Menu Close
woke di gerakan sosial
Konsep “woke” telah berubah menjadi karikatur. Samantha Sophia/Unsplash, CC BY-SA

Asal-usul kata woke dan mengapa marketer harus berpikir dua kali sebelum terjun ke aktivisme sosial

Pertama kali digunakan pada tahun 1940-an, istilah woke muncul kembali dalam beberapa tahun terakhir sebagai sebuah konsep yang melambangkan kesadaran akan isu-isu sosial dan gerakan melawan ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan prasangka.

Namun, popularitas telah melunturkan makna “woke” dan membuat ide ini diterapkan dengan sinis pada berbagai hal, mulai dari minuman ringan hingga pisau cukur. Ini akhirnya mengundang kritik bahwa penerapannya berlebihan.

Salah satu contoh penggunaan istilah ini adalah judul berita utama majalah New Yorker yang bercerita tentang hasil masakan seorang koki vegan, yang berbunyi: “What’s in a Woke McRib?”

Woke pada awalnya dikaitkan dengan orang kulit hitam Amerika yang melawan rasisme, namun kemudian diadaptasi oleh kelompok aktivis lainnya. Fenomena ini bertransformasi dari persoalan warna kulit dan kesadaran menjadi fenomena yang tidak berwarna dan tak lekang oleh waktu.

Namun, muncul bahaya terkait dengan menampilkan “kesadaran” secara berlebihan - contohnya Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang digambarkan sebagai “akun Twitter keadilan sosial yang berjalan dengan dua kaki”.

Sejarah “woke” dan maknanya

Warga Amerika kulit hitam dalam perjuangannya melawan rasisme dan ketidakadilan sosial telah menggunakan istilah woke pada saat-saat penting dalam sejarah.

Secara harfiah, woke artinya bangun dan tidak tertidur. Salah satu kontributor Urban Dictionary mendefinisikan woke sebagai “menyadari kebenaran di balik hal-hal yang orang tidak ingin kamu ketahui”. Ada pula definisi yang mengandung pergeseran makna, yakni “tindakan yang sangat berlebihan dalam hal kepedulian terhadap suatu masalah sosial”.

Kamus Oxford memperluas definisi kata woke pada 2017 dengan menambahkannya sebagai kata sifat yang berarti “waspada terhadap ketidakadilan dalam masyarakat, terutama rasisme”.

Pada volume pertama Negro Digest tahun 1942, J. Saunders Redding menggunakan istilah ini dalam sebuah artikel tentang serikat buruh. Dua puluh tahun kemudian, terbit sebuah artikel di New York Times berjudul: If You’re Woke You Dig It: No mickey mouse can be expected to follow today’s Negro idiom without a hip assist.

Pada tanggal 14 Juni 1965, Martin Luther King Jr, memberikan pidato wisuda yang berjudul Remaining Awake Through a Great Revolution di Oberlin College:

Tidak ada yang lebih tragis daripada tertidur selama revolusi […] Angin perubahan sedang bertiup, dan kita melihat perkembangan yang signifikan di zaman kita […] Tantangan besar yang dihadapi setiap individu yang diwisuda hari ini adalah tetap terjaga melalui revolusi sosial ini.

Maju ke tahun 2008, Erykah Badu menyanyikan I stay woke dalam lagu populernya Master Teacher. Pada bulan Juli 2012, Badu mencuit di Twitternya sebuah pesan untuk stay woke (tetap terjaga) sebagai bentuk solidaritas terhadap grup rock Rusia Pussy Riot. Ini menandai perluasan perjuangan melawan ketidakadilan sosial ke konteks yang lain.

Penggunaan istilah “Woke”

Dari 26 Februari 2012 hingga 19 April 2015, serangkaian insiden terkait perlakuan polisi terhadap pemuda kulit hitam Amerika menarik perhatian dan memicu letusan aktivisme keadilan sosial dan kesetaraan. Pada musim panas 2013, setelah George Zimmerman dinyatakan tidak bersalah atas pembunuhan seorang remaja bernama Trayvan Martin, tanda pagar (tagar atau hashtag) #blacklivesmatter muncul di Twitter, mendesak orang-orang untuk tetap terjaga dan sadar akan perjuangan ras.

