Menu Close
Kata “belokan illiberal” digunakan para analis politik untuk menunjuk pada berbagai rupa masalah dalam demokrasi Indonesia. Shutterstock

Apakah penggunaan istilah belokan ‘illiberal’ bermanfaat bagi demokrasi Indonesia?

Para analis politik kerap menggunakan istilah “illiberal turn” (belokan ke arah tidak liberal) untuk menunjuk pada perkembangan politik dan kebijakan politik yang dianggap kemunduran dalam demokrasi. Tapi label ini diterapkan secara serampangan sehingga mengakibatkan kurangnya tawaran solusi yang tepat.

Sebagian menggunakan istilah “illiberal turn” untuk menggambarkan kesuksesan Islamis garis keras untuk memaksakan hukuman pidana dan penjara bagi Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, yang dulu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Yang lain menggunakannya untuk menunjuk pada masalah umum seputar demokrasi seperti berlanjutnya dominasi dan kompetisi antara kelompok-kelompok oligarki.

Yang lain menggunakan variasi dari kata “illiberal” seperti tendensi illiberal, kelas demokratis yang illiberal, atau politik illiberal, untuk menggambarkan persoalan yang berbeda-beda. Tetapi kita tidak mendapatkan kejelasan apa sesungguhnya belokan illiberal ini.

Bagaimana cara mengenali ‘belokan illiberal’?

Penggunaan kata “illiberal” tampaknya bersumber dari konsep demokrasi illiberal. Tetapi para ilmuwan politik belum sepakat tentang makna konsep ini dan apakah ia bersifat universal. Beberapa pengamat mengatakan demokrasi memiliki dua bagian menonjol: elektoral (pemilihan umum yang terbuka dan adil) dan liberal (penegakan hukum dan perlindungan terhadap kebebasan dasar). Menurut mereka demokrasi harus memenuhi dua kriteria tersebut. Maka negara demokratis yang rezimnya dipilih melalui pemilu tapi penegakan hukumnya gagal melindungi kebebasan setara bagi semua individunya adalah illiberal.

Namun yang lain menantang pandangan bahwa liberalisme demokratis adalah universal, terutama dalam konteks kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan ini memiliki gagasan yang berbeda berkenaan dengan pemerintahan dan liberalisme. Terkadang, sebagian besar masyarakat malah berharap pemerintah, misalnya, untuk melakukan “intervensi” atas nama mereka dan mengutamakan kepentingan orang banyak di atas kebebasan individual. Jika demikian, mengapa premis liberal-illiberal dianggap cocok untuk menilai Indonesia?

Lebih jauh, banyak dari kemunduran demokrasi Indonesia—seperti politik uang dan orang-orang kuat Orde Baru yang memasuki rezim baru, berangkat dari cacatnya transisi Reformasi 1998. Maka jangan-jangan Indonesia tidak pernah ada dalam jalur liberal sejak awal?

Penggunaan kata “belokan” juga tidak jelas. Suatu “belokan” artinya negara-negara yang sedang mengalami proses demokratisasi, seperti Indonesia, sedang ada dalam jalur liberal, tapi lalu belok ke jalur illiberal. Tetapi jika tidak ada kesepakatan mengenai ciri-ciri jalur liberal, bagaimana kita bisa yakin di mana, kapan, dan bagaimana “belokan” terjadi?

Lebih jauh, jika mayoritas negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia memang sejak awal adalah “demokrasi illiberal”, maka gagasan telah terjadi “belokan” tidak berdasar. Hampir semua negara-negara Asia Tenggara, misalnya, selalu memprioritaskan stabilitas politik, keamanan rezim, dan kedaulatan negara. Warganya juga semakin lama semakin memilih “melawan ketidaktertiban” dan memilih kandidat yang mempromosikan ketertiban ketimbang prinsip hukum. Pemerintahannya pun rata-rata lebih “berorientasi pada kinerja” dan terobsesi untuk melempangkan “pemerintahan efektif”, terkadang dengan mengorbankan kebebasan individual.


Baca juga: Demi rekonsiliasi, memahami sejarah tragedi 1965 harus menyeluruh


Akurasi konseptual penting

Akibat dari ketidakjelasan konseptual ini, para analis menggunakan kata seragam “illiberal” untuk masalah yang berbeda-beda. Hal ini bisa mendorong debat tak berkesudahan, meributkan bukti-bukti selektifnya masing-masing untuk mendukung penggunaan kata “illiberal”. Jika kita tidak hati-hati menggunakan premis liberal-illiberal untuk memotret perjalanan demokrasi Indonesia, maka akan semakin sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan diagnosa yang tepat.

Ambil contoh masalah yang dikutip para analis di atas. Mereka secara akurat menangkap beberapa masalah seperti problem mobilisasi politik sektarian dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. Selain itu mereka juga menangkap gejala perkawinan oligarki dan politik uang secara tepat. Tetapi, yang sulit dijawab adalah: lantas apa yang harus kita lakukan?

Ketika kemunduran-kemunduran ini dicampuradukkan dalam satu kerangka “belokan illiberal”, maka gejala-gejala ini dianggap sebagai masalah struktural jangka panjang. Bagaimana memperbaiki masalah struktural ini? Apa yang harus kita lakukan sementara menunggu solusi jangka panjang seperti penguatan masyarakat sipil?

Daripada menyelesaikan sejumlah tantangan yang sifatnya umum atau abstrak seperti belokan illiberal, mungkin sebaiknya ilmuwan dan analis politik Indonesia fokus pada masalah spesifik secara lebih dalam. Misalnya, mungkin lebih baik jika kita secara sistematis menganalisis mengapa mobilisasi politik sektarian di Jakarta terbukti efektif memenangkan perebutan kursi gubernur? Sudah ada penjelasan yang berbeda-beda mengenai masalah ini. Kita membutuhkan data dan penelitian yang lebih baik dan sistematis untuk mengevaluasi mobilisasi sektarian. Ini lebih produktif daripada berpijak atau mengejar konsep setengah matang seperti belokan illiberal.

Contoh lain, ada anggapan bahwa jenderal-jenderal senior akhir-akhir ini semakin sibuk berpolitik. Jika kita pandang fenomena ini sebagai gejala belokan illiberal lagi, maka kita mengulang kembali debat kusir tentang relasi sipil-militer dan reformasi politik. Tapi dengan diagnosis spesifik dan fokus empiris yang lebih dalam — bukan mengejar konsep abstrak — kita bisa memeriksa apakah tindakan mereka mungkin lebih digerakkan oleh tantangan kelembagaan seperti kemacetan promosi jabatan di tubuh TNI.

Singkatnya, kita harus menghindari label-label atau konsep-konsep setengah matang yang sekadar menjadi kerangka umum dan memilih fokus pada masalah spesifik secara mendalam. Ke depan, kita harus mengisolasi masalah-masalah secara ketat dan sistematis. Jika tidak, maka kita mungkin gagal memahami bagaimana satu masalah mempengaruhi masalah lainnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now