Menu Close

Apa kata hukum internasional tentang rencana Israel menghancurkan rumah penyerang asal Palestina?

Warga Palestina memblokir jalan untuk memprotes penghancuran rumah oleh pemerintah Israel. Ahmad Gharabli/AFP via Getty Images)

Pascaserangan mematikan yang menewaskan tujuh orang di luar sinagoge (tempat ibadah umat Yahudi) di Yerusalem Timur, pemerintah Israel menyegel rumah pelaku penyerangan, yang merupakan warga Palestina, dan bersiap untuk menghancurkannya. Secara terpisah, rumah keluarga dari seorang anak berusia 13 tahun yang dituduh melakukan penembakan di Yerusalem Timur juga telah ditandai untuk dihancurkan.

Ini hal biasa. Israel telah menghancurkan rumah-rumah ribuan warga Palestina dalam beberapa tahun terakhir. Menghancurkan properti mereka yang dianggap bertanggung jawab atas tindakan kekerasan terhadap warga Israel, atau untuk mencegah tindakan semacam itu, telah lama menjadi kebijakan pemerintah Israel.

Padahal, menurut hukum internasional, cara tersebut ilegal. Sebagai pakar hukum kemanusiaan internasional, saya tahu bahwa meminta pertanggungjawaban keluarga pelaku atas tindakan mereka – bagaimanapun kejinya kejahatan yang diperbuat si pelaku itu – masuk dalam kategori hukuman kolektif. Dan sudah lebih dari 70 tahun terakhir, hukum internasional sudah menegaskan bahwa hukuman kolektif dilarang keras di hampir semua keadaan.

Sayangnya, terkait penghancuran rumah warga Palestina oleh Israel, badan-badan internasional tidak dapat menegakkan larangan tersebut.

Tidak perlu dan tidak sah

Aturan soal bagaimana otoritas pendudukan (occupying powers, negara yang menduduki suatu teritori) harus memperlakukan warga sipil yang diduduki tercakup dalam Konvensi Jenewa Keempat - salah satu dari empat perjanjian yang diadopsi setelah berakhirnya Perang Dunia II sebagai respons atas penjajahan yang mengerikan dan melampaui batas oleh tentara Jepang dan Jerman.

Pasal 33 dari Konvensi 1949 itu menyatakan: “Tidak ada individu yang dilindungi yang boleh dihukum atas pelanggaran yang tidak dilakukannya sendiri. Hukuman kolektif serta semua tindakan intimidasi atau terorisme sepenuhnya dilarang.” Pasal tersebut juga menegaskan: “Pembalasan terhadap individu yang dilindungi dan properti mereka adalah tindakan yang dilarang.”

Karena Israel adalah otoritas pendudukan di mata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), serta di bawah ketentuan Konvensi Jenewa Keempat dan Konvensi Den Haag 1907, maka warga sipil Palestina di bawah pendudukan Israel termasuk dalam kelompok “individu yang dilindungi” oleh Konvensi Jenewa.

Lebih lanjut, Konvensi Jenewa menegaskan kembali tentang orang-orang yang dilindungi dalam Pasal 53: “Segala bentuk perusakan terhadap properti pribadi atau properti pribadi kolektif […] dilarang, kecuali penghancuran tersebut benar-benar diperlukan guna kepentingan operasi militer.”

Peringatan kecil macam itu biasanya berlaku untuk kasus-kasus ketika, misalnya, kelompok perlawanan bersenjata menggunakan rumah milik individu yang dilindungi untuk menembaki pasukan pendudukan. Tapi ini jelas kasus yang berbeda dengan yang terjadi saat ini, karena si pelaku yang melancarkan serangannya di tempat lain.

Hukuman kolektif dilarang tidak hanya oleh instrumen hukum kemanusiaan internasional, tetapi juga oleh konvensi hak asasi manusia (HAM) yang berlaku selama masa damai dan berlangsungnya konflik bersenjata, termasuk selama pendudukan militer.

Dan larangan semacam itu bukan hanya ada dalam hukum internasional, tapi sudah umum di hampir semua sistem hukum di dunia.

Tafsir sempit

Melihat betapa jelasnya hukum internasional, muncul pertanyaan: Bagaimana Israel mencocokkan praktik hukuman penghancuran rumah dengan hukum internasional?

Berdasarkan pandangan sebagian besar ahli hukum kemanusiaan internasional dan pengamat HAM, jawabannya tidak terlalu memuaskan.

Israel meratifikasi Konvensi Jenewa pada tahun 1951. Tetapi pemerintah Israel selalu mengklaim bahwa mereka yang tinggal di wilayah Palestina tidak termasuk dalam objek yang dilindungi oleh Konvensi tersebut karena status teritorinya dipersengketakan.

Argumentasi lainnya yang dikemukakan oleh pemerintah Israel untuk membela diri adalah bahwa mereka hanya menghancurkan properti individu yang terlibat dalam terorisme, sehingga tujuannya adalah pencegahan (deterrence), bukan hukuman.

Namun sejak tahun 1968, Theodor Meron, penasihat hukum Kementerian Luar Negeri Israel, memperingatkan bahwa menurutnya, penghancuran rumah tersangka teror di wilayah pendudukan bertentangan dengan Konvensi Jenewa. Dalam dokumen yang sangat rahasia, Meron menolak interpretasi hukum internasional yang “sempit dan literal” tentang penghancuran rumah.

PBB kalah oleh kekuatan veto AS

PBB telah lama mengutuk penghancuran rumah warga Palestina. Pelapor Khusus PBB, Michael Lynk, berulang kali menekankan bahwa hukuman kolektif melanggar aturan hukum internasional.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu malah menampik kecaman PBB tersebut dan mengklaim bahwa badan internasional itu telah bersikap bias dan “anti-Israel”.

Bagaimana pun juga, PBB tidak berada dalam posisi yang kuat untuk mengambil tindakan. Dewan Keamanan PBB adalah satu-satunya badan internasional yang dapat mengambil tindakan efektif untuk mengecam dan koersif terhadap negara-negara anggota. Tetapi AS kerap memveto resolusi-resolusi yang mengkritisi sekutunya, Israel. AS juga tidak mungkin menekan Israel untuk mengakhiri praktik penghancuran rumah yang menjadi kebijakannya saat ini.

Mahkamah Pidana Internasional memutuskan pada 2021 bahwa pihaknya memiliki dasar yurisdiksi atas apa yang terjadi di wilayah yang diduduki oleh Israel, tetapi penyelidikan apa pun kemungkinan besar akan terhambat oleh sikap tidak kooperatif pemerintah Israel, yang kerap menolak untuk mengakui otoritas pengadilan.

Akibatnya, meskipun penghancuran rumah bertentangan dengan isi dan semangat Konvensi Jenewa, sangat sedikit yang dapat mencegah pemerintah Israel untuk melakukannya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now