Sebuah tinjauan terhadap kata kunci Google menunjukkan bahwa pencarian untuk mendefinisikan wokeness melonjak setelah tahun 2015 dengan frasa seperti defining woke, woke meme, woke urban, dan woke define.

Pada tahun 2017, para pengunjuk rasa Black Lives Matter membuat kehadiran mereka terasa pada rapat umum Unite the Right di Charlottesville, Virginia, Amerika Serikat. Shutterstock

Pada September 2016, frasa black lives matter telah dicuitkan lebih dari 30 juta kali. Frasa stay woke semakin menguat dan menjadi simbol pergerakan dan aktivisme. Stay woke menjadi tujuan utama dari gerakan-gerakan seperti #blacklivesmatter (melawan rasisme), gerakan #MeToo (melawan seksisme, dan pelecehan seksual), dan gerakan #NoBanNoWall (memperjuangkan para imigran dan pengungsi).

Woke dalam marketing

Perusahaan-perusahaan besar yang mencari cara untuk mengembangkan keterikatan dengan audiens target mereka melihat peluang lebih dari mengadopsi sifat-sifat manusia (kerendahan hati, semangat, kecanggihan) untuk mengadopsi perilaku manusia (aktivisme).

Kampanye minuman ringan Pepsi yang dibintangi oleh model Kendall Jenner dibatalkan setelah mendapat kritik dari publik.

Memanfaatkan kepedulian konsumen, korporasi kemudian ikut menjadi aktivis dan memperjuangkan ketidakadilan. Kampanye ketidakadilan sosial Nike (yang menampilkan Colin Kaepernick), iklan singkat Pepsi yang menampilkan Kendall Jenner, dan pandangan Gillette tentang maskulinitas toksik adalah beberapa contoh yang paling banyak dibicarakan.

Namun, merek-merek yang tidak memiliki misi moralitas yang jelas semakin dipandang sunis oleh publik sebagai merek yang tidak otentik: mengampanyekan moralitas tetapi tidak mempraktikkannya. Ini kemudian melahirkan meme get woke, go woke. Di satu sisi, korporasi memicu perdebatan publik mengenai isu-isu penting, tetapi di sisi lain, mereka merusak konsep woke.

Akhir tahun lalu, Andrew Sullivan menulis tentang kesadaran sosial yang terbangun sebagai posisi yang setara namun berlawanan dengan Kekristenan Evangelis:

“>Dan para penganut muda Great Awokening benar-benar menunjukkan semangat kebangkitan besar […] mereka menghukum bidat dengan mengusir para pendosa dari masyarakat atau memaksa mereka untuk melakukan demonstrasi publik yang memalukan […] Kita memiliki kultus keadilan sosial kiri, sebuah agama yang para pengikutnya menunjukkan semangat yang sama dengan para penganut Evangelis yang telah dilahirkan kembali.

Ke depannya, merek-merek akan menyeimbangkan aktivisme dengan keterlibatan konsumen dengan lebih aman dan mungkin tidak terlalu mempolarisasi. Kampanye terbaru Gillette menggeser fokus merek dari isu-isu besar ke pahlawan lokal yang lebih tradisional.

Dengan perusahaan induknya yang baru-baru ini menuliskan nilai dari merek tersebut, Gillette tampaknya telah beralih dengan cepat dari strategi pemasaran yang selama ini dilakukan.

Karena takut akan reaksi publik global, korporasi akan menguji konsep dan tujuan merek mereka terlebih dahulu di pasar yang lebih lokal. Kampanye iklan pro-LGBT Coca Cola di Hungaria baru-baru ini dan kampanye Cadbury united in one bar di India adalah contoh dari pendekatan ini.


Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now