Menu Close

Apa itu rantai nilai halal dan bagaimana potensinya

Rantai nilai halal atau halal value chain
Ilustrasi makanan halal. stockimagefactorycom/freepik, CC BY

Potensi industri halal terus berkembang seiring dengan jumlah populasi dan tingkat konsumen muslim yang terus meningkat. State of the Global Islamic Economy Report 2020-2021 menyatakan bahwa konsumen muslim berkontribusi terhadap peningkatan jumlah belanja di kategori etika berbasis keimanan atau faith-inspired ethical

Dalam kurun waktu empat tahun belakangan, State of the Global Economy Islamic Report – laporan keluaran portal berita dan data ekonomi Salaam Gateway – mencatat bahwa perkembangan konsumsi produk halal sangat pesat. Termasuk ketika terjadinya pandemi COVID-19 rentang tahun 2020-2021, terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 8,9%.

Dalam laporan 2020-2021, Malaysia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia merupakan aktor utama dalam pengembangan industri halal. Baik negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun di luar organisasi tersebut mulai menumbuhkan halal awareness sebagai kebutuhan yang melandasi aktivitas ekonomi.

Eksistensi rantai nilai halal memunculkan berbagai asumsi publik. Satu sisi menganggap bahwa rantai nilai halal merupakan hal yang positif karena dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, di sisi lain juga terdapat pandangan sinis yang menganggap nilai halal dijadikan objek industrialisasi.

Berikut saya membahas apa itu rantai nilai halal, bagaimana hal tersebut diimplementasikan, serta potensinya.

Rantai nilai halal sebagai aplikasi dari industri halal

Pada dasarnya, rantai nilai adalah model bisnis yang mencakup alur kegiatan mulai dari produksi hingga konsumsi barang oleh konsumen, dengan tiap prosesnya membawa nilai tambah. Rantai nilai halal bagi industri halal merupakan “nyawa” yang memberikan kapasitas ethical consumption, yaitu ketika para pengguna memiliki kesadaran tanggung jawab terhadap praktik berkelanjutan.

Produk halal berkaitan dengan prinsip kebermanfaatan di dalamnya. Nilai tambah suatu produk dihitung berdasarkan material dan moral. Proses ini membentuk indikator standar halal yang berlaku secara universal, berdasarkan prinsip ekonomi syariah sebagai dasar hukum. Al-Qur’an dan Hadist menjadi pedoman utama yang menyatakan prinsip ‘halal’ lagi ‘thayyib’ yang bermakna baik dan tidak berlebih-lebihan.

Rantai nilai halal dimulai dari aktivitas produksi, menambah nilai (added value) dan manfaatnya. Dalam aktivitas distribusi, rantai nilai menjaga nilai atau manfaat produk tersebut dalam ruang dan waktu perpindahan produk. Sedangkan dalam aktivitas konsumsi, rantai nilai halal mengacu pada aktivitas membelanjakan dan menggunakan produk bernilai halal.

Klasifiksi rantai nilai halal Indonesia tercantum dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024 dan terbagi dalam beberapa klaster: kuliner, pariwisata, fesyen, media dan rekreasi, farmasi dan kosmetik, energi terbarukan, hingga keuangan Islam. Ini misalnya melarang penggunaan bahan-bahan dari hewan tertentu karena memiliki risiko yang tinggi, melarang produk memabukkan dan beracun, serta larangan menggunakan istilah-istilah yang diharamkan dalam media promosi. Sementara, dalam fesyen terdapat penekanan pada penggunaan pakaian yang menjaga aurat dan dalam keuangan Islam memastikan transaksi bisnis yang adil dan melarang riba.

Perkembangan rantai nilai halal

Perkembangan pasokan dan permintaan rantai nilai halal tumbuh pesat sejalan dengan pergerakan ekonomi Islam.

Regulasi pemerintah, pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota OKI (tumbuh signifikan dari -2,5% pada tahun 2020 ke 3,7% pada tahun 2021), partisipasi dari merek ternama dunia, dan strategi ekonomi Islam nasional mempengaruhi pergerakan pasokan. Sementara, jumlah populasi muslim dunia (mencapai 1,8 miliar pada tahun 2019), nilai-nilai Islam dalam gaya hidup, konektivitas aspek digital, dan pertumbuhan ethical consumption mendorong permintaan.

