suriah juga memberlakukan sejumlah keputusan presiden yang memungkinkan rezim pemerintah untuk mengambil alih properti mereka secara permanen. Proyek-proyek rekonstruksi dan pembangunan yang didukung oleh negara seperti Kota Basila (yang ironisnya berarti “Kota Damai” dalam bahasa Aram kuno), Marouta, dan Homs Dream kemudian dibangun di atas tanah yang diperoleh melalui perjanjian gencatan senjata.

Demikian juga selama invasi Rusia ke Ukraina, koridor kemanusiaan diterapkan sehingga memungkinkan penduduk kota Mariupol, yang awalnya terkepung, untuk mengungsi. Namun, tak lama setelah itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menuduh Rusia memasang ranjau darat di dalam koridor tersebut untuk menggagalkan upaya evakuasi warga sipil.

Contoh lainnya, koridor kemanusiaan yang diusulkan Rusia tidak menggiring warga sipil menuju tempat yang aman, tetapi justru ke arah Rusia atau sekutu dekatnya, Belarusia.

Warga berlindung di tempat perlindungan bom di Mariupol, Ukraina, pada Februari 2022. Evgeniy Maloletka/AP

Israel juga mengumumkan pembentukan “koridor aman” untuk memungkinkan pemindahan massal warga sipil Gaza dari utara ke selatan itu. Relokasi ini seharusnya dilakukan demi keselamatan warga sipil, meskipun pada kenyataannya Israel tetap melancarkan serangan udara yang membunuh warga sipil yang tengah evakuasi. Banyak juga yang khawatir bahwa “koridor aman” tersebut bertujuan menjadi pengungsian permanen bagi warga Gaza.

Israel dilaporkan juga telah mengumpulkan dukungan untuk koridor kemanusiaan yang akan mengarahkan warga Palestina ke semenanjung Sinai di Mesir, yang pada akhirnya membuat mereka menjadi masalah bagi Mesir. Sedikit kemungkinannya mereka akan dapat kembali ke tanah mereka di Gaza. Gagasan tersebut telah ditolak oleh Palestina dan Mesir.

Gencatan senjata hanyalah permulaan

Terlepas dari semua itu, gencatan senjata mungkin merupakan “alat” terbaik yang pernah dibuat manusia untuk menghentikan konflik bersenjata sementara waktu.

Oleh karena itu, mengingat penderitaan warga sipil di kedua belah pihak dalam konflik Israel-Hamas, sangat penting untuk melakukan gencatan senjata. Namun, kita tidak boleh dibutakan oleh seruan gencatan senjata (atau apapun istilah yang digunakan), melainkan tetap harus waspada terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh gencatan senjata itu sendiri.

Bagaimanapun, gencatan senjata berupa penghentian kekerasan selama empat jam, empat hari, atau empat bulan hanya akan menjadi awal dari kewajiban besar untuk keamanan dan stabilitas jangka panjang yang berarti bagi Palestina dan Israel.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now