Secara spesifik, State of the Global Islamic Report memprediksi sektor finansial akan bertumbuh sebesar 9,1% pada tahun 2022. Pertumbuhan ini berlangsung seiring dengan jumlah teknologi keuangan syariah yang sudah mencapai 241 perusahaan di pasar global dan diperkirakan terus meningkat pada tahun 2025. Sedangkan, sektor pariwisata diramalkan akan tumbuh sebesar 50% pada tahun 2022 seiring dengan pemulihan ekonomi.

Setiap negara yang memiliki fokus pada rantai nilai halal memetakan program-program implementasinya. Contohnya adalah Indonesia yang berambisi membangun pusat halal, seperti Halal Modern Valley, yaitu kawasan industri modern Cikande, Banten, sebagai klaster industri halal yang terintegrasi dan terbesar di Indonesia. Selain itu, terdapat upaya untuk mengembangkan standar halal yang dapat diterima semua pihak, kampanye gaya hidup halal, dan program insentif untuk berinvestasi sebagai pendukung rantai nilai halal, dan pemberlakuan sistem sertifikasi halal.

Di sektor wisata, dengan jumlah permintaan masyarakat muslim sebagai wisatawan yang meningkat, sejumlah negara non-OKI turut memberlakukan wisata halal sebagai manifestasi negara ramah muslim. Ini seperti Singapura, Thailand, Jepang, Australia, Afrika Selatan, Prancis, Korea Selatan, Inggris, Spanyol, dan Selandia Baru.

Negara-negara tersebut membangun jasa pariwisata ramah muslim seperti layanan maskapai, hotel, kuliner, dan sarana tempat ibadah, bahkan bebas pajak untuk areal perbelanjaan. Dorongannya, baik bagi negara OKI maupun non-OKI, adalah untuk pemulihan ekonomi akibat dampak dari pandemi COVID-19.

Sekadar branding?

Rantai nilai halal dalam industri kerap memunculkan berbagai asumsi publik yang menganggap bahwa konsep halal merupakan ajang meningkatkan kapasitas reputasi bisnis dan menjadi alat pemasaran semata. Objek bisnis dari rantai nilai halal dapat membentuk suatu branding yang memiliki potensi ekonomi politik, yaitu mendorong daya saing suatu negara.

Branding dapat menghadirkan persepsi konsumen terkait dengan performa suatu produk dan erat kaitannya dengan upaya promosi. Branding halal untuk suatu produk kemudian masuk ke dalam ranah tata kelola halal yang dibuktikan dengan sertifikasi halal.

Asumsi publik bahwa produk halal hanyalah sebagai kepentingan ekonomi semata pada nyatanya tidak menyurutkan kepercayaan masyarakat terhadap produk halal. Sebab, produk halal – utamanya bagi masyarakat – adalah kebutuhan.

Namun, ketahanan industri halal tidak hanya bagi masyarakat muslim dunia. Terlepas dari praktiknya yang berpegang teguh pada praktik keagamaan, nilai yang ditumbuhkan berperan positif terhadap kebermanfaatan universal. Selain dari sisi manfaat yang baik untuk dikonsumsi manusia, hal ini juga baik untuk menjaga lingkungan yang lestari, terutama pada keberlangsungan hidup makhluk hidup di alam bebas.

Industri halal berkembang menjadi kebutuhan bagi masyarakat luas dan dikembangkan oleh negara-negara non-OKI, seperti Singapura, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan dalam skema wisata halal (halal tourism).

Pandangan masyarakat bahwa industri halal berkaitan dengan konsumerisme tidaklah salah. Namun, letak pembedanya adalah bentuk pola pikir konsumen terhadap apakah rantai nilai halal hanya untuk orientasi bisnis semata atau nilai kemaslahatan (kebermanfaatan) di dalamnya yang tentunya berdampak positif terhadap upaya pembangunan berkelanjutan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,100 academics and researchers from 4,950 institutions.

Register now